, ,

Kisah Masewo, Desa Tanpa Perhatian Negara di Jantung Hutan Sulawesi

“Kalian yang mau ke Masewo?” tanya lelaki yang mengenakan masker itu.

Kami berpapasan pada sebuah tikungan jalan yang menurun dan mendebarkan; di sebelah kiri tebing, sebelah kanan jurang. Ia mengendarai motor dengan jaket, topi, dan sebuah parang yang terselip di pinggang kirinya.

“Anda Pak Sius?” saya langsung bertanya balik.

“Iya, saya Sius. Florensius!”

Lelaki itu bernama lengkap Florensius Bawu. Umurnya 38 tahun. Dia adalah fasilitator dari Karsa Institute di Desa Masewo, Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Karsa Institute adalah sebuah lembaga penelitian dan pendampingan yang beralamat di Kota Palu. Sedangkan Desa Masewo adalah salah satu kampung di punggung bukit di pedalaman hutan Sulawesi.

Di penghujung September itu, Sius sudah menunggu kedatangan kami di Masewo. Namun, karena seharian kami tak muncul, Sius memutuskan untuk mengecek kedatangan kami di Mapahi, desa tetangga berjarak sekitar 10 kilometer, hingga akhirnya berpapasan di jalan.

Akses menuju Masewo cukup terjal. Ketinggian kampung ini mencapai 1.662 meter di atas permukaan laut. Satu-satunya transportasi ke Masewo dan wilayah Pipikoro lainnya adalah ojek motor. Sebelumnya masyarakat di sana memakai kuda untuk berhubungan dengan dunia luar. Selain kuda, tentu saja, masyarakat jalan kaki keluar kampung.

Sedang jarak dari tempat naik ojek di Desa Gimpu, Kecamatan Kulawi Selatan menuju Masewo sekira 40 kilometer, dengan durasi 5-6 jam. Kalau di musim penghujan, waktu tempuh bisa lebih lama lagi. Kadang hanya bisa diterabas dengan jalan kaki.

“Di Masewo ada banyak persoalan yang dihadapi masyarakat. Salah satunya kampung yang sudah dipatok tata batas oleh negara karena dianggap wilayah hutan produksi terbatas,” cerita Sius saat perjumpaan itu.

Sius lalu membawa kami menuju Masewo. Saat mendekati kampung, beberapa warga sedang bekerja bakti di sungai membuat kincir mikrohidro. Karena Masewo belum memiliki listrik, warganya memanfaatkan potensi air sungai sebagai energi untuk penerangan.

“Rumah warga di sini pakai pelita di malam hari,” kata Habel Noa, Kepala BPD (Badan Permusyawaratan Desa) Masewo.

Setelah berbincang dengan warga, Yusuf Warani tiba-tiba muncul. Dia adalah tokoh masyarakat dan pernah menjabat sebagai kepala dusun di Masewo. Dia mengajak kami ke ladangnya. Di sana, ada belasan warga yang kerja bakti, memacul ladang untuk ditanami padi. Sementara anak-anak, bermain digenangan becek, ditemani kerbau putih besar. Sesekali anak-anak itu naik di punggung kerbau. Tawa memenuhi wajah mereka.

Warga Masewo adalah bagian dari masyarakat adat Topo Uma. Dataran tinggi Pipikoro yang berada tepat di jantung Sulawesi adalah rumah besar bagi masyarakat Topo Uma.

Rahmat Saleh, dari Karsa Institute dalam paper penelitiannya mengatakan, Topo Uma adalah sebutan bagi penduduk Pipikoro, karena mereka merupakan penutur bahasa Kulawi berdialeg Uma. Dalam bahasa setempat kata “To” berarti orang, sedangkan kata “Po” adalah imbuhan untuk menegaskan pelaku atau pengguna sesuatu.

“Sehingga Topo dalam hal ini bisa diartikan sebagai; orang yang menggunakan dialeg Uma,” ungkap Oyong, panggilan akrab Rahmat Saleh.

Sementara Pipikoro secara harafiah diartikan sebagai daerah atau tempat di tepian Sungai Koro. Koro adalah sebutan Topo Uma untuk Sungai Lariang. Penamaan ini katanya, mengilustrasikan posisi geografis dan relasi mereka terhadap Sungai Lariang, yang dianggap sungai terpanjang di Pulau Sulawesi. Aliran sungai ini membelah dua provinsi, berhulu di Sulawesi Tengah dan bermuara di Sulawesi Barat, kemudian mengalir tepat di bagian tengah, di jantung Sulawesi.

Selain dialeg Uma, dalam Bahasa Kulawi, dikenal adanya dialeg Moma, Tado, dan Ompa. Dialeg ini digunakan oleh rumpun-rumpun komunitas Kulawi yang mendiami wilayah berbeda.

Warga Masewo kerja bakti di ladang. Foto: Christopel Paino
Warga Masewo kerja bakti di ladang. Foto: Christopel Paino

“Kampung kami sudah dipatok pal batas karena dianggap masuk kawasan hutan negara,” Yusuf Warani mulai bercerita.

Kejadian bermula akhir tahun lalu. Desa Masewo tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan lima orang yang masih asing bagi mereka. Salah satunya mengaku dari Jakarta. Kelimanya mendatangi rumah Yusuf Warani, tak jauh dari pintu gerbang kampung.

“Kami datang untuk pasang pal batas di kampung ini,” kata salah seorang di antara mereka.

“Jangan pasang di sini. Silahkan pasang pal batas jauh ke sana!” jawab Yusuf.

“Tidak usah takut. Tidak apa-apa.”

“Kami tidak mau pal batas ini akan berimbas pada kampung kami ke depan nanti,” ujar Yusuf lagi.

