,

Saling Tuding Setelah Pecah Kongsi: Membongkar Gratifikasi Berkedok Izin Lahan Karet di Jambi

Di tengah maraknya kebakaran lahan, Mongabay Indonesia berhasil mendapatkan satu contoh, praktek penerbitan izin oleh kepala daerah. Setelah duduk sebagai Bupati, bekas tim suksesnya sendiri yang justru membongkar dugaan gratifikasi berkedok izin lahan karet sebesar Rp 2,95 miliar. Sang Bupati berkelit, aliran uang bukan gratifikasi namun jual beli lahan. Akankah Kejagung mampu membongkar kasus ini setelah pecah kongsi?

M. Ali Aziz telah empat kali bolak balik memberi kesaksian di Kejaksaan Agung (Kejagung). Kepala Desa Muaro Sekalo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi itu sejak Januari 2015 melaporkan dugaan gratifikasi yang dilakukan Bupati Tebo, Sukandar, empat tahun lalu sebesar Rp 2,95 miliar.

Menurut Ali Aziz, termasuk dirinya sudah tujuh orang: Agus Rubyanto, Zulkarnain, Sukandar, M. Sarip, Ricky Lumbangaol, Setiawan Khoe yang memberikan keterangan. Hanya H. Sutriman — akrab disapa Triman — yang mangkir. “Bukti-bukti sudah kita serahkan semua, tetapi saya heran kenapa belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka,” katanya kepada Mongabay Indonesia.

Kasus ini langsung ditangani Satgasus Kejagung yang dipimpin oleh Reinhard.

Pertama kali, M. Ali diminta hadir sebagai saksi pada 26 Februari 2015 lewat surat bersifat rahasia dengan nomor R.557/F.2/Fd.1/02/2015. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa kesaksian Ali diperlukan terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi gratifikasi penerbitan izin lahan di Kabupaten Tebo berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Direktur Penyelidikan pada Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-30/F.2/Fd.1/01/2015 tanggal 20 Januari 2015.

Belum lagi kasus ini tuntas, Ali dan rekannya M. Sarip justru dilaporkan ke Polda Sumatra Utara pada 12 Juni 2015. Mereka berdua dituduh menipu dan menggelapkan uang Rp 1,6 miliar oleh salah seorang pengusaha asal Medan, Sumatra Utara bernama Setiawan Khoe — Direktur Utama PT Sentang Raya Indonesia dan PT Sri Global Abadi. Perusahaan ini beroperasi di kawasan Perdagangan, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.

“Kami geli dengan tuduhan itu. Kami tak pernah menipu. Yang menipu adalah Sukandar (Bupati Tebo). Semua uang Setiawan sudah kami berikan kepada Sukandar. Bukti kuitansinya lengkap. Saya heran, Setiawan kok malah berkomplot dengan Sukandar melaporkan kami. Setiawan sesungguhnya korban penipuan Sukandar,” ungkap Sarip.

Sarip sengaja mangkir dari panggilan Polda Sumatra Utara pada 25 Juni 2015 lalu sebagai saksi. Hanya M. Ali Aziz yang bersedia hadir memberikan keterangan.

Ali dan Sarip pada Januari 2015 lalu melaporkan Sukandar ke Kejagung atas tindakan dugaan gratifikasi sebesar Rp 2,95 miliar yang terjadi pada 2011 lalu. Mereka berdua mengaku sakit hati atas perlakuan Sukandar yang melupakan jasa mereka sebagai ring satu tim sukses Sukandar.

“Saya bukan sekadar tim sukses. Justru uang pribadi saya Rp 495 juta terpakai dan tak pernah dikembalikan,” aku Sarip, 38 tahun.

Kronologis

Saat bertarung di pilkada Tebo 10 Maret 2011 lalu Sukandar yang ketika itu masih menjabat Wakil Bupati Tebo kalah tipis dengan pesaingnya Yopi Munthalib – kini duduk sebagai salah satu Anggota DPRD Provinsi Jambi. Selisihnya 2.721 suara. Pasangan Sukandar-Hamdi meraih 74.432 suara, sementara pasangan Yopi-Sapto mendapat 77.157 suara.

Kemudian pada 25 Maret 2011, pasangan Sukandar-Hamdi menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya pada 13 April 2011, MK menilai pasangan Yopi-Sapto terbukti curang secara terstruktur, masif dan sistematis sehingga MK memutuskan pilkada ulang keseluruhan yang kemudian digelar 5 Juni 2011 lalu.

