,

Koalisi Masyarakat Sipil Ungkap Praktik Gelap Perizinan SDA di Kalimantan Barat

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat mengungkap sisi gelap pemberian izin investasi sumber daya alam (SDA) di Kalimantan Barat dihadapan Pemerintah Provinsi Kalbar dan Wakil Ketua Pemberantasan Korupsi (KPK), Zulkarnain, belum lama ini di Pontianak. Menurut koalisi, modus operandi yang dilakukan jamak terjadi di Indonesia. Terhadap temuan tersebut, KPK segera merespon dengan meminta pemerintah provinsi melakukan konsolidasi sebelum dikategorikan korupsi.

Untuk sektor kehutanan, koalisi menemukan adanya alih fungsi hutan yang masif. Areal hutan Kalimantan Barat yang berdasarkan SK Menhut 733 tahun 2004 seluas 8.166.088,7 hektar telah dijadikan bancakan. “Untuk hutan tanaman industri (HTI) luasnya yang sekitar 2.429.807 hektar, berdasarkan data Kementerian Kehutanan 2012, diberikan kepada 46 perusahaan,” ungkap Matius Pilin, pegiat dari PPSHK Pancur Kasih.

Untuk hak pengusahaan hutan, berdasarkan data Badan Planologi (2010), Pemerintah Kalbar telah mengeluarkan izin untuk 27 perusahaan dengan luasan 1.318 hektar, serta 158 izin perkebunan dengan luasan 622.570,04 hektar. Sementara untuk wilayah pertambangan, terdapat 378 izin dengan luasan 2.005.780 hektar. “Kerugian negara dari sektor kehutanan, yakni jumlah potensi dikurangi realisasi pada 2014 diperkirakan sekitar Rp19.158.525.316. Hitungan ini bisa lebih,” ujar Matius.

Koalisi juga mendata, banyak konflik terjadi akibat penetapan kawasan yang tidak melibatkan masyarakat. Misal, konflik masyarakat dengan pengelola taman nasional Bukit Baka Bukit Raya, Betung Kerihun, Danau Sentarum, dan Gunung Palung. “Konflik dengan HTI sebanyak 33 kasus di 5 kabupaten, serta 8 kasus dengan HPH.”

Menurut Martius, Koalisi Masyarakat Sipil telah melakukan inisiatif terhadap isu sektor kehutanan. Misalnya, di 2015 ini telah melakukan pemetaan partisipatif dan registrasi wilayah adat seluas 2,3 juta hektar. “CSO juga mengajukan 300 ribu hektar hutan desa dan mendorong peraturan daerah tentang masyarakat adat di level provinsi dan kabupaten.”

Perkebunan

Perkebunan, disamping pertambangan, merupakan sektor primadona di Kalimantan Barat. Agus Sutomo, Direktur LinkAR Borneo, salah satu anggota koalisi, memaparkan saat ini luasan perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 5,4 juta hektar. “Luasan ini mencapai 37 persen dari luasan Kalimantan Barat,” ujar Tomo. Wilayah perkebunan terbesar ada di Kabupaten Ketapang (800 ribu hektar) yang merupakan 27 persen dari luasan wilayah kabupaten itu sendiri.

Adapun praktik jahat korporasi untuk mengakali negara, papar Tomo, terlihat dari manipulasi peningkatan status izin dan penertiban hak guna usaha (HGU). “Saat ini, realisasi tanam hanya 1 juta hektar dari total luasan 5,4 juta hektar atau hanya 19 persen.”

LinkAr Borneo juga mengungkapkan hasil rekapitulasi sebuah perusahaan yang menjadi sumber riset mereka. “Biaya keseluruhan untuk sebuah izin mencapai Rp 32 miliar, baik untuk hal legal maupun ilegal,” katanya.

Paradoks

Terhadap kondisi tersebut, Wakil Ketua KPK, Zulkarnain, menyebut Indonesia adalah paradoks. “Dengan kekayaan sumber daya alamnya, penduduk di negeri ini justru di bawah sejahtera. Kondisi ini terjadi akibat buruknya pengelolaan sumber daya alam,” ujarnya.

Zulkarnain mengatakan, dalam rencana strategis KPK (2011 – 2015), KPK memasukkan sektor sumber daya alam sebagai salah satu fokus kegiatan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Yaitu melalui ketahanan energi dan lingkungan yang meliputi energi, migas, pertambangan dan kehutanan.

Berdasarkan UU 30 Tahun 2002, KPK memiliki kewenangan untuk melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah, serta memberikan saran, dan rekomendasi atas hasil kajian tersebut. KPK juga memiliki tugas melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi pemerintah terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Menurut Zulkarnain, ada beberapa permasalahan mendasar yang terjadi di sektor kehutanan dan perkebunan. Diantaranya adalah ketidakpastian hukum atas kawasan hutan, lemahnya regulasi perizinan, belum optimalnya perluasan wilayah kelola masyarakat, minimnya pengawasan dan pengelolaan yang menyebabkan hilangnya penerimaan negara, serta banyaknya konflik agraria yang belum tertangani.

Terkait sektor pertambangan dan kehutanan, KPK telah melakukan kegiatan seperti Kajian Sistem Pengusahaan Batubara di Indonesia (2011), Tindak Lanjut Nota Kesepakatan Bersama Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan ( 2010-2014), dan Kajian Sistem Pengelolaan PNBP Minerba (2013).

Untuk sektor pertambangan telah dilakukan kick of meeting 19 provinsi pada 3-4 Desember 2014, sedangkan sektor kehutanan dan perkebunan di 24 provinsi dilakukan pada 17 Februari 2015. “Penandatanganan NKB Gerakan Penyelamatan Sumberdaya Alam Indonesia juga telah dilakukan pada 19 Maret 2015 di istana negara yang ditandatangani 27 menteri dan pimpinan lembaga,” tandas Zulkarnain.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,