, ,

Menyaksikan Pengelolaan Alam Berbasis Masyarakat di Desa Bahoi, Minahasa Utara

Sebagian besar penduduk Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sejak 1999, nelayan masih melakukan penangkapan ikan yang merusak, seperti menggunakn bom dan racun. Mangrove juga ditebang.

Pada tahun 1999, desa ini jadi satu di antara 31 desa di kawasan pesisir yang diarahkan sebagai wilayah Daerah Perlindungan Laut (DPL). Melalui program Coastal Resources Management Project (CRMP), warga desa mendapat sejumlah sosialisasi dan kegiatan.

“Waktu itu disampaikan bahwa program ini menjadi barometer kepada desa-desa di pesisir sejauh mana mereka mampu mengelola potensi yang ada,” kata Maxi Lahading, warga desa Bahoi, kepada Mongabay, awal Oktober 2015.

Lewat program tersebut, ia habis-habisan memperjuangkan perlindungan sumber daya kelautan dan perikanan di sana. Sebab, ketika masih muda, Maxi sering mendengar cerita dari orang-orang tua bahwa banyak ikan masuk sampai dekat pantai. Bahkan, kabarnya, meski mereka tebar racun di laut, ikan yang diangkat baru akan habis dalam waktu tiga hari. Kemudian, saat nelayan tebar pukat, belum sampai di darat ikan sudah banyak.

“Dari situ, sebagai nelayan tradisional, saya termotivasi untuk menjaga laut. Sebab, kalau lingkungan rusak saya sudah tidak bisa hidup. Akhirnya, saya berusaha sekeras mungkin,” ujar mantan kepala desa Bahoi ini.

Perdes DPL kemudian ditetapkan pada 2003, seluas 10 hektar. Sejak saat itu, ia banyak berdebat dengan sejumlah nelayan, baik di dalam maupun dari luar Bahoi, yang tidak sepakat dengan penetapan DPL.

Mereka protes bahkan mengancam karena dilarang menangkap ikan. Tapi Maxi tidak gentar. “Karena, memang, kalau tidak begitu, tidak ada DPL di Bahoi. Terbukti, dari 31 desa hanya Bahoi yang bertahan,” kata ketua kelompok pengelola DPL tahun 2003 itu.

Pembentukan DPL mengajarkan kepada warga dan nelayan cara pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. “Kita harus melihat kedepan. Kalau lingkungan rusak, baik di darat maupun di laut, kehidupan tidak akan beres. Makanya, sumber daya alam ini harus dijaga untuk kehidupan anak-cucu selanjutnya.”

“Dampak dari DPL, selain peningkatan produksi perikanan, tahun 2011, Bahoi menerima penghargaan Adi Bakti Mina Bahari,” tegasnya.

Perahu nelayan di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Sebagian besar warga Desa Bahoi  berprofesi sebagai nelayan dan petani. Foto : Themmy Doaly
Perahu nelayan di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Sebagian besar warga Desa Bahoi berprofesi sebagai nelayan dan petani. Foto : Themmy Doaly

Daud Dalero, Hukum Tua (kepala desa) Bahoi, membenarkan, nelayan cukup merasakan hasil dari penetapan DPL ini. Banyak ikan-ikan di wilayah DPL yang bergerak dari area perlindungan yang kemudian dimanfaatkan oleh nelayan.

Perdes tahun 2003, direvisi dengan Perdes No.2/2010 tentang Pengelolaan Pesisir dan Ekowisata. Perdes ini merevisi peraturan yang kurang sesuai, termasuk larangan kegiatan masyarakat di zona yang sudah ditetapkan sebagai DPL. Ada juga penetapan area yang membolehkan masyarakat menangkap ikan selama tidak merusak lingkungan.

“Larangan merusak tidak hanya berlaku di wilayah DPL, namun di semua lokasi yang terdapat mangrove, yang luasnya sekitar 40 hektar.”

Setelah pembentukan DPL, praktik merusak lingkungan teratasi, termasuk perusakan mangrove. Untuk melakukan penebangan pohon di pinggir pantai, harus berkoordinasi dengan pemerintah desa. Jika melanggar, pelaku harus mengganti sesuai dengan jumlah yang sudah terkena dampak pengrusakan. “Kalau dilakukan secara berulang-ulang, kami akan limpahkan ke pihak kepolisian,” tegasnya.

Pasir putih di pantai Tanjung Kemala di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly
Pasir putih di pantai Tanjung Kemala di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Pada pertengahan 2015, Yapeka, PKSPL IPB dan Celebio, mempublikasi sebuah working paper judul To Strengthen Marine Biodiversity in North Sulawesi (Bahoi, Talise and Lihunu) by Enlarging and Creating Marine Protected Areas.

Dalam working paper yang didanai GoodPlanet itu, disebutkan, DPL di Desa Bahoi terbukti efektif meningkatkan suplai ikan untuk masyarakat. Nelayan sangat bergantung pada sumber daya kelautan dan pesisir untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan menerapkan DPL, nelayan dapat memanfaatkan dan meningkatkan ketersediaan sumber daya kelautan dan perikanan, tanpa memberi dampak negatif pada lingkungan.

