,

Laksanakan Program di Daerah, KKP Akan Rekrut Antropolog Sosial

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyadari bahwa pelaksanaan program kerja di berbagai daerah menemui sejumlah kendala. Hal itu, salah satunya karena kendala kebudayaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain.

Fakta tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal KKP Sjarief Widjaja kepada Mongabay di Bogor, Jawa Barat, Senin (28/9/2015). Menurut dia, perbedaan budaya tersebut menjadi masalah yang harus diatasi karena memengaruhi kinerja KKP secara keseluruhan.

“Kita sedang mencari cara bagaimana program yang kita laksanakan di daerah bisa berjalan beriringan dengan masyarakat setempat,” ungkap Sjarief.

Perlunya dicari solusi, menurut dia, karena karakteristik budaya yang berbeda di masing-masing daerah juga menjadi hal yang sulit untuk dipecahkan. Kalaupun program KKP berhasil dilaksanakan, dengan kendala budaya, program tersebut tidak akan bertahan lama.

Rekrut Antropolog Sosial

Untuk mengatasi masalah tersebut, Sjarief memandang perlu KKP untuk segera merekrut tenaga ahli di bidang antropologi sosial. Menurutnya, kehadiran pakar antropologi sosial di masa sekarang menjadi kebutuhan pokok yang harus segera diwujudkan.

“Dengan ada antropog sosial, kita optimis program yang dilaksanakan di daerah bisa berjalan dengan baik. Hal itu, karena antropolog akan mempelajari lebih dulu bagaimana karakteristik kebudayaan setempat,” jelas Sjarief.

Dengan mempelajari lebih dulu kebudayaan di daerah, maka program kerja yang dilaksanakan bisa berjalan sesuai rencana. Sehingga, kata dia, diharapkan nantinya program yang berjalan tersebut bisa bertahan lama dan memberi manfaat untuk masyarakat setempat.

“Sudah saatnya KKP memiliki antropolog sendiri. Biar nanti kalau kita jalankan program di daerah-daerah seperti di Suku Bajo di Sulawesi atau Suku Ode di NTT, bisa berjalan baik,” tambah dia.

Sjarief optimis, kalau program berjalan dengan baik setelah melalui pendampingan antropolog, maka tidak akan ada lagi program KKP yang mangkrak di daerah.

 Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando
Siang hari nelayan di Gunung Kidul, baru menepi ke daratan dan membawa hasil tangakapan ke TPI. Foto: Tommy Apriando

Perlunya dilakukan langkah seperti itu, karena KKP tak ingin mengulang kembali banyaknya program yang mandek atau mangkrak di tahun anggaran 2016. Terutama, karena pada tahun depan, KKP mendapatkan tambahan alokasi anggaran hingga mencapai 50 persen.

Reformasi Tata Kelola Anggaran

Dalam Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun 2016, KKP mendapatkan alokasi pagu anggaran sebesar Rp15,8 triliun atau naik 50 persen dari alokasi tahun 2015. Anggaran tersebut menjadi yang terbesar sepanjang sejarah KKP berdiri.

Agar anggaran yang akan keluar pada tahun depan bisa bermanfaat sebanyak mungkin, KKP melakukan reformasi dalam proses penyusunan anggaran. Yaitu, dengan memberikan porsi yang besar bagi stakeholders hingga 67 persen dan melaksanakan anggaran secara efficient, sufficient, outcome oriented dan accountable.

“Reformasi tata kelola menjadi program pokok yang dijalankan saat ini di KKP. Mengingat, KKP adalah salah satu elemen penting dalam mewujudkan visi Indonesia menjadi negara maritim kuat di dunia,” ungkap Kepala Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal KKP, Isharttini.

Di antara bentuk reformasi yang dilakukan dalam tata kelola anggaran itu, menurut dia, adalah dengan meningkatkan fokus pelaksaanan pada hal-hal yang kongkrit. Hal itu, dimaksudkan agar program KKP terhindar dai korupsi ataupun tidak efisien.

“Reformasi penting dilakukan, karena tahun 2016, sebagian besar anggaran yang ada di KKP akan dilaksanakan di daerah. Mulai dari program penyediaan sarana pendukung seperti listrik, jalan, air bersih, dan yang lainnya, itu akan dilaksanakan fokusnya di daerah,” cetus dia.

Selain dari dana KKP, Ishartini menambahkan, anggaran untuk melaksanakan program kerja pada tahun 2016 juga akan dibantu melalui dana alokasi khusus (DAK) yang besarnya mencapai Rp2 triliun. Jumlah tersebut akan berjalan beriringan dengan dana Rp15,8 triliun.

Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono
Nelayan salah satu sektor terdampak pembangunan pesisir dan laut. Foto: Andreas Harsono

Sementara itu, terkait dengan kebijakan KKP yang mewajibkan nelayan di Indonesia untuk memiliki badan hukum sendiri, Sjarief Widjaja menjelaskan bahwa itu merupakan bagian dari tata kelola anggaran dan manajerial KKP.

“Kita wajibkan itu karena ini juga demi kebaikan nelayan sendiri. Jika mereka punya badan hukum sendiri, maka itu juga akan memudahkan kita untuk memproses pemberian bantuan atau program yang sedang dilaksanakan,” tutur dia.

Dengan diberlakukan kewajiban pendirian badan hukum juga, kata Sjarief, maka daya saing nelayan akan semakin baik dan itu meningkatkan kompetensi mereka di mata stakeholder seperti perbankan atau investor.

“Yang paling utama, dengan adanya badan hukum, kita juga bisa memastikan bahwa program akan terjamin berjalan. Karena, kerja sama dilakukan antar lembaga dalam hal ini KKP dengan badan hukum milik nelayan,” tambah dia.

Adapun, badan hukum yang dimaksud, sambung Sjarief, bisa berbentuk koperasi ataupun berdiri sendiri. Kalau koperasi, itu berarti nelayan harus menggabungkan diri dengan jumlah sekitar 20 orang. Atau, kalaupun berbentuk badan sendiri, itu diserahkan kepada nelayan sendiri seperti apa.

“Tapi kita kan sediakan pendamping berupa konsultan yang paham dalam pendirian badan hukum. Selain itu, kita juga sudah bekerjasama dengan Kementerian Koperasi dan UKM untuk kemudahan pendirian badan hukum seperti koperasi,” papar dia.

Semua itu, ungkap Sjarief, dilakukan agar tata kelola anggaran KKP bisa berjalan lebih baik dan tidak ada lagi program yang mangkrak karena ketidakpahaman stakeholder seperti nelayan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,