,

Aksi Tolak Reklamasi dan Dorongan Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci

Aksi menolak reklamasi Teluk Benoa telah dilakukan sejak tiga tahun. Bahkan makin banyak perempuan yang terlibat dalam aksi, seperti pada Sabtu sore (24/10/2015).

Peserta aksi yang mayoritas perempuan muda, membawa poster, mengenakan ikat kepala, bernyanyi Bali Tolak Reklamasi yang liriknya bisa jadi sudah dihapal luar kepala. “Bangun Bali, subsidi petani. Kita semua makan nasi, bukannya butuh reklamasi…”

Mereka juga beraksi di depan Kantor Gubernur Bali, karena Gubernur Bali lah yang memberikan izin awal pemanfaatan Teluk Benoa atas rekomendasi DPRD Bali saat itu.Ada dua kelompok remaja perempuan yang bergantian menari tradisional.

Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) sebelumnya menyebar poster online untuk mengajak siapa saja berkontribusi dalam aksi budaya ini secara sukarela.

Selain meneguhkan penolakan reklamasi (investor menggunakan istilah revitalisasi), peserta aksi juga memprotes sejumlah perobekan baliho-baliho yang terus terjadi selama tiga tahun ini.

Pekan ini, sekelompok pemuda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Kedonganan – Kelan, diantaranya ST. Dharma Sentana, ST. Satria Budi Yowana dan ST. Sandhi Wigraha kembali mendirikan Baliho yang bertuliskan “Tolak Reklamasi Berkedok Revitalisasi Teluk Benoa.” Ini Baliho kesekian kali didirikan setelah sebelumnya dirobek, terutama ketika ada presiden atau wakil presiden lewat. Desa ini terletak di kawasan strategis, pasti dilewati dari dan ke bandara Ngurah Rai.

I Ketut Nevo Prayogi, Wakil Ketua ST. Dharma Sentana, Kedonganan mengatakan perobekan baliho tidak akan memadamkan semangat juang pemuda di desa Kedonganan dan Kelan untuk menolak rencana reklamasi seluas 700 ha di Teluk Benoa.

“Kami memasang baliho karena kami semua sudah tahu dampak dari reklamasi itu bisa menenggelamkan kawasan rendah terutama kawasan pesisir seperti Kedonganan, Kelan dan Jimbaran,” ungkapnya.

Seorang perempuan peserta aksi memegang poster Teluk Benoa sebagai wilayah konservasi. Foto : Luh De Suriyani
Seorang perempuan peserta aksi memegang poster Teluk Benoa sebagai wilayah konservasi. Foto : Luh De Suriyani

Rencana reklamasi seluas 700 ha mendapatkan penolakan dari sebagian besar masyarakat pesisir Teluk Benoa. Berdasarkan hasil survei dari peneliti Universitas Udayana pada 2014, 64 persen masyarakat Kabupaten Badung tidak setuju dengan reklamasi Teluk Benoa dan hanya 9 persen yang setuju, sementara 27 persennya tidak menjawab. Dalam survei tersebut, responden usia produktif yang notabene membutuhkan lapangan pekerjaan justru menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.

Angka tersebut didapatkan dari wawancara dengan 430 responden dalam penelitian kuantitatif metode multistage random sampling yang dilakukan Kadek Dwita Apriani, dosen muda perempuan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Udayana. Ia memberi catatan inisiatif survei ini bukan dari kampus, tapi diri sendiri.

Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci

Selain kawasan konservasi yang kemudian diubah Presiden SBY menjadi kawasan pemanfaatan lewat Perpres untuk melancarkan rencana reklamasi, sejumlah pihak terus mendorong para pemimpin agama dan tokoh adat meneguhkan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan suci.

Dirjen Bimas Hindu & Budha Kementrian Agama pada 1994 sudah mewanti-wanti ancaman perusakan lingkungan dengan menetapkan Bhisama Kesucian Pura.

“Agama Hindu dalam kitab sucinya yaitu Weda-weda telah menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci, gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai), pantai, laut dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian. Oleh karena itu pura dan tempat- tempat suci umumnya didirikan di tempat tersebut, karena ditempat orang-orang suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu).” Demikian penjelasan soal kawasan suci ketika itu.

Tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah kekeran dengan ukuran Apeneleng Apenimpug, dan Apenyengker. Untuk Pura Sad Kahyangan dipakai ukuran Apeneleng Agung (minimal 5 km dari Pura), untuk Dang Kahyangan dipakai ukuran Apeneleng Alit (minimal 2 km dari Pura), dan untuk Kahyangan Tiga dan lain-lain dipakai ukuran Apenimpug atau Apenyengker.