Setelah diulang, hasilnya berbalik. Sukandar-Hamdi unggul 6.098 suara dari pesaingnya Yopi-Sapto yang memperoleh suara 72.656 atau 46,21 persen. Sukandar-Hamdi memperoleh suara 78.754 atau 50,08 persen. Sukandar-Hamdi lalu dinyatakan resmi menang lewat putusan MK pada 21 Juli 2011.

Menjelang putusan MK itulah, Sukandar mengaku kehabisan dana. Sarip yang baru sehari tiba di Jakarta (sekitar akhir Juni 2011 atau pertengahan Juli 2011 – Sarip mengaku lupa-lupa ingat) ditelepon salah seorang timses Sukandar, Zulkarnain.

“Amunisi kita sudah habis. Butuh dana minimal Rp 2 miliar. Segera hubungi Ali supaya bosnya kasih pinjaman,” kata Sarip yang didampingi Zulkarnain.

Sarip mengecek kebenaran informasi ini kepada Agus Rubyanto, Ketua DPRD Tebo sekaligus keponakan Sukandar. Istri Sukandar, Saniatul Lativa kakak beradik kandung dengan ibu Agus. Agus membenarkan informasi itu. Sarip langsung menghubungi Ali agar segera berangkat ke Jakarta.

Keesokan harinya mereka berdua menemui Setiawan Khoe, sang bos di sekitaran Pluit. Setiawan sepakat memberi dana segar Rp 2 miliar dan minta jaminan. Sebagai jaminan Agus memberikan tanahnya seluas 300 hektar kepada Ali.

Ali dan Setiawan sudah saling mengenal sejak 2010 lalu. Ali adalah orang kepercayaan Setiawan dalam mengelola bisnisnya sebagai salah satu subkontraktor perusahaan tambang batubara di Muaro Sekalo. Setiawan hendak mengembangkan sayap bisnisnya dengan mengelola perkebunan karet seluas 3.000 hektar.

Setiawan tepat janji. Dia melakukan transfer rekening sebanyak Rp 2,2 miliar pada 18 Juli dan 19 Juli 2011. Setiawan sengaja melebihkan Rp 200 juta sebagai bantuan cuma-cuma buat Sukandar. Kemudian, Setiawan kembali mentransfer Rp 750 juta pada 27 Juli 2011. Total Setiawan mengirimkan uang Rp 2,95 miliar.

Dari rekening Ali, sebagian besar ditarik tunai dan diberikan masing-masing kepada Agus, Sukandar, dan Triman (ayah kandung Agus sekaligus ipar Sukandar). Hanya satu transaksi yang ditransfer langsung dari rekening Ali ke rekening milik Agus di Bank Mandiri sebesar Rp 100 juta pada 22 Juli 2011.

Selebihnya berdasarkan catatan Kuitansi yang diperoleh Mongabay Indonesia, tertera masing-masing Sukandar menerima Rp 200 juta pada 21 Juli 2011, Agus tiga kali menerima uang dari Ali masing-masing Rp 1,3 miliar pada 21 Juli 2011, Rp 50 juta pada 22 Juli 2011, dan Rp 200 juta lagi pada 28 Juli 2011. Sisanya diserahkan kepada Triman sebanyak Rp 1 miliar pada 11 Agustus 2011.

Pada 3 Agustus 2011, Setiawan ditemani Ali dan Sarip datang ke rumah Triman di Unit 2 Rimbo Bujang, Tebo. Agus juga hadir namun Sukandar absen. Setiawan minta agar diberikan izin lahan pengelolaan kebun karet seluas 3.000 hektar seperti yang dijanjikan setelah ikut membantu pendanaan Sukandar.

Mereka deal lantas bikin surat kesepakatan kerjasama. Para saksi yang bertanda tangan adalah Agus Rubyanto, Triman, Zulkarnain, Ali, serta Sarip. Anehnya Sukandar yang masih berstatus Wakil Bupati sudah berani mengatasnamakan Bupati Tebo karena dia baru dilantik menjadi Bupati pada 28 Agustus 2011. Yang meneken perjanjian itu bukanlah Sukandar melainkan Triman.

Hingga setahun dilantik, Sukandar belum juga memenuhi janjinya. Sarip bolak balik menagih janji Sukandar hingga akhirnya pada awal 2012, mereka kembali bertemu di Hotel Indonesia. Dalam pertemuan itu, Sukandar kembali berjanji segera memberikan izin lahan kepada Setiawan.

