,

Roh Illegal Logging Bercokol di Balik Kebijakan Menteri Perdagangan

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, resmi berlaku hari ini, Kamis (19/11/2015). Salah satu poin penting dari regulasi tersebut adalah industri hilir tak wajib mengantongi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kebijakan ini diperkirakan akan membuka kran bagi kejayaan illegal logging di Kalimantan Barat.

Hal itu terungkap dalam Pelatihan Pemantauan Bagi Pemantau Independen SVLK yang dihelat Eyes on the Forest (EoF) Jaringan Kalimantan Barat di Pontianak, Rabu (18/11/2015). “Kebijakan ini hanya mengantar ‘roh’ para illegal logger untuk kembali berjaya di hutan Kalimantan,” kata M. Lutharif, Koordinator EoF Jaringan Kalbar.

Melalui regulasi itu pula, kata Lutharif, Industri Kecil dan Menengah (IKM) serta Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang melakukan ekspor untuk produk industri kehutanan yang termasuk ke dalam Kelompok B, seperti produk kerajinan dan mebel kayu tidak diwajibkan melampirkan dokumen SVLK (V-Legal) pada saat melakukan ekspor.

Padahal, SVLK ditujukan untuk pengelolaan hutan lestari (PHL), penerapan tata kelola kehutanan, pemberantasan penebangan liar serta perdagangannya di Indonesia. Dengan diberlakukannya Permendag 89/ 2015 ini membuka celah illegal logging marak kembali, terutama di sektor industri hilir.

“Indonesia memiliki sejarah panjang pemberantasan illegal logging di era 1998-2004. Ketika SVLK hadir sebagai pendekatan persuasif untuk menutup celah bagi para pelaku illegal logging, tiba-tiba saja pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dengan mudah membuka kembali celah itu,” tegas Lutharif.

Hasil penelusuran EoFJaringan Kalimantan Barat, dari 11 industri hilir yang tersebar di Kabupaten Kubu Raya, Ketapang, dan Mempawah, hanya satu perusahaan yang mengantongi Sertifikat Legalitas Kayu.

Meski tidak sesemarak di era tahun 1998, aktivitas illegal logging masih ada di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, hingga saat ini. Foto: Andi Fachrizal
Meski tidak sesemarak di era tahun 1998, aktivitas illegal logging masih ada di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, hingga saat ini. Foto: Andi Fachrizal

Sementara Direktur Titian Lestari, Sulhani mengatakan, SVLK sebagai alat perbaikan tata kelola menuntut adanya sinkronisasi peraturan. “Permendag 89/ 2015 ini sudah tidak selaras dengan tujuan SVLK,” katanya.

Sebagai alat pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya di Indonesia, urai Sulhani, SVLK adalah salah satu inisiatif pemerintah dan pemangku kepentingan yang muncul untuk mengatasi pembalakan liar dan mempromosikan kayu legal di Indonesia.

“Sistem ini bertujuan memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sumber-sumber yang legal dan dapat diverifikasi kebenarannya,” terang Sulhani.

SVLK diterapkan melalui mekanisme sertifikasi oleh pihak independen atau Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional.

“Nah, ketika industri hilir tidak wajib memenuhi ketentuan dalam SVLK sebagaimana tertuang di dalam Permendag 89/2015, akan membuka peluang pencucian kayu ilegal di tingkat industri hilir. Sebab, tidak ada jaminan kayu-kayu dari industri hulu itu legal,” jelas Sulhani.

Seperti yang telah diberitakan Mongabay, Kementerian Perdagangan menganggap adanya SVLK menghambat kran ekspor. Padahal, jika dilihat dari data ekspor kayu Indonesia, peningkatan terjadi setelah pemberlakuan V-Legal.

Pada 2013, nilai ekspor industri perkayuan US$6,067,388,152, naik menjadi US$6,602,595,732 (2014), dan sudah US$8,034,792,378 (hingga September 2015). Perbandingan antara nilai ekspornya, menggunakan DE (15 HS Code) hingga September 2015 sebesar US$162,340,187.48 (2%) sedangkan V-Legal (15 HS Code) mencapai US$1,421,809,541,99 (17,70%).

Inilah nama-nama industri kayu di Kalimantan Barat. Dari 11 perusahaan yang beroperasi di tiga kabupaten, hanya satu perusahaan yang mengantongi Sertifikat Legalitas Kayu. Foto: Dok. EoF
Inilah nama-nama industri kayu di Kalimantan Barat. Dari 11 perusahaan yang beroperasi di tiga kabupaten, hanya satu perusahaan yang mengantongi Sertifikat Legalitas Kayu. Foto: Dok. EoF
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,