,

Kematian Yongki, Tamparan Keras bagi Perlindungan Gajah di Indonesia

Kematian Yongki, gajah sumatera jinak di Pos Resort Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Wilayah Pemerihan Selatan, Lampung Barat, Jumat (18/9/15), merupakan tamparan keras bagi perlindungan gajah di Indonesia. Gajah jinak 35 tahun itu, ditemukan mati dengan lidah membiru dan sobekan besar di bagian pipi hingga rahang kiri dan kanannya. Gadingnya diambil paksa. Pertanda apakah ini?

Sunarto, Wildlife Species WWF-Indonesia, berpendapat kejadian ini merupakan petunjuk adanya krisis kemanusiaan. Selama ini, manusia telah mengambil habitat gajah terlebih di Sumatera. Yongki sendiri merupakan salah satu korbannya. Dia dulunya, “diambil” dari alam liar di pinggiran Taman Nasional Bukit Barisan selatan, karena habitat kelompoknya dirampas. Dikonversi menjadi perkebunan sawit. “Yongki dibawa ke pusat latihan gajah untuk dijinakkan.”

Adanya konflik di beberapa tempat, membuat ide dasar pembentukan Elephant Patrol Team atau yang juga kita kenal Flying Squad diwujudkan. Flying squad merupakan tim penanggulangan konflik gajah dengan manusia yang memakai bantuan gajah jinak terlatih. “Peran mulia ini telah dilakukan Yongki,” ujar Sunarto, Kamis (8/10/15).

Meski telah menjalankan kegiatan terpuji, namun Yongki dibunuh oleh para pemburu. Ini mengindikasikan adanya krisis kelewat batas pada manusia itu sendiri. “Di Sumatera, sebagaimana yang kita ketahui perburuan gajah memang terus berlangsung yang menyebabkan populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) makin menurun. Menuju kepunahan. Semua pihak harus turun, menengahi konflik ini.”

Dengan kematian gajah yang terus terjadi, akankah target peningkatan 10 persen populasi satwa terancam punah, salah satunya gajah sumatera, yang dicanangkan pemerintah hingga 2019 tercapai? Bila berkaca dari  data WWF Indonesia, jumlah gajah yang mati akibat perburuan liar dari 1999-2015 ada 208 individu.

Terkait hal ini, Sunarto menyatakan, kematian Yongki merupakan tamparan berharga untuk kita semua, bukan hanya untuk pemerintah. Kita harus melihat lagi apakah upaya yang telah dilakukan selama ini sudah maksimal atau masih sebatas visi-misi saja. Semua harus dilihat realistis. Target ambisius tersebut harus dibarengi dengan komitmen luar biasa. Bila tidak, ya seperti ini saja. Boro-boro meningkat, mempertahankan populasi diangka stabil saja sulit. Malahan menurun. “Padahal, pembunuhan gajah ini nyata di depan mata. Bila kita peduli, bahkan marah sekalipun, berarti ada yang salah dengan kita.”

Apa jadinya, bila gajah sumatera benar-benar punah? Yang pasti, akan sangat memalukan. Kita sebagai manusia, yang mengklaim makhluk hebat di muka bumi, nyatanya gagal merawat satwa yang hidup di alam. Ini akan sulit dinilai dengan finansial meskipun bisa dilakukan hitung-hitungannya. Namun, nilainya terlalu rendah.

Sedangkan secara ekosistem, gajah memainkan banyak peran. Mulai dari kemampuannya mengubah satu habitat hingga merawat tumbuh-tumbuhan. “Sehari, satu individu gajah bisa makan sebanyak 300 kg dan buang kotoran sekitar 18 kali. Ini merupakan mesin luar biasa yang diciptakan alam. Bila gajah kita habisi, apakah kita mampu merawat alam? Nyatanya tidak,” papar Sunarto.

Petisi #RIPYongki 

Wisnu Wardana, pembuat petisi #RIPYongki di Change.org, sebelumnya pada Rabu (7/10/15), telah mendatangi Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Kepolisian RI (POLRI) Komjen Anang Iskandar.Kedatangannya itu, guna memberikan dukungan kepada Bareskrim POLRI guna mengusut tuntas segala produk perdagangan satwa liar yang dijual melalui dunia maya.

Melalui petisi yang telah ditandatangani 28 ribu orang itu, Wisnu yang merupakan dokter hewan, berhasil “memaksa” tiga toko online yaitu Bukalapak, Tokopedia, dan Lazada Indonesia untuk mencabut postingan, memblokir, serta memutuskan hubungan bisnis dengan pengguna yang menjual produk dari gading gajah.

Wisnu berharap, Bareskrim segera menangani dan menuntaskan kasus ini agar tidak ada lagi korban perburuan dan perdagangan satwa liar. “Jangan ada lagi Yongki berikutnya.”

Arief Aziz, Direktur Kampanye Change.org, menuturkan pihaknya memfasilitasi pertemuan tersebut sebagai upaya untuk mempertemukan sang pembuat petisi dengan kepolisian. “Pemberantasan perdagangan gading gajah yang merupakan bentuk pidana memang harus dilakukan segera,” tuturnya.

Fathi Hanif, Manager Advokasi WWF-Indonesia menuturkan, pengusutan pelaku penjual produk satwa liar harus diberi hukuman maksimal. Selain itu, harus ada aturan yang kuat dan ketat guna mencegah mewabahnya penjualan barang haram tersebut.

Menurut Hanif, dalam tiga tahun terakhir, WWF-Indonesia mencatat, ada 22 kasus kematian gajah sumatera yang jika dihitung tidak sampai setengahnya yang dibawa ke meja hukum. Kalaupun ada yang divonis, hukumannya hanya bulanan dan tidak sampai satu tahun. “Revisi UU No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya harus segera dilakukan, jika tidak perburuan dan perdagangan ilegal terus terjadi,” tegasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,