, ,

Inilah Adaptasi Masyarakat Enrekang Atasi Kekeringan

Akmal setengah berlari mengajak kami mendaki sebuah lereng gunung yang hampir vertikal.  Di ujungnya, ada dataran dengan sebuah kolam besar yang dipenuhi air. Warga desa menyebut kolam itu sebagai embung. Tempat air tertampung sejenak sebelum akhirnya dialirkan ke bawah sedikit demi sedikit.

“Ada lagi embung di atas,” ujar bocah belasan tahun ini yang menemani kami di pertengahan Oktober 2015.

Embung merupakan bentuk adaptasi warga Dusun Wai-wai, Desa Latimojong, Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, menyiasati musim kering yang panjang dengan membendung dan menyimpan air di sebuah kolam penampungan. Air tersebut dialirkan ke sawah dan kebun petani secara bergilir.

Ichsan, salah seorang warga yang mempopulerkan pemanfaatan embung ini mengatakan keberadaan embung bermanfaat menyediakan air di musim kering dan menahan air di musim hujan.

“Dulu memang kita lihat sebelum adanya embung, pada saat musim seperti sekarang, tak ada air sama sekali. Padahal kampung ini dikenal sebagai daerah sumber mata air. Dengan embung, air yang dari atas kita bendung agar tidak segera mengalir ke bawah secara cepat,” katanya.

Warga di Enrekang juga menggunakan embung ini untuk menampung air yang disedot dari bawah menggunakan mesin pompa penyedot air.

Embung yang dibangun Ichsan tergolong kecil, hanya sekitar 4×3 meter di dua lokasi yang berdampingan. Meski kecil namun ternyata bisa dimanfaatkan beberapa warga Wai-wai lainnya.

“Ini bisa digunakan sampai enam orang, dengan cara mengalirkan air menggunakan selang kecil, ke kebun mereka yang ada di bawah,” jelas Ichsan.

Embung juga digunakan Ichsan sebagai tempat pembibitan ikan lele dan ikan mas, yang bisa memberinya penghasilan tambahan sekitar Rp10 juta sekali dalam dua bulan.

Swadaya pembangunan embung juga dilakukan oleh Rahim, warga Dusun Landoke, Desa Pasui, Kecamatan Pasui. Ia rela 25 are lahan kakaonya dibuat embung, yang kelak digunakan bersama 22 anggota Kelompok Tani Sipaturu. “Saya ikhlas karena demi kepentingan bersama,” katanya.

Upaya warga membangun embung ternyata menarik perhatian Pemerintah Daerah Enrekang. Pemda bahkan menganggarkan dukungan pembuatan embung dalam APBD 2015 ini.

“Di Dinas Pertanian saja, kita anggarkan sekitar Rp4 miliar untuk tahun ini. Belum termasuk yang dilakukan instansi lain seperti Lingkungan Hidup, Kehutanan, Peternakan dan Perikanan. Mereka punya juga program masing-masing yang ada kaitannya dengan embung,” ungkap Muslimin Bando, Bupati Enrekang.

Biaya pembuatan embung sekitar Rp50 – 120 juta digunakan untuk sewa alat, tenaga untuk pengerukan, pembangunan pintu air dan pipa-pipa air.

“Kalau lahannya adalah swadaya dari masyarakat sendiri yang rela tanahnya dijadikan sebagai embung.”

Anggaran Rp 4 miliar digunakan untuk membangun sekitar 190 embung di beberapa desa. “Anggaran Rp 4 miliar ini khusus untuk Dinas Pertanian saja, belum termasuk yang dianggarkan juga oleh SKPD lain seperti kehutanan, lingkungan, perikanan dan peternakan,” tambah Muslimin.

Muslimin memperkirakan saat ini Pemda sudah membantu pembuatan sekitar 1000 embung dan sejenisnya, sementara swadaya murni masyarakat untuk pembuatan 1000-an embung.

Muslimin melihat embung merupakan kearifan lokal mengantisipasi banjir, karena lahir dari ide masyarakat sendiri. “Selama ini, kalau datang hujan banyak dan tidak ada perlakuan-perlakuan, maka air itu akan lewat saja, bisa menyebabkan banjir dan menghabiskan humus-humus di daerah pertanian. Maka kami pun mendorong masyarakat membangun embung-embung ini untuk menahan air.”

