,

Inilah Aksi Anak Muda Bali Kurangi Energi Kotor dan Emisi

Ruangan kecil itu dipenuhi energi anak-anak muda yang sudah beraksi untuk ibu bumi. Mereka mendiskusikan apa yang sudah dilakukan dan apa strategi bersama untuk mengurangi emisi.

Suasananya sangat berbeda dengan aula besar tempat presentasi para pemimpin, pebisnis, peneliti, dan para pihak dalam Renewable Energy Forum, di Nusa Dua, Bali, pertengahan Oktober kemarin.

Di forum ini, mereka harus terampil mempresentasikan, lalu  duduk lesehan mendiskusikan langkah strategis di masa depan yang diusulkan untuk para pemimpin negeri.

Mula-mula tiap komunitas, sedikitnya ada 11, menyampaikan apa yang sudah mereka lakukan untuk pelestarian lingkungan.  Semuanya basisnya di Bali. Namun karena media sosial, aksi mereka juga sudah ada yang mengglobal.

Nuning, remaja perempuan dari komunitas Kayon Tabanan menceritakan inisiatif kelompoknya di sebuah desa di Kabupaten Tabanan. Mereka kerap berkumpul dan belajar tentang penggunaan panel surya sebagai sumber energi. Komunitas ini berkegiatan di rumah Agung Kayon, arsitek yang memanen matahari untuk sebagian kebutuhan listriknya di rumah.

Komang dari Yayasan Manik Bumi yang berlokasi di Kota Singaraja, Buleleng juga menceritakan upaya mengaplikasikan panel surya di beberapa lokasi Pulau Menjangan, pulau kecil di Bali Utara yang hanya dihuni menjangan dan penjaga pura. Mereka juga belajar mengubah plastik jadi minyak. “Sampah plastik disuling jadi minyak tanah dan solar,” katanya.

Selain itu kelompok muda ini ingin lebih serius membuat demplot percontohan penggunaan energi terbarukan. Mereka sedang membangun rumah kecil bernama Rumah Matahri di Jl Bypass IB Mantra. Lahan dipinjamkan oleh seorang warga  dan akan dipakai untuk edukasi. Sejumlah medium yang ingin diimplementasikan adalah solar panel dan tenaga angin untuk menghasilkan listrik. “Dari rumah kecil sekitar 4×6 diharapkan bisa mengajak ke depannya orang peduli,” katanya tentang pengembangan energi terbarukan ini.

Sementara Adam mengenalkan inisiatif bernama Biobus. Siswa Green School ini  mengatakan proyek kolaboratif  ini sebagai transportasi alternatif. “Kami uji coba dengan pinjam bus yang diberi bahan bakar biofuel yang lebih ramah dibanding solar,” ujarnya.

Saat ini di Bali ada perusahaan yang sudah mengolah minyak goreng bekas menjadi biofuel. Yayasan Lengis Hijau ini membeli minyak goreng bekas dari restoran dan hotel untuk diolah di pabriknya menjadi biofuel, bahan bakar kendaraan.

“Banyak minyak goreng hotel dan resto sering dibeli usaha pribadi, dan jadi racun bagi tubuh,” jelas Adam. Kampanye Biobus ini menurutnya skalanya masih kecil dan baru 8 bulan digodok.

Aktivis Lingkungan dari Tunas Hijau menunjukkan peralatan elektronik yang hemat energi dan yang boros energi. Foto : Petrus Riski
Aktivis Lingkungan dari Tunas Hijau menunjukkan peralatan elektronik yang hemat energi dan yang boros energi. Foto : Petrus Riski

Lain lagi Gede Ganesha dari Singaraja, Kabupaten Buleleng dan rekannya dari Komunitas Muda Peduli Bali berhasil menjadikan pahlawan-pahlawan lokal penggerak lingkungan sebagai kepala dusun. Ada dua pegiatnya yang berusia kurang dari 30 tahun terpilih menjadi Kadus setelah aktif dan menunjukkan aksi pelestarian lingkungan seperti pengelolaan sampah. “Kami organisasi kecil bertindak untuk desa kami. Dua kader kami belum menikah masih 24 tahun, dari bank sampah jadi kepala dusun,” serunya.

Menurutnya gerakan pengelolaan sampah harus masuk desa karena tak dikelola. Sementara sampah di perkotaan sebagian besar sudah ada yang mengangkut. “Banyak yang masih menganggap hanya sebagai sampah padahal bisa dikelola, yang utama mengubah mindset,” kata Ganesha.

Verena Puspawardani dari Satgas Percepatan dan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memandu forum ini. “Inisiatif lokal yang bisa mempengaruhi global. Jangan ambil terlalu besar lalu bisa diaplikasikan di Bali. Jangan terbalik,” pintanya.

Sebagai tindak lanjut dan pengembangan program secara kolektif, seluruh penggerak ini mendiskusikan usulan pengurangan emisi yang diserahkan ke Menteri ESDM yang hadir saat Renewable Energy Forum ini.

Tak hanya kampanye global, mereka  mengusulkan program yang harusnya didorong dari anggaran pemerintah, fundraising, desain kampanye, dan implementasinya.

Sejumlah ide yang diusulkan setelah berdiskusi beberapa jam dipresentasikan. Untuk kampanye publik ada semacam zero waste festival atau Festival Sampah yang akan keliling desa. Lalu untuk pendidikan formal ada Kurikulum Hijau yang diterapkan di sekolah. Untuk kebijakan, kampanye mendorong implementasi energi terbarukan lebih agresif di Indonesia.

Melati dari komunitas Bye Bye Plastic Bag dengan lugas mengatakan dorongan untuk kebijakan lebih hijau ini memang normalnya dari pemimpin, atas ke bawah, tapi di sini berbeda harus dari bawah yg mendorong pemerintah. “Kita harus mulai mengubahnya dengan desakan pada pemimpin. Buat sistemnya untuk para change maker,” seru remaja perempuan belasan tahun ini.

Festival Sampah didorong tak hanya untuk pengelolaan sampah rumah tangga juga industri. Misal waste management untuk hemat air, sampah, energi, dan lainnya.

Sementara Green Curriculum membangun sumber daya yang sejak dini peduli lingkungan. “Kalau menjaga lingkungan pasti punya masa depan,” jelas Ganesha mewakili timnya di bidang pengembangan pendidikan. Ia mengingatkan tiap daerah di Indonesia punya kearifan lokal tentang pelestarian lingkungan.

“Di Bali, dulu sampah organik dibuang di halaman belakang, pohon diisi kain bukan menakuti tapi tak menyakiti pohon,” lanjutnya.  Selain mengangkat green local,  di sekolah diperbanyak green activities. Misalnya ke lokasi banks sampah, pengelolaan biofuel, dan lainnya.

Dukungan pada generasi muda ini sangat realistis. Karena generasi sekarang yang menentukan perubahan dan target Indonesia pada 2025.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,