“Jangan khawatir. Nanti lima tahun lagi, pal batasnya bisa dipindah.”

Yusuf merasa pernyataan mereka bahwa patok yang bisa dipindah-pindah itu cukup aneh. Namun karena merasa terintimidasi, warga Masewo akhirnya hanya mendiamkan saja pemasangan pal batas itu. Warga hanya bisa menurut saja karena yang datang mengatasnamakan negara. Warga juga ada yang beranggapan, kalau menolak pemasangan pal batas itu, Masewo tidak akan maju.

Sementara bagi lima orang itu, kampung Masewo dianggap telah melanggar dan masuk kawasan hutan produksi terbatas.

Alhasil, pal batas hutan produksi terbatas itu pun berhasil ditancapkan di tanah warga. Pal batas itu ada yang berada di lokasi dekat pintu gerbang Masewo, dan ada yang berada di belakang rumah milik warga.

“Gara-gara pal batas itu, sebagian besar kampung Masewo ini masuk kawasan hutan dan diambil oleh negara,” kata Yusuf.

Pal batas HPT yang berada di belakang rumah milik warga. Pemasangan pal batas ini membuat desa Masewo terancam hilang. Foto: Christopel Paino
Pal batas HPT yang berada di belakang rumah milik warga. Pemasangan pal batas ini membuat desa Masewo terancam hilang. Foto: Christopel Paino

Masewo memang baru beberapa tahun ini dimekarkan sebagai desa. Sebelumnya, Masewo adalah dusun dari Desa Banasu. Tapi sejarah kampung Masewo sudah ada sejak lama sebelum Indonesia berdaulat dari kolonisasi bangsa kulit putih.

Bahkan Masewo ikut merasakan langsung zaman pergolakan Indonesia sebagai fase dalam bernegara. Dua kelompok gerilyawan yang memberontak kepada pemerintah pusat di Jakarta, pernah masuk ke kampung ini, yaitu Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DII/TII) dan Permesta.

“Tahun 1955 pasukan DII/TII membakar kampung ini. Kami mengungsi ke kampung lain seperti Mapahi,” kata Yan Odi, saksi mata kejadian.

Setelah pemberontakan DI/TII selesai, datang pasukan gerilya dari Permesta. Namun berbeda dengan DII/TII, gerilyawan dari Permesta merangkul warga Masewo.

“Kapten Nelwan yang memimpin pasukan saat itu orangnya baik,” katanya.

Tapi Permesta tidak berlangsung lama, karena tahun 1963 sampai 1969, ada yang namanya Operasi Kilat dan Operasi Tumpas yang dipimpin oleh ABRI membasmi pasukan Permesta. Kuda-kuda milik warga Masewo yang merupakan transportasi utama, diambil oleh tentara.

Pemerintah juga sebenarnya sejak lama menginginkan masyarakat yang berada di dataran tinggi seperti Pipikoro harus keluar dari wilayah mereka. Hal ini bisa terlihat dari kebijakan negara melalui Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 5 Tahun 1967 yang menjelaskan tentang larangan untuk memasuki, mengambil, apalagi bermukim pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan negara oleh Pemerintah.

“Tiga tahun setelah Undang-undang itu lahir, pemerintah meluncurkan proyek PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing) dan memaksa masyarakat adat yang bermukim di wilayah terpencil di sekitar hutan untuk pindah ke tempat-tempat yang sudah disediakan oleh pemerintah,” ungkap Rahmat Saleh dari Karsa Institute.

Menurutnya, kebijakan ini dilakukan secara represif. Banyak rumah di Topo Uma yang dibakar, dengan tujuan mereka mau meninggalkan kampung karena tidak lagi punya rumah. Warga yang menolak pindah memilih lari ke hutan. Untuk sementara waktu mereka bersembunyi di sana. Setelah situasi dianggap aman mereka membangun kembali perkampungannya, di tempat lain dalam wilayah Pipikoro.

Florensius Bawu, pendamping dari Karsa Institute di Desa Masewo ketika melewati salah satu jalan kampung. Foto: Christopel Paino
Florensius Bawu, pendamping dari Karsa Institute di Desa Masewo ketika melewati salah satu jalan kampung. Foto: Christopel Paino

Persoalan di Masewo hari ini seperti mengulang kembali kejadian di era 1960-an. Selain desa yang terekslusi secara sosial, kehadiran negara juga dirasakan belum ada. Kalau pun hadir, negara dianggap tidak berpihak kepada mereka. Dengan alasan itulah, Karsa Institute yang didukung oleh Kemitraan Program Peduli, melakukan pendampingan kepada masyarakat Desa Masewo dan wilayah lainnya di dataran Pipikoro.

“Saya sudah sembilan bulan jadi pendamping di Masewo. Sebelumnya saya pendamping di Desa Lawe, Pipikoro bagian barat,” kata Sius.

“Pertama kali merasakan jalan ke kampung-kampung di Pipikoro, saya ingin menangis. Sampai-sampai saya menyanyi lagu rohani melewati jurang dan tebing.”

Tapi setelah melihat kondisi masyarakat adat Topo Uma dari ujung ke ujung di balik bukit itu, Sius memilih untuk berbaur bersama mereka.

Sius dan pendamping lainnya dari Karsa Institute berjuang agar kesetaraan yang selama ini didengung-dengungkan itu juga diberikan kepada mereka yang berada di dataran tinggi Pipikoro.

“Saya berharap masyarakat di luar sana dan juga pemerintah tahu bahwa ada banyak masyarakat Topo Uma yang mendiami wilayah ini, dan butuh perhatian. Karena mereka juga bagian dari Indonesia,” kata Sius.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,