Masyarakat secara swadaya menyiapkan lahannya sebagai lokasi pembuatan embung, seperti yang dilakukan oleh Rahim di Desa Pasui, Kecamatan Pasui, Enrekang, Sulsel. Foto : Wahyu Chandra
Masyarakat secara swadaya menyiapkan lahannya sebagai lokasi pembuatan embung, seperti yang dilakukan oleh Rahim di Desa Pasui, Kecamatan Pasui, Enrekang, Sulsel. Foto : Wahyu Chandra

Sebelumnya, bencana longsor kerap terjadi karena kemiringan tanah, dan sumber air yang mengering kala musim kemarau.  Dahulu warga kadang menggunakan pompa air untuk menyedot air guna menyiram tanaman. Meski efektif namun membutuhkan biaya yang besar.

“Kalau sekarang, dengan adanya embung, kita cukup menghidupkan mesin pompa selama dua jam sampai embung-embung itu penuh, dan ini  bisa digunakan lama dan banyak orang. Kemudian dialirkan kembali ke kebun di bawah tanpa menggunakan mesin lagi,” katanya. Embung tersebut mampu mengairi 80 persen kebutuhan air warga..

Kini air dari Enrekang, seperti Sungai Saddang, Mata Allo, Tanang, tidak hanya dinikmati oleh warga di daerah lain, seperti Pinrang, Sidrap dan Parepare, tapi juga dinikmati oleh warga Enrekang sendiri.

“Dulu air-air hujan dan dari gunung terkesan hanya numpang lewat saja di Enrekang. Dengan adanya embung kini petani di daerah kami bisa turut merasakan manfaat dari air-air tersebut.”

Ridwan Habibie, tenaga ahli air bersih pada Pogram IUWASH USAID untuk wilayah Sulsel dan Indionesia Timur, memuji upaya masyarakat Enrekang untuk bertahan dari kekeringan melalui pembuatan embung ini.

“Dengan adanya embung maka itu akan menahan air dari atas. Air diperangkap, untuk dijadikan cadangan air untuk menyiram tanaman. Itu yang namanya adaptasi, bagaimana masyarakat mensiasati perubahan iklim dengan cara-cara mereka sendiri. Tidak hanya mencegah penggerusan tanah di permukaan tapi juga bisa mencegah terjadinya banjir bandang.”

Embung ini, sangat efektif sesuai topografi Enrekang yang sangat miring, dengan profil bebatuan yang tidak menyerap air. Hasil penelitiannya menunjukkan kesuburan tanah di Enrekang makin berkurang karena pengikisan tanah permukaan terbawa air hujan.

“Ini bisa dilihat dari semakin banyaknya batu-batuan yang menonjol, yang berarti unsur hara tanah sudah sudah terkikis oleh hujan,” ujarnya.

Menurut Asep Atju Suratmat Mulyana, dari Climate Changes Adaptation Specialist IUWASH USAID, secara topografi sejumlah wilayah di Kabupaten Enrekang berstruktur geologi yang unik dengan kemiringan mencapai 70 persen.

“Artinya kemiringan bisa mencapai di atas 75 derajat. Konsekuensi dari kondisi ini adalah tanah pucuknya mudah terbawa air hujan, sehingga kebun-kebun di kawasan ini memiliki ketebalan tanah yang tipis.”

Akibat dari kondisi, menurutnya ini, tidak bisa menyimpan air hujan sebagai air tanah, sehingga ketika musim hujan, Enrekang, tidak memiliki cadangan air.

“Oleh karena itu masyarakat dengan kearifannya dalam rangka memenuhi kebutuhan air mencoba menerapkan pendekatan pembangunan embung untuk menahan laju air di hulu. Dari segi teknologi sudah tepat guna, dari segi pengalaman sudah sangat banyak,” tambahnya.

Namun pembangunan embung harus mempertimbangkan lokasi pembangunan serta jumlah yang ideal di sebuah lahan yang memiliki kemiringan besar.

“Masyarakat harus mendapatkan pengetahuan dasar terkait pembangunan embung ini karena pada kondisi lereng yang sangat miring, membuat embung secara sembarangan dikhawatirkan malah bisa menimbulkan tanah longsor.”

Menurutnya, pembuatan embung yang semakin massif dan banyak di lokasi yang tepat akan menjadi sebuah model adaptasi perubahan iklim.

“Kalau Enrekang dapat mempertahankan cadangan air hujan melalui embung ini maka akan memiliki cadangan air di musim kering, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Enrekan sendiri tetapi juga bagi daerah yang ada di hilir seperti Pinrang dan Sidrap dan Parepare.”

IUWAS sendiri, menurut Ridwan, berupaya memperkuat pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim ini, yang mulai sangat terasa dengan curah hujan yang berubah, dan musim kemarau yang semakin panjang.

“Kita mencoba memperkuat kelompok tani dan memberikan bantuan teknis terkait pembuatan embung, termasuk lokasi yang tepat untuk dibangun agar nantinya tidak malah menimbulkan masalah baru.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,