,

Wow… Penurunan Muka Air Tanah di Bandung Mencapai 75 Meter. Kenapa?

Kota Bandung menjadi salah satu kota besar di Indonesia dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan industri yang cukup tinggi. Pertumbuhan ini mempengaruhi ketersediaan dan daya dukung lingkungan seperti sumber air.

Kurangnya ketersediaan lahan hijau yang semakin menyusut oleh peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri  mengakibatkan Bandung menjadi krisis air. Krisis air ini ternyata memicu penurunan muka air tanah secara signifikan telah terjadi di daerah Bandung dan sekitarnya. Berdasarkan data dari beberapa penelitian, penurunan muka air tanah di kawasan kota Bandung sudah mencapai 75 meter.

Profesor Lambok Hutasoit, ahli Hidrogeologi Institut Teknologi Bandung  (ITB) mengatakan, penelitian penurunan muka air tanah (MAT) di kota Bandung sudah sejak lama dilakukan . Dia mengatakan dalam melakuka penelitian muka air tanah melibatkan beberapa peneliti dari berbagai institusi penelitian terhitung sejak tahun 1955 hingga 2013.

Dia memaparkan kondisi geologi Bandung yang terdapat lintasan bekas letusan gunung berapi menjadikan kawasan Bandung dan sekitarnya tidak sulit untuk menemukan air tanah dengan kedalam rendah. Maka, Berdasarkan lokasi penelitiannya disesuaikan dengan struktur hidrogeologisnya kawasan Bandung.

Lambok menjelaskan berdasarkan pemetaan daerah penelitian, formasi Cibereum yang disusun oleh kipas – kipas vulkanik dan formasi Kosambi yang disusun oleh endapan danau menjadi target untuk diteliti.  Dia menambahkan yang termasuk pada formasi Cibeureum adalah daerah Bandung Utara hingga kota Bandung, sedangkan yang masuk formasi Kosambi adalah kawasan Bandung Timur dan sekitarnya.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa penelitian dilakukan menggunakan simulasi dua skenario. Pertama pengambilan air tanah terus meningkat, seiring dengan pertumbunhan penduduk dan perkembangan industri, tanpa menambah area resapan. Sedangkan simulasi kedua, pengambilan air tanah sama dengan skenario pertama , tetapi dilakukan penambahan resapan dengan resapan buatan.

“Tahun 2013 hasil dari simulasi pertama menunjukan bahwa terdapat zona krisis sebesar 116 persen dan zona rusak 570 persen. Pertumbuhan industri dan penduduk yang meningkat mengakibatkan pengambilan air tanah setiap tahunnya mengalami hal serupa yakni meningkat sebanyak 2,5 persen. Jika tidak dilakukan pemulihan terhadap kondisi air tanah, maka kondisi tersebut bisa makin parah,” ujarnya saat ditemui Mongabay di ruang kerjanya, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, pada pertengahan Oktober 2015.

Dia melanjutkan hasil dari skenario ini juga menunjukan bahwa akan terjadi groundwater mining (pertambangan air) di beberapa zona krisis seluas 244 km persegi atau 41 persen dari luas akuifer (lapisan batuan dibawah permukaan tanah yang mengandung air dan dapat dirembesi air) terkekang di daerah penelitian.

Profesor Lambok Hutasoit, ahli Hidrogeologi Institut Teknologi Bandung  (ITB) yang meneliti penurunan muka air tanah (MAT) di kota Bandung. Penurunan muka air tanah di kawasan kota Bandung sudah mencapai 75 meter. Foto : Dony Iqbal
Profesor Lambok Hutasoit, ahli Hidrogeologi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang meneliti penurunan muka air tanah (MAT) di kota Bandung. Penurunan muka air tanah di kawasan kota Bandung sudah mencapai 75 meter. Foto : Dony Iqbal

Lambok mengatakan untuk hasil simulasi skenario kedua menunjukan bahwa peresapan buatan di zona kritis dan zona rusak dapat dengan efektif memulihkan kondisi muka air tanah apabila itu benar – benar dilakukan dan direalisasikan tahun 2009 lalu.

Dia menambahkan seluruh daerah penelitian menjadi zona aman, jika jumlah peresapan buatan telah dilakukan sebesar 164 juta kubik per tahun. Peresapan buatan ini bisa berupa sumur resapan, reservoir permukaan atau parit resapan dimana formasi Cibereum tersingkap.

Perlu Adanya Kontrol

“ Kondisi sekarang tentu berbeda dengan kondisi dulu,  ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air kini banyak yang tertutupi. Sebagai akibatnya, saat musim hujan tiba air tidak terserap secara baik oleh tanah sedangkan ketika musim kemarau tiba keadaan air tanah berkurang dan mengakibatkan kesulitan mendapatkan air,” katanya.

Lambok menegaskan dalam konteks pengelolaan air harus ada peran  pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Pembanganan kota yang kurang tertata menambah persoalan semakin buruknya kondisi air.

