, , ,

Cerita Petani Hutan Lestari dari Boyolali

Waktu menujukkan pukul 11.30. Panas terik mentari menembus celah-celah pepohonan. Suara burung kutilang bersahut-sahutan, bercampur dengan suara serangga.

Deretan pepohonan hijau, melengkapi susana asri, di akhir September itu.  Ada sengon, jabon, maupun jati,  tumbuh diantara tanaman pertanian warga di Desa Sidomulyo dan Ngargosari, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Tinggi berkisar 10-15 meter, diameter 10-25 meter. Di bawah pepohonan, ada jagung, singkong, pepaya sampai cabai.

“Pepohanan dan lahan pertanian masyarakat itu hutan rakyat. Sudah ada sertifikasinya,” kata Supardi. Dia baru pulang dari ladang.

Supandi adalah anggota Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) Tunas Sari Mulyo di Kecamatan Ampel, Boyolali.

Pertengahan Oktober 2011, katanya,  masyarakat desa itu mendapatkan sosialisasi Dinas Kehutanan Boyolali dan  Lembaga Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA) Yogyakarta tentang pengelolaan hutan rakyat lestari. Mulai pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) hingga sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).

Sosialiasi dikemas dalam pertunjukan wayang kulit. Seorang dalang membuat cerita pertunjukan wayang dengan membawa pesan-pesan pengelolaan hutan dan SVLK. Dari sosialisasi ini, petani hutan rakyat paham dan berkomitmen bersama mengelola hutan rakyat lestari.

Hutan rakyat UMHR Tunas Sari Mulyo (TSM) seluas 475,846 hektar. “Pada 2012,  kami dapat sertifikasi PHBML dan SVLK.”

UMHR TSM memiliki anggota 2.163 keluarga petani hutan rakyat di dua desa yakni Desa Ngargosari dan Sidomulyo. Luas hutan rakyat Desa Ngargosari 313,846 hektar, dengan potensi sengon 6.358 meter kubik, mahoni 103m3, dan jati 406 m3.

Jagung, salah satu hasil pertanian jagung dari lokasi hutan rakyat di Boyolali. Foto: Tommy Apriando
Jagung, salah satu hasil pertanian jagung dari lokasi hutan rakyat di Boyolali. Foto: Tommy Apriando

Untuk Desa Sidomulyo, luas hutan rakyat 162 hektar, dengan potensi sengon 2.142 m3, mahoni 3.9275 m3, dan jati 62.419 m3.

Menurut Supardi, UMHR TSM pelan tetapi pasti berkembang pesat setelah mendapatkan sertifikasi. Berbagai upaya dilakukan pengurus untuk mengelola anggota dan hutan, dengan berpatokan hutan tetap lestari dan kesejahteraan anggota meningkat.

Berbagai upaya dilakukan, seperti, kerjasama dengan UD Abioso. Abioso memberikan bibit sengon sebagai jaminan bahan baku industri, dan harga jual kayu lebih tinggi dibandingkan yang tak bersertifikat.

“Hutan tetap lestari. Harga jual kayu lebih tinggi dan kesejahteraan anggota perlahan membaik. Itu yang kami dapatkan dari sertifikasi PHBML dan SVLK. Petani hutan rakyat lain harus mengikuti.”

***

Sebatang tunggul sengon berdiameter sekitar 25 centimeter. Sang pemilik, Sarono , menebangnya April lalu. Tulisan merah masih tampak di kayu tebangan itu. “IA SGN, ANU 15 0070, 1.36.”  Ini kode penomoran penanda kayu atau lacak balak oleh pengurus Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat Ngudi Utomo, Desa Sukorejo, Kecamatan Musuk, Boyolali, Jateng.

Lokasi pemotongan kayu gelondongan menjadi kayu berbagai macam ukuran di pabrik UD Abioso, Boyolali. Foto: Tommy Apriando
Lokasi pemotongan kayu gelondongan menjadi kayu berbagai macam ukuran di pabrik UD Abioso, Boyolali. Foto: Tommy Apriando

“Lacak balak atau penomoran pada batang bontos kayu wajib bagi kayu bulat dari hutan rakyat anggota APHR Ngudi Utomo.” kata Sarono, Ketua APHR Ngudi Utomo, Jumat, (25/9/15).

Penomoran batang ini berurutan bagi semua jenis kayu. Ia memuat informasi identitas, nomer anggota, nomer induk bidang dan nomer pohon.

Penomeran bontos kayu wajib agar pelacakan identitas asal kayu bisa terdokumentasikan dan mudah dideteksi. Petani Ngudi Utomo mengikuti jejak UMHR Tunas Sari Mulyo,  yang terlebih dahulu memperoleh sertifikasi PHBML dan SVLK.

Pertengahan Agustus 2015, Ngudi Utomo resmi mendapatkan SVLK. Juni 2015,  mendapatkan sertifikat PHBML dari audit lapangan PT. Mutu Agung Lestari (MAL) dengan skema Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Dalam audit, mereka dinyatakan tidak ditemukan ketidaksesuaian dalam proses verifikasi legalitas kayu (VLK).

Awalnya,  wilayah APHR Ngudi Utomo terbatas di Desa Sukorejo. Sosialisasi terus-menerus membuahkan hasil, Desa Pagerjurang di Kecamatan Musuk, bergabung. Dari anggota awal 103, kini 759 dengan luasan hutan 370 hektar.

Adapun potensi-potensi hutan di Desa Sukorejo dan Pagerjurang yakni kayu sengon, jati, jabon, dan mahoni. Hasil hutan non kayu, seperti peternakan sapi perah, ayam, dan kambing. Untuk pertanian, ada padi, singkong jagung,  sampai buah-buahan seperti rambutan, alpukat, dan durian.

