Beginilah Kepemimpinan dalam Masyarakat Monyet Sulawesi

Noa datang telat. Ia menggantung di ranting pohon kemiri, meniti beberapa pohon kecil, merambat di tebing karst. Lalu ke tanah, berjalan dengan empat kaki. Bulu hitam mengkilat. Saat duduk, lutut dari dua kaki belakang menyentuh dada. Kaki depan lebih pendek, berfungsi sebagai tangan.

Noa adalah pemimpin kawanan monyet jenis Macaca maura, hidup diantara tebing-tebing karst Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TNBB) Maros, Sulawesi Selatan.

Saat Noa memasukkan biji jagung ke mulut, dua tangan bergerak bersama. Seperti memegang benda besar. Ia tak mengunyah jagung itu, menelan dan menyimpan di tembolok.

Regu Noa,  dikenal dengan Kelompok B. Kawanan monyet berjumlah 34 individu. Kelompok ini dijinakkan sejak 1980. Selain kelompok B, ada pula enam kelompok Macaca liar lain.

Penjinakan Kelompok B, bukan seperti melihat monyet di kebun binatang. Kawanan ini tetap di habitat asli, bermain di antara tebing, menggantung di pohon, tetap liar. Tak ada kerangkeng atau pagar kawat.

Jumat, (2/10/15), sekitar pukul 13.00, kami mengamati dari jarak dekat. Tak kurang satu meter. Kami duduk tenang pada akar pohon. Hendra, jagawana dan pawang pejinak kera mencoba meminta kawanan mendekat. Ajaib, beberapa individu mendekat dan mengambil jagung dari telapak tangannya.

Jaya, mantan pemimpin kelompok. Usia sekitar 30 tahun. Foto: Eko Rusdianto
Jaya, mantan pemimpin kelompok. Usia sekitar 30 tahun. Foto: Eko Rusdianto

Hendra memperkenalkan beberapa nama, yang pertama ditunjuk Jaya. Berpostur tubuh lebih besar, usia sekitar 30 tahun. Jaya mantan pemimpin Kelompok B.

Jaya memimpin kelompok ini pada 2013, sebelum dikalahkan Noa. Jaya, individu asli Kelompok B. Lahir dan besar di kelompok ini. Pergantian pemimpin, hampir tiap tahun. Pada 2009, pemimpin kelompok Boss I (individu asli). Namun 2010, Boss turun tahta, digantikan Haro, pendatang.

Haro mengambil tampuk kepemimpinan itu dari usaha keras. Dengan pertarungan sengit. Boss kalah dan terpaksa meninggalkan kawanan. Ia mencari kawanan baru. Haro pemimpin Kelompok B hingga 2012.

Namun, kepimpinan Haro menjadi soal. Ia tak mampu menarik perhatian kelompok. Akhirnya, Haro tersisih. Perintahnya tak didengarkan kawanan. Tahun 2013, pasca kepergian Haro, individu asli dari Kelompok B yakni Jaya, menggantikan sebagai pemimpin.

Kempimpinan Jaya disenangi Kelompok B. Segala macam perintah diikuti, misal, ketika ia berbunyi, ping ping, anggota akan berkumpul. Ketika dia bersuara ping ping ping-lebih tiga kali, maka anggota kelompok akan meninggalkan area berkumpul.

Tahun 2014, individu lain bernama Noa menyambangi Kelompok B. Noa memiliki usia leih mudah begitu gesit menantang Jaya. Pertarungan dimulai. Jaya kalah dan turun tahta.

 Bayi Macaca maura berusia empat bulan. Foto: Eko Rusdianto
Bayi Macaca maura berusia empat bulan. Foto: Eko Rusdianto

Anehnya, tradisi Kelompok B berubah. Jaya yang kalah duel, tak meninggalkan kelompok, seperti Boss. “Ini agak aneh. Harusnya yang kalah tersingkir. Jaya ini bandel, tetap konsolidasi dalam kelompok,” kata Kamajaya Saghir, staf peneliti di TNBB.

Menurut Kamajaya, tradisi pengambilalihan kepimpin lewat kekuatan tidak selamanya langgeng. Noa, pendatang, kesulitan menarik simpati kawanan. “Jadi, dalam Kelompok B, bisa dikatakan terjadi dualisme kepimpinan. Kawanan masih senang mendengar Jaya. Meskipun pemimpin asli mereka Noa.”

“Kemungkinan, Noa bakal tergeser, jika dalam waktu dekat tidak dapat menarik simpati anggota kelompok. Jaya bisa kembali bertahta,” kata Kamajaya.

Menjaga area

Hendra, sejak awal menjadi pemandu,  berjalan cepat. Sekali waktu terlihat dari sela pohon, lalu menghilang di antara tebing karst. Beberapa saat muncul. “Mereka (kawanan kera Kelompok B) lagi menjauh. Saya coba cari ulang,” katanya.

