, ,

Dinilai Langgengkan Kebakaran Lahan, Koalisi Ajukan Peninjauan Kembali UU Perkebunan

Koalisi masyarakat sipil mengajukan peninjauan kembali (judicial review) UU 39 tahun 2014 tentang Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi. UU ini dianggap melanggengkan pembakaran hutan dan lahan serta rentan kriminalisasi petani kecil.

Koalisi yang mengajukan gugatan seperti Sawit Watch, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Indonesian Human Rights Commitee for Social Justice (IHCS), dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Lalu, Aliansi Petani Indonesia (API), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (Field) serta Paguyuban Warga Tani Kulon Bambang (Parwakatu).

“Kajian kami ada kaitan erat antara kebakaran hutan dan lahan dengan UU ini,” kata Maryo Saputra Sanudin, Departemen Lingkungan Sawit Watch di Jakarta, Selasa (27/10/15).

Salah satu yang disoroti Pasal 42 karena menimbulkan tafsir kabur. Pasal itu tercantum, perusahaan perkebunan bisa mulai usaha dengan alas hak tanah dan hak guna usaha atau sekadar mendapatkan izin usaha perkebunan. Pasal itu, katanya, menimbulkan multitafsir karena Pasal 16 menyatakan, legalitas perusahaan adalah HGU.

Jadi, perusahaan baru dapat IUP dan belum mempunyai HGU bisa membuka lahan sampai menanam. Bahkan perusahaan baru mendapatkan izin prinsip saja banyak sudah membuka lahan yang tak jarang lewat membakar. “Padahal itu ilegal. Kontrol pemerintah kurang. Asap dimana-mana dan menimbulkan korban.”

Dia mengatakan, dari 13,5 juta hektar perkebunan sawit pastikan 75% belum punya HGU. Dengan ada Pasal 42, perusahaan enggan mengurus HGU karena merasa cukup berbekal IUP. Potensi kerugian negara juga besar karena tak jelas penerimaan pajak.

“Paling banyak Kalimantan dan Sumatera. Sekarang mulai banyak ke wilayah timur seperti Sulawesi, pulau kecil di Maluku dan Papua. Agak konyol, yang sudah lama beroperasi belum ada HGU, apalagi yang baru?”

Direktur SPKS Mansuetus Darto mengatakan, terkait pembakaran hutan dan lahan, yang dikambinghitamkan petani kecil. Padahal, pelaku justru korporasi.

Koalisi juga meminta MK menguji beberapa pasal lain.

Koalisi, katanya, mengajukan problem skema kemitraan di perkebunan sawit Pasal 57. Sejak 2006, ada program pemerintah revitalisasi perkebunan yang mengatur ekspansi perkebunan, peremajaan dan rehabilitasi. Pendanaan disiapkan bank nasional Rp30 triliun ditambah APBN 10% selama pembangunan,” kata Darto.

Program revitalisasi, mengatur kerjasama antara perusahaan dengan petani. Sayangnya, petani diperlakukan seperti buruh. “Tak ada kebun plasma langsung dikelola masyarakat,”

Pasal 57 juga digugat karena tak menghargai pilihan petani. Skema kemitraan ditentukan dan petani mau tak mau harus mengikuti.

“Kita mau sawit Indonesia bercitra baik. Bagaimana perkebunan tak ada konflik, tanpa deforestasi, tak merusak gambut dan tak membakar.Sulit untuk menunjukkan contoh baik skema kemitraan.”

Dampak Pasal 57, kata Darto, 585 koperasi berkonflik dengan perusahaan. Salah satu akan menjadi saksi di MK.

Juga soal letak plasma pada Pasal 58 tak jelas, di luar atau dalam HGU. “Yang kita koreksi dari model plasma adalah kalau letak plasma di luar HGU, otomatis masyarakat menyerahkan tanah dua kali. Kita ajukan kebun plasma di dalam HGU.”

Gunawan dari IHCS mengatakan, pasal lain 12 ayat 2 yang membuat hak-hak masyarakat adat hilang. Pasal ini mengatur, perusahaan apabila hendak menggunakan lahan masyatakat adat, harus ada musyawarah sesuai peraturan perundang-undangan. “Ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Yang jadi pertanyaan kita, harus mengacu kemana?”

Pasal lain yang digugat Pasal 107, sebenarnya pernah dibatalkan putusan MK. Frasa “secara tidak sah” dalam pasal itu dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,