“Hutan kedua desa ini daerah resapan air untuk menyangga daerah-daerah sekitar. Jika hutan rakyat gundul, bencana besar melanda daerah-daerah sekitar baik banjir, longsor, maupun krisis air,” kata Sarono.

Menurut dia, upaya menjaga kelestarian hutan dan mensejahterakan anggota, Ngudi Utomo juga bekerja sama dengan industri kayu, UD Abioso. Keduanya ada di Boyolali.

“Abioso berkewajiban memberikan bibit kepada APHR Ngudi Utomo dan memberikan insentif tambahan karena sudah ber-SVLK.”

UD Abioso, sendiri, merupakan usaha pengolah kayu (wood working industry) dan playwood. Ia mengantongi izin usaha industri primer hasil hutan kayu (IUIPHHK) dan Keputusan Gubernur Jateng. Abioso juga memiliki SVLK sejak 9 Agustus 2012.

Pemilik usaha sekaligus Direktur Abioso, Mintarjo, mengatakan, sebagai bagian konsekuensi rantai pasar, industri pengolah kayu sengon sangat bergantung kepada petani hutan rakyat. Jadi, petani jangan khawatir sengon tidak laku. “Pasti laku, kalau tidak laku bilang ke saya, nanti saya beli.”

Namun, soal jual beli ini, sekarang masih perlu penyesuaian setelah bahan baku dikelola kelompok. Dulu, transaksi antara Abioso dengan pedagang kayu menjadi ke kelompok petani hutan ataupun koperasi kelompok tani.

“Bagi kami justru lebih menguntungkan bertransaksi dengan kelompok karena lebih terorganisir baik petani maupun potensi kayu,” kata Mintarjo.

Mintarjo berani memastikan kayu kelompok tani hutan rakyat bersertifikat  mempunyai harga tawar lebih tinggi. Abioso selalu siap memberikan pelatihan untuk mengukur potensi, mengetahui standar harga jelas.

***

Ruko di Pasar Desa Sukorejo, sebagian besar tampak masih tutup. “Depo Kayu APHR Ngudi Utomo.” Begitu tulisan terpasang di depan salah satu ruko. Namun, tak tampak potongan kayu di sana.

“Belum ada penebangan, belum ada kayu masuk ke depo,” kata Sarono.

Depo kayu ini untuk membangun tempat penampungan terdaftar (TPT) kayu.  Upaya ini, katanya, salah satu rencana bisnis pengurus APHR demi kesejahteraan anggota. Nanti, TPT akan menampung kayu anggota maupun tidak. Harapannya, harga jual kayu lebih tinggi dan peluang pemanfaatkan kayu petani dan masyarakat desa lebih besar.

 Hutan Rakyat APHH Ngudi Utomo di pinggiran jalan desa. Foto: Tommy Apriando
Hutan Rakyat APHH Ngudi Utomo di pinggiran jalan desa. Foto: Tommy Apriando

“Salah satu esensi penting berkelompok dan bersertifikasi kayu adalah peningkatan kesejahteraan anggota,” kata Rosikhul Ilmi, Fasilitator Hutan Rakyat dari Lembaga Arupa Yogyakarta.

Sertifikasi, katanya, sebagai instrumen jalur khusus perdagangan dalam mensyaratkan kemitraan dengan industri kayu sebagai patner bisnis.

Keberhasilan Abioso mendapatkan sertifikat legalitas kayu bersinergi dengan kelompok Tunas Sari Mulyo dan Ngudi Utomo. Dengan kerjasama ini, diharapkan, mereka saling menguntungkan.

Model kerjasama mereka contoh ideal. Mengingat kedua belah pihak sama-sama peduli legalitas kayu dan kelestarian hutan rakyat.

“Kedunya menjadi lokasi pembelajaran dalam implementasi SVLK baik industri maupun hutan rakyat terbukti berhasil mendapatkan sertifikat legalitas kayu,” kata Ilmi.

Untuk pengurusan SVLK, katanya,  sebenarnya tidaklah sulit. Asalkan sedari awal perusahaan berkomitmen, dan usaha memenuhi segala ketentuan pemerintah, sertifikasi tidak sulit. Saat ini, SVLK Ngudi Utomo sudah ada. Namun masih proses bangun TPT berbentuk Depo. Perizinan difasilitasi dinas, tanah dibiayai Abioso dan kelompok tani berbagi tenaga.

“TPT menerapkan sistem penelusuran kayu, menjamin keterlacakan kayu dari asal dan keabsahan penjualan atau pemindahtanganan kayu bulat maupun kayu olahan.”

Di Boyolali, proses SVLK berjalan cukup lancar. Sugiyarto Kepala Bidang Kehutanan, Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutaan, Boyolali mengatakan, implementasi SVLK di Boyolali sudah berjalan, terutama industri kecil dan kelompok petani hutan rakyat.

“Mereka punya daya tawar, jika dulu belum bersertifikat kayu dibeli Rp500.000, setelah bersetifikat bisa Rp800.000.”

Saat ini, kebutuhan kayu ekspor terutama ke Eropa perlu SVLK. Jadi, ini bisa menjadi motivasi pelaku usaha agar segera ber-SVLK.

Peta lokasi hutan rakyat APHR Ngudi Utomo. Foto: Lembaga Arupa
Peta lokasi hutan rakyat APHR Ngudi Utomo. Foto: Lembaga Arupa
Produk kayu di UD Abioso, adapun kayu yang didapat dari hutan rakyat yang sudah bersertifikasi SVLK. Foto: Tommy Apriando
Produk kayu di UD Abioso, adapun kayu yang didapat dari hutan rakyat yang sudah bersertifikasi SVLK. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,