Hendra memberikan jagung kepada Macaca. Foto: Eko Rusdianto
Hendra memberikan jagung kepada Macaca. Foto: Eko Rusdianto

Beberapa menit, dia muncul lagi. “Mereka lagi buru anjing. Ada anjing masuk area, jadi diusir sampai keluar. Susah dipanggil,” kata Hendra. “Kita kembali lagi setelah Jumatan (salat Jumat).”

Kelompok B memiliki wilayah jelajah hingga 29,27 hektar. Kawanan ini tak akan pernah keluar dari situ. Begitupun, kelompok lain tidak dibenarkan memasuki wilayah jelajah kelompok lain.

Masyarakat monyet, dalam kelompok-kelompok itu saling menghormati area jelajah masing-masing. Secara umum, luas wilayah jelajah Macaca maura antara 25-40 hektar. Dengan kemampuan jelajah harian antara 1-1,5 hektar. Tidak ada sistem penaklukan untuk tujuan perluasan wilayah.

Menurut Hendra, Kelompok B cukup kecil dibanding kelompok lain. Noa, jika dibandingkan pemimpin Kelompok G, dua kali lebih besar. Jumlah kelompok ini, delapan betina dewasa dan empat jantan dewasa. “Kalau kelompok lain, jantan dewasa bisa enam. Jumlah bisa sampai 40 individu.”

Wilayah jelajah Kelompok B, sebenarnya cukup riskan, mengingat di tengah ada jalan utama penghubung antara Maros menuju Bone. Mereka beberapa kali melintasi jalan aspal menuju salah satu sumber air. Sialnya, hampir setiap tahun terjadi kecelakaan. Ada tertabrak dan mati, atau cedera permanen seperti patah kaki.

Saya ingin melihat Hendra memanggil kawanan Macaca itu—ilmu “warisan” sang ayah. Melalui siulan khas dan harus menjadikan monyet sahabat.

Ketika monyet-monyet berhasil dipanggil, saya yang menunggu di salah satu titik, begitu terkesima melihat Hendra berjalan. Di belakang dan samping puluhan Macaca ikut berjalan serupa pasukan yang melindungi. Monyet-monyet itu mengeluarkan suara khas.

Di titik tertentu,  puluhan individu Macaca, duduk menunggu aba-aba Hendra. Biji jagung dibungkus kantong kresek, perlahan dibuka. Hendra membuang seperti menabur benih. Macaca berlomba memunguti. Tiga individu kecil berusia empat bulan,  berguncang dalam gendongan sang ibu.

Beberapa saat, anak ikut memilih jagung. Individu kecil itu, bergerak lucu. Melompat-lompat. Beberapa kali Hendra mengungkapkan kegembiraan saat membicarakan anak monyet itu. “Mudah-mudahan selamat sampai besar. Saya sedih sekali kalau ada yang mati.”

Di bagian lain kawanan sedang gaduh memilih jagung, stau Macaca menyendiri. Di atas pinggul ada dua benjolan besar. “Oh itu lagi hamil. Jadi hamil bukan di bagian perut seperti manusia.”

Sang ibu tengah sibuk memilih makanan. Sang anak, ikut miring ke kiri dan ke kanan megikuti gerakan badan sang ibu. Foto: Eko Rusdianto
Sang ibu tengah sibuk memilih makanan. Sang anak, ikut miring ke kiri dan ke kanan megikuti gerakan badan sang ibu. Foto: Eko Rusdianto

Macaca maura, menjalani kehamilan selama enam bulan. Untuk masa subur betina dewasa, pada bagian pantat atau bokong (anogenital) berwarna kemerah-merahan. Fungsinya penarik minat jantan dewasa untuk kawin. Masa subur berlangsung sekitar 11 hari.

Hendra pernah menyaksikan proses kelahiran Macaca langsung. “Pengalaman menegangkan. Ketika bayi lahir, induk akan memakan ari-ari. Lalu mengambil bayi dan memeluk.”

Hendra pernah menyaksikan bayi lahir dan mati. “Waktu bayi lahir, masih hidup beberapa menit. Tapi tiba-tiba meninggal, induk ambil dan tetap menggondong selama sehari. Memanjat pohon, bayi dipeluk. Tidak dilepaskan. Sedih….” katanya.

Beberapa hari berselang, Hendra mencoba mencari jasad bayi itu. Dia memasuki beberapa gua karst dan menelusuri wilayah jelajah kelompok. Pikiran awal, mereka akan membuang atau memakan sesamanya jika ada yang mati. Namun, tak pernah menemukan tulang ataupun bangkai. “Kalau secara pribadi, kayaknya mereka kubur. Macaca ini sedikit banyak seperti manusia.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,