Disebutkan DPL berkontribusi menambah stok ikan dengan menjaga area distribusi organisme anakan, berfungsi sebagai area rekrutmen ikan dan menyediakan lokasi penyangga untuk melindungi lingkungan.

Berbagai ikan yang ditangkap nelayan Bahoi adalah pelagis, yang ditangkap di laut lepas menggunakan pajeko dan purse seine. Nelayan juga menangkap ikan tude, deho dan malalugis. Tangkapan tertinggi, pada Maret 2014, diperkirakan mencapai 8.836 kg. Sementara, pada bulan September 2014, karena pengaruh cuaca, tangkapan nelayan menurun di angka 3.173 kg.

Desa Ekowisata

Belakangan, Bahoi didapuk sebagai desa ekowisata karena kondisi lingkungan yang cukup terjaga, seperti 28 hektar mangrove, dengan 8 jenis mangrove di desa ini, yang didominasi oleh Rhizopora apiculata, R. mucronata dan B. gymnorrhiza.

Sementara itu, tercatat pula sebanyak 8 jenis rumput laut, di antaranya E. acoroides, T. hemprici, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis and Halodule pinivolia. Luasnya mencapai 27 hektar. Juga terdapat terumbu karang di perairan Bahoi seluas 20 hektar.

Pada awal 2014, desa ini dikunjungi puluhan jurnalis dari berbagai belahan dunia, yang ingin menyaksikan keindahan alamnya. Di desa ini, ada juga pantai yang tersembunyi di antara hutan mangrove. Sejumlah backpacker menyebutnya hidden beach atau yang oleh warga lokal dinamakan Tanjung Kemala. Untuk mencapai lokasi tersebut, wisatawan harus melintasi jembatan di antara mangrove.

Jembatan di tengah mangrove menuju Tanjung Kemala di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly
Jembatan di tengah mangrove menuju Tanjung Kemala di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Foto : Themmy Doaly

Pembangunan jembatan pada 2014 itu tidak merusak, meski tepat berada di tengah mangrove karena, didesain mengikuti jalur tumbuh mangrove. Di Tanjung Kemala, pasir putih menjadi ‘karpet’ alami. Sejumlah gazebo didirikan.

Menurut Maxi, gazebo itu jadi contoh pembangunan yang tidak sesuai dengan konsep ekowisata. Pembangunan gazebo itu juga menunjukkan perbedaan sudut pandang antara masyarakat lokal dengan wisatawan, khususnya dari mancanegara.

“Orang lokal cenderung ingin melakukan pembangunan dengan ‘betonisasi’ di sejumlah lokasi wisata, namun wisatawan mancanegara ingin tampilan alamiah,” katanya.

Maxi menduga, hal itu terjadi karena pembangunan tidak melibatkan warga desa, termasuk kepala desa. “Bentuk bangunan itu tidak cocok dengan alam sekitarnya. Pagarnya saja tinggi-tinggi, ibarat pemugaran makam. Saya mengumpamakan gazebo-gazebo itu seperti makam. Ada yang saya namakan (makam) Sisingamangaraja, Teuku Umar dan Imam Bonjol,” ucapnya ketus.

Sejumlah program pelatihan dari pemerintah sempat masuk di Bahoi. Warga desa diajarkan keterampilan untuk menunjang ekowisata, mulai dari pelatihan jasa homestay, guide, hingga pembuatan handycraft. Kegiatan tersebut turut membangun kesadaran masyarakat terkait manfaat DPL.

“Potensi sumber daya alam bisa ‘dijual’, agar punya nilai tambah untuk peningkatan ekonomi masyarakat sekitar. Contohnya dengan membuat tempat wisata, secara otomatis, hasil kebun – semisal pisang – kedepannya bisa dimanfaatkan oleh wisatawan juga,” ujar Maxi.

Daud Dalero, menjelaskan, konsep ekowisata berbasis masyarakat, karena pengelolaan laut dan pesisir dilakukan oleh masyarakat. “Setelah ditetapkan sebagai desa ekowisata, masyarakat terlibat dalam penataan desa. Akibatnya tata desa lebih teratur dan bersih. Secara umum, masyarakat terbantu dengan konsep DPL dan ekowisata di Bahoi.”

Meski demikian, saat ini, Daud merasa belum semua masyarakat menikmati dampaknya. Sebab, jumlah wisatawan belum bisa dibilang stabil. Ia berharap, berbagai pihak bisa mendorong peningkatan jumlah wisatawan ke desa ini. “Kami juga berharap kontribusi dari pemerintah daerah agar konsep desa ekowisata bisa tercapai.”

Ia juga berharap masyarakat sekitar bisa mengembangkan keterampilan, terutama yang berprofesi sebagai pemandu wisata, karena belum ada guide yang bisa memandu wisatawan secara profesional.

“Kedepan jika, jumlah pengunjung meningkat diharapkan partisipasi masyarakat bisa lebih baik lagi, khususnya keterampilan dari warga desa, terutama para pemandu wisata,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , ,