, ,

Penguatan Hutan Adat Papua Demi Menjaga Wilayah Warga dan Pelindung Kawasan

Dewanto Talubun, dari Perkumpulan Silva Papua Lestari, kagum melihat praktik Suku Koroway, menanam karet, lada, gaharu dan tanaman buah lain sampai beternak. Setiap empat atau lima langkah ditandai mematok pakai sepotong kayu. Setiap patok, warga menggali lubang, lalu memasukkan bibit dari pesemaian.

Masyarakat sudah mengenal cara bertani dan teknik berdagang. Awalnya, warga mengambil langsung dari hutan.

Perkumpulan Silva Papua Lestari, yang mendampingi warga adat beberapa kabupaten di Papua, untuk mendapatkan pengakuan hutan (wilayah) adat. Foto: Agapitus Batbual
Perkumpulan Silva Papua Lestari, yang mendampingi warga adat beberapa kabupaten di Papua, untuk mendapatkan pengakuan hutan (wilayah) adat. Foto: Silva Papua Lestari

Dulu, Suku Koroway, membuat rumah di pohon. Untuk menemui mereka, pengunjung harus memanjat tangga sepotong kayu hingga sampai di rumah mereka. Tinggi kayu sampai 10 meter. “Mereka takut serangan suku lain hingga membangun rumah pohon,” katanya. Sekarang, warga mulai membangun rumah di tanah.

Beruntung, hutan sebagai lumbung pangan masyarakat masih terjaga karena sangat jauh dari jangkauan pemerintah. Mereka terkenal dengn meramu, berburu dan bergantung dari hutan.

Ada 13 kampung dan enam dusun didampingi Silva Papua Lestari dengan 1.722 orang. Silva tengah mengembangkan skema hutan adat di Papua. Tujuannya, melegalkan wilayah hutan adat secara hukum formal pemerintah, dan mengembalikan pengeloaan hutan kepada masyarakat adat. Juga meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga melalui pemanfaatan hutan lestari berlandaskan budaya lokal dan agroforestry.

Kristian Ari Yawimahe, Direktur Silva Papua Lestari mengatakan, wilayah adat yang akan diupayakan mendapatkan pengakuan pemerintah seperti di Boven Digoel, Mappi, Asmat, dan Yahukimo. Daerah ini berdiam Suku Koroway, Kombay, Kofojap, Ulakhin dan Kopkaka.

 Warga Koroway mulai membibitkan karet. Foto: Silva Papua Lestari
Warga Koroway mulai membibitkan karet. Foto: Silva Papua Lestari

Dari aspek ekologis, wilayah ini sangat penting karena berada pada dua kali besar yaitu Kali Siretsy (Einlanden) dan Kali Ndairam. Masyarakat hidup secara tradisional, mengandalkan hutan sebagai rumah dalam memenuhi segala kebututuhan hidup. “Bertani, berkebun, berburu dn mencari ikan di sungai keseharian warga,” katanya.

Jaga kawasan penyangga

Yawimahe menyebutkan, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Papua memiliki kawasan hutan 30, 387.449 hektar (25%) dari luasan hutan di Indonesia. Sebanyak 1.766 kampung di Papua, ada kawasan hutan.

Papua berjalan dengan aturan khusus lewat UU Otonomi Khusus 2001. Namun, peraturan ini sangat lemah dalam legalitas wilayah adat dan askses pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat.

Dia mengatakan, belajar pengalaman era sentralisasi kebijakan kehutanan sebelum Otsus Papua, banyak izin pemanfaataan hutan masyarakat dalam bentuk “Koperasi Peran Serta Masyarakat” (Kopermas) dimanfaatkan pihak luar menguras kekayaan hutan Papua dari masyarakat adat.

Masyarakat adat, katanya, tak memiliki akses legal terhadap hutan adat, konflik pemanfaatan ruang dalam kawasan hutan tinggi.

Rumah pohon warga Koroway di Boven Digoel. Foto: Silva Papua Lestari
Rumah pohon warga Koroway di Boven Digoel. Foto: Silva Papua Lestari

Konflik pemanfaatan muncul seperti pengalokasian izin kepada investor dengan pengabaian hak ulayat. Seharusnya, pemanfaatan berimbang dengan tetap menjaga kawasan penyangga terlindungi. Dia mencontohkan, Boven Digoel luas hutan 303.000, 907 hektar, Mappi hanya 53.438 hektar, Asmat 74.691 hektar dan Yahukimo 52.703 hektar, jadi total 448.809 hektar. “Ini masuk menjadi daerah penyangga.”

Menurut Yawimahe, aktivitas di pegunungan tinggi. Struktur hutan pegunungan tak terjaga otomatis di hilir abrasi. “Penyangga ini penting terjaga.”

Dia mendapatkan informasi akan ada investor masuk di wilayah pegunungan. Kondisi ini, katanya, mengkhawatirkan. Kala terjadi penebangan hutan di Yahukimo, maka Distrik Suator, Asmat mengalami banjir besar, juga Boven Digoel. “Ini indikasi jika pembangunan di hulu hingga tidak ada penyangga, pasti berdampak pada kampung-kampung di bawah pegunungan,” katanya.

Untuk itu, Silva Papua mendorong hutan adat agar hutan-hutan penyangga terjaga dengan tetap menjadi wilayah hidup warga.

Dia mengenang banjir besar beberapa tahun lalu di Boven Digoel. Kali Digoel meluap hingga melibas segala sesuatu dari tanaman hingga bangunan. Kala itu, rumah sakit di Penjara Boven Digoel, merupakan peninggalan zaman Belanda hampir runtuh.

Rumah Suku Koroway. Foto: Silva Papua Lestari
Rumah Suku Koroway. Foto: Silva Papua Lestari
Warga Koroway juga menanam sayur mayur. Foto: Silva Papua Lestari
Warga Koroway juga menanam sayur mayur. Foto: Silva Papua Lestari
Suku Koroway, salah satu yang didampingi Silva Papua untuk mendapatkan pengakuan hutan adat. Foto: Silva Papua Lestari
Suku Koroway, salah satu yang didampingi Silva Papua untuk mendapatkan pengakuan hutan adat. Foto: Silva Papua Lestari
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,