“Hotel, apartemen dan industri tekstil itu bagamana menjemen kontrolnya dari pemerintah? Jangan sampai mereka mebuat sumur artesis tidak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah. Jika semua tidak didayagunakan dengan bijak, ini solusinya harus apa dan bagaimana? Permasalahan kelangka air yang terjadi dimasyarakat menengah kebawah menjadi personal yang terus terulang dan tidak bisa dibiarkan sebagai fenomena musiaman. Artinya pemerintah harus betul – betul mengelola serta kontrolnya yang baik,” tuturnya,

Dia mengatakan PDAM harus diberdayakan dalam pengelolaan air. Para pelaku industri bisa saja didorong menggunkan air PDAM supaya kontroling pemerintah dalam pengelolaan air bisa terkenadali serta menjadi solusi kelangkaan air tanah yang terus berkurang.

Dia menambahkan perlu dilakukan sosialisasi kepada pelaku industri untuk melakukan daur ulang air agar bisa digunakan kembali dan tidak selalu menggunakan air dari sumur artesis.

Dia menuturkan sosialisasi juga perlu dilakukan kepada usaha kecil menengah ke bawah seperti pencucian kendaraan bermotor serta jasa pencucian baju yang setiap kegiatanya menggunakan air dari sumur bor. “Untuk cuci kendaraan sebaiknya menggunakan air bekas saja yang masih bersih, sayang atuh air tanahnya jika suatu saat habis. Sebetulnya banyak alternatif lain yang bisa dipakai,” ucapnya.

Kurangnya Lahan Hijau

Dadan Ramdan, Ketua Wahana Lingkungan Hijau Jawa Barat , yang dihubungi Mongabay mengatakan alih fungsi lahan di Bandung utara sedikit banyak  mempengaruhi ketersediaan air tanah. Padahal kawasan tersebut merupakan lahan hijau dan daerah resapan air, yang sekarang secara masif berubah menjadi hutan beton dengan berdirinya hotel, apartemen dan properti.

Faktor penyebab penurunan air tanah adalah kurangnya daerah resapan air dikota Bandung. Tidak bisa dipungkiri bahwa kawasan hijau ataupun daerah resapan air yang tersedia belum mampu menampung dengan baik. Banyaknya bangunan yang menutupi tanah menyebabkan air tidak bisa diserap secara optimal oleh tanah.

Dia menambahkan pemda masih kurang memperhatikan kaidah konservasi lingkungan untuk perencanaan pembangunan. Dia mengungkapkan bahwa banyak berdirinya pemukiman mewah, vila dan properti di tempat resapan air seperti di kawasan Bandung Utara.  Ditambah lagi dengan semakin berkurangnya lahan pesawahan dan ruang terbuka hujau (RTH) yang seharusnya dapat dimanfaakan sebagai resapan air.

Senada dengan Walhi, Lambok memaparkan bahwa perkembangan jaman mempengaruhi kebiasan masyarakat. Dia mengatakan solusi terbaik untuk menanggulangi krisis air dan penurunan muka tanah yaitu dengan teknologi sumur resapan. Teknologi tersebut dinilai mampu mengatasi ekplorasi berlebih penggunaan air tanah.

Menurutnya untuk membuat sumur resapan hanya perlu mengeluarkan biaya sekitar Rp 3 juta, yang dibersihkan secara berkala. “Sistem kerjanya sederhana, ketika musim hujan tiba air tidak begitu saja mengalir tapi dialirkan ke tabung yang disediakan. Jadi ketika musim kemarau, kita tak usah risau karena kita punya cadangan air yang ditampung tadi,” katanya.

Teknologi sederhan tersebut bisa dipakai oleh semua kalangan masyarakat. Walapun perlu dilakukan kajian terlebih dahulu untuk pemakaianya, sebab harus disesuaikan dengan letak gerografis tempat tinggalnya.

Peralilhan Wewenang

Mengenai masalah turunnya muka air tanah ini, Mongabay sudah berusaha menghubungi Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) kota Bandung, akan tetapi  sulit dimintai konfirmasi.

Dinas ESDM Pemprov Jabar menjelaskan sesuai Perda Provinsi Jawa Barat  No.24/2014 tentang Organisai Perangkat Daerah telah terjadi peralihan pengelolaan air dari Pemkot Bandung kepada ESDM Pemprov Jabar.

“Memang betul sejak awal tahun 2015 penyerahan pengolalan air sudah dialihkan kepada kami. Namun, itu baru kewenanganya saja. Perkara data, kami belum menerima dari BPLH kota Bandung. Perlu waktu juga dan tidak serta merta langsung dikirim ke kami datanya, ada tahapan birokrasinya juga. Nah, untuk data penurunan muka tanah sebetulnya masih ada di BPLH. Kami belum melakukan penelitian karena baru kemarin diserahkannya,” kata Kepala Bidang Divisi Bagian Pengelolaan Sumber Daya Mineral,  Dinas ESDM Pemprov Jabar,  Aan Nurhasanah saat ditemui di kantornya.   

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,