, ,

Begini Kisah Masyarakat Adat Aek Godang

Namanya Desa Aek Godang. Terletak di Kecamatan Adiankoting, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pepohonan hijau nan lebat membuat suasana tenang dan udara sejuk. Suara gemercik air sungai melintasi hutan. Jernih dan bersih. Anak-anak tampak berlarian di dekat pekarangan rumah.

Penduduk desa ini hanya 20 keluarga. Mereka tinggal turun temurun di wilayah ini dengan memegang kuat hukum adat. Setiap mengambil keputusan, para ketua adat berkumpul di balai desa atau Jambur. Mereka bermusyawarah.

Pada Oktober lalu, bersepeda motor, saya datang ke desa ini. Jalanan masih dipenuhi bebatuan besar dan cukup terjal. Tiba disana, tampak ibu-ibu tengah memasak di dapur. Ada yang menyiapkan alat berkebun. Usai sarapan, mereka membawa cangkul dan berbagai peralatan ke lahan pertanian maupun kebun. Ada yang menanam andaliman, padi, pepaya, sawi, cabai, sampai durian. Mereka bertani dan berkebun, tetapi hanya pekerjaan sampingan. Sebagian besar warga hidup dari hasil kemenyan.

Saya bertemu Opung Mahusim Hutapea, Ketua Adat Aek Godang. Dengan logat Batak cukup kental, dia mengajak saya berkeliling desa. Meskipun usia beranjak 82 tahun, Opung Hutapea kuat berjalan menanjak memasuki hutan kemenyan.

Dia bercerita, sekitar tahun 1925, kakek dan nenek mereka datang ke desa ini. Sebelumnya, keluarga mereka hidup di Desa Pancur Batu, terletak di balik gunung, tidak jauh dari desa sekarang.

Desa Aek Godang. Foto: Ayat S Karokaro
Desa Aek Godang. Foto: Ayat S Karokaro

Dulu, setiap keluarga yang sudah menikah terutama laki-laki, mendapatkan jatah tanah buat bercocok tanam. Opung Hutapea bersama warga lain mendapatkan jatah tanah di Desa Aek Godang. Setelah menikah, dia bersama warga lain pindah ke sini.

“Disini kami hidup damai. Setiap ada masalah, tetua adat berkumpul bersama warga mencari jalan terbaik. Termasuk komitmen menjaga kawasan hutan agar tidak dirusak. Itu berlangsung hingga kini, ” kata Hutapea.

Pada 1963-1965, setidaknya ada 60 keluarga tinggal di sana. Dengan alasan ingin dekat dengan kawasan ekonomi, mereka pindah ke Desa Simate-mate. Selain itu, jalur transportasi dari Desa Aek Godang, menuju desa lain juga cukup jauh. “Sebelum pindah, kami adakan musyawarah. Setelah semua warga desa dan para tetua adat setuju, diberangkatkanlah mereka ke pintu keluar desa untuk pindah ke desa lain.”

Sedang 15 keluarga tak pindah. Mereka bertahan menjaga desa dan hutan adat. Menurut cerita, keturunan 15 keluarga ini sudah mengikat janji tetap tinggal disana, walau apapun yang terjadi.

Inilah Desa Aek Godang, di kelilingi hutan adat hijau dan damai. Kicau burung dan kokok ayam terdengar riuh ketika pagi datang. Foto: Ayat S Karokaro
Inilah Desa Aek Godang, di kelilingi hutan adat hijau dan damai. Kicau burung dan kokok ayam terdengar riuh ketika pagi datang. Foto: Ayat S Karokaro

Pohon kemenyan atau haminzon, tetap mereka jaga karena peninggalan leluhur dan dianggap tanaman keramat. Pohon ini tak hanya memberikan nilai ekonomi dari getahnya, juga mempunyai nilai konservasi tinggi. Setiap satu kemenyan, ada 10 pohon hidup di sekelilingnya. Begitu sebaliknya. Hingga sepanjang ada hutan kemenyan, berbagai jenis pepohonan tetap hidup. “Ini pilihan kami. Jika tak diganggu, kami takkan menganggu.”

Saat mengelilingi hutan, terlihat Opung Jati Hutapea, Tetua Adat Dea Simate-mate, Dusun Ternauli, tampak membersihkan pohon kemenyan.

Opung Jati mengatakan, luas pohon kemenyan pada hutan adat di Dusun Turnauli-Aek Godang seluas 50 hektar. Pendapatan mereka dari menjual getah kemenyan ini, katanya, mampu membantu ekonomi keluarga.

Mengenai harga getah kemenyan, katanya, dulu per kg sama dengan satu gram emas. Kini, 3,5 kg haminzon hanya Rp150.000. Harga mulai turun, kata Jati, karena pohon kemenyan sudah tua. Merekapun mulai peremajaan bertahap. “Antara 10-20%. Itu dilakukan sebagian besar masyarakat desa ini.”

Masyarakat adat, katanya, terus bertahan menjaga hutan dari ancaman perusakan atau ekspansi perusahaan yang berulangkali mencoba masuk. Mereka, katanya, tetap menjalankan aturan adat, sejak ratusan tahun lalu. “Jika ada merusak hutan adat apalagi pohon kemenyan, akan kena sanksi atau denda dengan uang atau menanam kembali hutan yang rusak.”

Khusus kayu kemenyan, jika ditebang harus ganti uang Rp500.000 per batang. Uang diberikan pada warga adat yang mengurus dari kecil sampai besar hingga menghasilkan getah kemenyan. Setelah wajib membayar ganti rugi, ucap Opung Jati, pelaku harus menanam dengan menyediakan bibit kemenyan sejumlah tebangan.

“Sampai sekarang kami mempertahankan hukum adat. Semua memahami. Perusahaan tidak pernah bisa masuk. Kami jelas menolak. Jika diberi izin, hutan hancur.”

Panen tiba. Padi dijemur di depan rumah warga Desa Aek Godang, Tapanuli Utara. Foto: Ayat S Karokaro
Panen tiba. Padi dijemur di depan rumah warga Desa Aek Godang, Tapanuli Utara. Foto: Ayat S Karokaro
Tawa lepas anak-anak masyarakat adat Batak Aek Godang ini hidup tenang. Foto: Ayat S Karokaro
Tawa lepas anak-anak masyarakat adat Batak Aek Godang ini hidup tenang. Foto: Ayat S Karokaro
 Pohon kemenyan di hutan adat Aek Godang masih usia muda, dan mulai disadap dengan kualitas getah bagus. Foto: Ayat S Karokaro
Pohon kemenyan di hutan adat Aek Godang masih usia muda, dan mulai disadap dengan kualitas getah bagus. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,