Peta kawasan suci di Bali yang disusun Sugi Lanus
Peta kawasan suci di Bali yang disusun Sugi Lanus

Disebutkan lagi, mengingat perkembangan pembangunan yang semakin pesat dan umat Hindu yang bersifat sosial keagamaan maka kegiatan pembangunan mengikutsertakan umat di sekitarnya, mulai dari perencanaan pelaksanaan dan pengawasan. Agama Hindu menjadikan umatnya menyatu dengan alam lingkungan, oleh karena itu konsepsi Tri Hita Karana wajib diterapkan dengan sebaik-baiknya. Untuk memelihara keseimbangan antara pembangunan dan tempat suci, maka tempat-tempat suci (pura) perlu dikembangkan untuk menjaga keserasian dengan lingkungannya.

Kemudian diaktualisasikan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009-2029 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yang menyebutkan “Kawasan Suci adalah kawasan yang disucikan oleh umat Hindu seperti kawasan gunung, perbukitan, danau, mata air, campuhan, laut, dan pantai.”

Para penolak reklamasi mengajukan hal ini untuk dibahas dalam pertemuan para tokoh agama Hindu, Pesamuhan Agung PHDI Pusat di Jakarta yang berakhir 25 Oktober kemarin.

Kajian Prof. Dr. I Ketut Rahyuda tentang Kawasan Suci Teluk Benoa atas nama Love Bali Forum (LBF).  Kelompok para akademisi ini menyampaikan kriteria pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan 5 hal pokok yakni tidak merusak bahkan membunuh keanekaragaman hayati, hendaknya menggunakan sumberdaya terbarukan, memperhatikan filosofi Tri Hita Karana sehingga tidak membunuh aktivitas sosial petani nelayan dan seharusnya peduli terhadap kualitas hidup masyarakat. Terakhir, program pembangunan berkelanjutan membutuhkan penyesuaian dari masyarakat, bukan penyesuaian untuk memenuhi kepentingan investor dan corporate-nya.

Sugi Lanus, peneliti sejarah dan budaya menyampaikan analisisnya tentang kesucian wilayah Teluk Benoa dan sekitarnya ini. “Saya buka naskah 2700 lontar yang bisa diakses dengan baik disimpan di pusat dokumentasi, 12 ribu salinannya ada di Leiden. Apa sebenarnya kosmologi Bali dalam Teluk Benoa ini dengan Pulau Sakenan,” ujarnya.

Ia menyusun secara detail lokasi-lokasi dan titik hubung kawasan suci di kawasan ini dan diserahkan ke PHDI Bali. “Hanya orang yang bebal saja tak memahami hal ini. Hanya satu tempat di Bali, laut bersambungan dengan teluk dan Gunung Agung. Saujana itu pemandangan spirit batiniah yang entah berapa nilainya yang akan dihancurkan jika direklamasi,” urainya.

Melalui siaran pers, disebutkan hasil pertemuan para pemimpin ritual ini di Jakarta. Pesamuhan Sabha Pandita merupakan musyawarah para Pandita Hindu guna merumuskan prinsip-prinsip dasar kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia, berlangsung 23-25 Oktober 2015 di Park Hotel Jakarta yang dibuka oleh Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa.

Hasil-hasil Pesamuhan Sabha Pandita ditindaklanjuti dengan Pesamuhan Agung yang merupakan rapat kerja nasional Parisada Hindu Dharma seluruh Indonesia berlangsung di tempat yang sama untuk mengevaluasi pelaksanaan program kerja Parisada Pusat dan Daerah. Dr. Ketut Arnaya sebagai Ketua SC Panitia, keputusan Pesamuhan Sabha Pandita terkait kawasan suci Teluk Benoa adalah membentuk Tim 9 Pandita yang diketuai oleh Ida Pandita Mpu Jaya Acaryananda yang akan mengkaji aspek kesucian Teluk Benoa.

“Masukan dan analisis soal kawasan suci akan jadi referensi oleh tim 9,” kata Arnaya, saat dikonfirmasi Mongabay.

Ia tak membantah ada tarik menarik kepentingan di dalam forum pemimpin agama Hindu ini. “Kita tak bisa memuaskan semua pihak,” tambahnya. Tidak ada keputusan kapan hasil kajian harus disampaikan ke publik.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,