,

Bahan-bahan Alami Ini Bisa jadi Pelindung Candi dari Kerusakan

Menikmati matahari terbit dari puncak Borobudur, memang terasa magis. Matahari menyembul di antara stupa. Gunung Merapi dan Merbabu tampak dari kejauhan sisi Timur. Indah bak lukisan.

Merawat kelestarian maha karya yang dibangun menggunakan sekitar dua juta blok batu ini menjadi tantangan tersendiri. Panjang candi 121,66 meter, lebar 121,38 meter, dengan ketinggian 35,40 meter.

Kala saya ke sana, Lorong Rupadhatu Borobudur, bagian selatan tampak berubah kecokelatan. Kontras dengan bagian lain berwarna abu-abu kehitam-hitaman–merupakan warna asli batu andesit.

Selama ini, merawat candi dari jamur dan lumut menggunakan air dan bahan kimia– yang menimbulkan kerusakan pada relief dan dampak lingkungan lain. Kini, diupayakan perlindungan candi menggunakan bahan-bahan alami ramah lingkungan seperti pakai serai wangi, cengkih dan pala. Penelitian soal ini sedang berjalan.

Sri Wahyuni, staf laboratorium kimia, Balai Konservasi Borobudur, menerangkan soal percobaan penggunaan bahan alami untuk konservasi candi ini.

Sejumlah pekerja berada di lorong relief candi yang berubah warna. Terlihat relief candi berwarna kecokelatan. Foto: Nuswantoro
Sejumlah pekerja berada di lorong relief candi yang berubah warna. Terlihat relief candi berwarna kecokelatan. Foto: Nuswantoro

“Pertama-tama lichen atau lumut kerak diambil untuk diurai. Lichen simbiosis mutualisme antara jamur dan alga. Setelah berhasil dipisahkan lalu diidentifikasi jenis jamur dan alganya. Lichen juga berbagai jenis, perlakuan pun berbeda,” katanya dua pekan lalu di Magelang.

Dua tahun terakhir, fokus penelitian Balai Konservasi Borobudur mencari dan mengukur efektivitas penggunaan bahan alami menghambat pertumbuhan jamur.

“Untuk menumbuhkan alga susah. Empat bulan baru berhasil,” katanya.

Selanjutnya, dalam cawan pembiakan jamur dipisahkan, diberi kertas saring yang diolesi minyak.

“Minyak dan air tidak mau bercampur, biasa pelarut etanol tapi bisa mengganggu manusia, merusak batuan, atau warna batuan. Kami menggunakan pelarut tween 80. Setelah itu diinkubasikan.”

Bahan alami yang dicoba minyak serai wangi, cengkih, pala, minyak nilam, dan temulawak. Ternyata, tidak semua minyak efektif membersihkan keduanya.

“Bahan konservan mungkin menghambat jamur, tapi belum tentu terhadap alga. Tahap kajian ini masih panjang. Kami masih mengulang-ulang percobaan, memastikan hasil. Kami berusaha mencari bahan paling efektif. Tidak tertutup kemungkinan mengkombinasikan.”

Sejumlah petugas terlihat membersihkan candi dari pasir dan sampah yang ditinggalkan pengunjung.Foto: Nuswantoro
Sejumlah petugas terlihat membersihkan candi dari pasir dan sampah yang ditinggalkan pengunjung.Foto: Nuswantoro

Selain ramah lingkungan, pemanfaatan bahan alami lebih murah. Konsentrasi bahan tidak terlalu tinggi. Dalam satu liter air, hanya perlu beberapa mililiter. Dalam praktik, bahan konservan itu disemprotkan atau dileletkan pada batu candi.

“Dari pengalaman, metode semprot lebih irit. Kalau kuas, minyak bisa menempel di kuas.”

Widyopurwoko, staf Laboratorium Mikrobiologi, Balai Konservasi Borobudur, menambahkan, penggunaan bahan kimia menghambat pertumbuhan lichen selama ini memang efektif. Biasa memakai bahan kimia AC 322, antara lain mengandung amonium bikarbonat. Meski melekat kuat pada batu dan sulit dibersihkan, dengan diolesi bahan kimia ini jaringan lichen menjadi lunak dan mudah terkelupas.

“Sayangnya ada bercak bekas pembersihan di batu candi yang mengotori warna candi. Dengan konservan dari bahan alami diharapkan bisa mengembalikan warna batu ke warna asli.”

Kandungan arkopal pada AC 322 disinyalir berbahaya bagi manusia yang menggunakan, pengunjung, dan lingkungan sekitar.

Kearifan

Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo, menjelaskan, pemanfaatan bahan alami untuk konservasi sejak beberapa waktu lalu. September tahun ini, balai mengadakan seminar bertema “Konservasi Cagar Budaya Berbasis Kearifan Tradisional.” Lalu, workshop setahun sebelumnya telah menginventarisir seratusan bahan tradisional untuk konservasi, mulai dari Aceh hingga Papua.

“Antara lain bubur kertas, untuk membersihkan kotoran. Minyak atsiri menghambat jamur. Putih telur sebagai perekat.”

Ari Swastika, Peneliti Balai Konservasi Borobudur, menjelaskan ide dasar penggunaan bahan alami ada beberapa hal. “Bahan alami lebih unggul, ramah lingkungan, lebih aman terhadap operator dan pengunjung, dan mudah didapat karena banyak tersedia.”

Ketersediaan bahan kimia sintetik selama ini tergantung impor. Padahal, bahan alami melimpah di berbagai daerah di Indonesia.

“Salah satu konservasi kayu dengan rendaman tembakau, cengkih, dan batang pisang. Metode ini dari masyarakat di Kudus. Ini diteliti intensif sejak 2003.”

Metode ini, katanya, menjadi salah satu standar perawatan direkomendasikan secara nasional. Namun, untuk konservasi batu candi belum sampai penerapan, masih skala percobaan.

“Efektivitas bahan alami untuk konservasi candi terus dikaji agar ditemukan formula terbaik.”

Sebenarnya, tren pegembangan konservasi dengan bahan alami tidak hanya di Indonesia juga di berbagai negara lain di dunia. Indonesia bernilai lebih karena memiliki keragaman hayati kaya.

“Untuk minyak atsiri Indonesia memiliki lebih 150 jenis dengan 40 sudah diperdagangkan.”

Sri Wahyuni dan Serai Wangi: Sri Wahyuni, staf laboratorium kimia, Balai Konservasi Borobudur memperlihatkan serai dan minyak serai yang dimanfaatkan untuk menghambat pertumbuhan lumut kerak atau lichen. Foto: Nuswantoro
Sri Wahyuni dan Serai Wangi: Sri Wahyuni, staf laboratorium kimia, Balai Konservasi Borobudur memperlihatkan serai dan minyak serai yang dimanfaatkan untuk menghambat pertumbuhan lumut kerak atau lichen. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,