Kemudian, PT Sri Global Abadi mengajukan Usulan Izin perkebunan karet di Desa Muaro Sekalo, Kecamatan Sumay kepada Bupati Tebo lewat suratnya tertanggal 22 Maret 2012. Pada 25 Mei 2012, bupati menyetujui permohonan tersebut dan memberikan izin lahan seluas 3.000 hektar sepanjang tidak tumpang tindih dengan PT Tebo Alam Lestari.

Namun Izin Lahan yang diberikan tak sesuai dengan ajuan Setiawan. Menurut Ali, lahan 3.000 hektar itu terdiri atas permukiman penduduk 70 persen dan sisanya masuk kawasan perkebunan dan hutan milik warga Desa Muaro Sekalo.

Menyikapi kasus ini, Sukandar mengaku sudah sekali memberikan keterangan di Kejagung. “Saya no commentlah. Biarlah kita tunggu proses hukum. Biar terbuka lebar, siapa yang salah dan siapa yang benar,” katanya kepada Mongabay Indonesia.

Sukandar mengaku tidak mau berpikiran negatif kasus ini punya muatan politis mengingat dia sempat menyatakan siap maju dalam pilgub pada Desember 2015 mendatang.

Bantahan

Juru bicara Sukandar, Muhammad Hasan membantah tuduhan adanya dugaan gratifikasi. Menurut Hasan, kuitansi yang dibeberkan Ali tidak semuanya benar. Transaksi tersebut semata-mata transaksi jual beli lahan milik Agus kepada Setiawan melalui orang kepercayaannya, Ali. Namun Ali tidak bisa mempertanggung jawabkan uang tersebut.

“Sarip dan Ali tadinya adalah tim kita (maksudnya timses Sukandar). Tapi Setiawan kecewa karena uang yang ditransfer Setiawan ditilep. Jumlahnya sekitar Rp 1,6 miliar. Padahal Ali juga orang kepercayaan Setiawan untuk bisnis tambang batubaranya,” jelas Hasan.

Kenapa dilaporkan ke Polda Sumatra Utara? “Karena pertemuan perundingan semuanya dilakukan di Medan. Transaksi pengiriman uang juga dari beberapa bank di Medan sehingga laporannya dimasukkan ke Polda Sumut. Jadi tidak benar jika kasusnya adalah masalah gratifikasi. Izinnya tak pernah ada. Uangnya pun dikirim setelah proses di MK selesai,” lanjutnya.

Keterangan Hasan ini langsung dibantah Sarip.

Ngawur. Kami tak pernah bertransaksi atau bertemu dengan Setiawan Khoe di Medan. Semua pertemuan dilakukan di Tebo, Jambi, dan Jakarta,” katanya.

Menurut Sarip, salah besar jika dibilang izinnya tak ada. Menurutnya jual beli lahan hanya rekaan Sukandar dan timnya. “Lahan 300 hektar milik Agus itu di luar izin 3.000 hektar yang dimohon maupun diterbitkan bupati.”

Baik Agus Rubyanto maupun Triman tak kunjung berhasil dimintai konfirmasi oleh Mongabay Indonesia. Sementara orang kepercayaan Setiawan Khoe berkomentar, “Setahu saya masalah ini sudah clear, kalau beliau (Setiawan) tak ada sangkut paut sama sekali dengan masalah tersebut,” katanya melalui pesan pendek yang diterima Mongabay Indonesia.

Mencermati kasus ini, LSM Gerakan Keadilan Masyarakat Jambi pada 15 Juni lalu bersama 40 warga Desa Muara Sekalo melakukan demonstrasi di Kantor Kejagung di Jakarta. Mereka mendesak penyidik segera mengusut tuntas kasus tersebut.

“Semua saksi-saksi dalam kasus dugaan gratifikasi ini sudah diperiksa di Kejagung. Bahkan ada yang lebih dari satu kali memberi keterangan kepada penyidik. Bukti-bukti juga sudah lengkap. Saya kira tidak ada alasan lagi bagi Kejagung tidak menahan para pelaku gratifikasi.,” jelas Febry Timoer koordinator Gerak kepada Mongabay Indonesia.

Sejauh ini Kejaksaan Agung belum menetapkan tersangka karena belum adanya indikasi tindak pidana. Menurut Sarjono Turin, yang sebelumnya menjabat Kasubdit Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, pihaknya baru memperoleh pengakuan dari Setiawan, tentang dugaan pemalsuan tanda tangan Sukandar dalam surat perjanjian transaksi jual beli lahan.

“Namanya nama dia (Sukandar), tapi yang teken bukan dia,” kata Sarjono Turin menutup penjelasan. Sarjono Turin kini telah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,