,

Satwa Ini Bantu Petani Halau Hama Tikus (Bagian 1)

Setelah warga menggunakan burung hantu buat menghalau hama tikus, produksi pertanian meningkat, pendapatan petani bertambah. Yang datang ke desapun makin ramai, dari yang sekadar jalan-jalan maupun belajar praktik memanfaatkan predator alami guna mengatasi hama tikus.

Hujan mulai turun di Temanggung, dan sebagian besar Jawa awal November. Petani Dusun Condong, Desa Mojotengah, Kecamatan Kedu, Temanggung, mulai mencangkuli dan menggenangi ladang dengan air. Ladang-ladang siap diolah menjadi sawah, setelah sebelumnya palawija dan tembakau.

Hujan juga penanda bakal datang hama tikus. Tiga hingga empat bulan ke depan, para petani harus bersiap populasi tikus membludak. Ini mengancam tanaman petani. Guna menghadapi ini, petani punya cara jitu. Mereka memanfaatkan burung hantu sebagai predator alami memberantas tikus. Ini juga dilakukan di Dusun Condong.

Di pematang sawah petani, beriri tiang beton setinggi sekitar lima meter. Ia menopang rumah-rumahan mirip kandang merpati, biasa disebut rubuha (rumah burung hantu). Kala siang hari, “rumah” itu seperti tak berpenghuni. Menjelang petang, ada mahluk bermata bundar, berparuh bengkok keluar dari sarang mencari mangsa.

Sabtu (7/11/15), saya bertemu Agus Subagyo, Ketua Kelompok Tani Makmur di Dusun Condong. Dia ditemani Suparno, anggota kelompok tani.

“Awalnya penyuluh lapangan memberi tahu ada petani Demak memanfaatkan piyak untuk memberantas tikus. Tiga tahun lalu kami belajar ke sana,” kata Agus. Piyak, nama lokal burung hantu. Nama lain, adalah serak Jawa.

Sepulang dari Demak mereka mencoba membuat rumah burung hantu sederhana secara swadaya. Rumah itu bertiang bambu diberi takik. Bagian atas bertengger kotak dari papan, tempat burung hantu bersarang.

“Dulu kami membuat 10 buah, disebar ke beberapa tempat. Kini sudah ada 22 setelah tahun lalu pemerintah daerah membuatkan 12 rumah permanen dengan penyangga beton,” katanya.

Agus mengatakan, 22 rubuha itu tidak semua dihuni. Dia tidak tahu persis berapa burung yang mau bersarang di sana. Karena burung hantu hanya keluar pada malam hari dan mereka tak pernah menghitung burung hantu yang menghuni sarang itu.

“Kalau yang itu, sempat ada yang bertelur,” katanya menunjuk rubuha tak jauh dari kami.

Suparno dan Agus Subagyo belajar pemanfaatan burung hantu ke Tlogoweru. Foto: Nuswantoro
Suparno dan Agus Subagyo belajar pemanfaatan burung hantu ke Tlogoweru. Foto: Nuswantoro

Melawan tikus

Tikus menjadi ancaman nyata bagi pertanian, terutama musim tanam kedua. Dari pengalaman, tikus bukan hanya makan jagung atau padi. Cabai pedas dan batang pohon tembakau pahitpun disikat.

Menurut Agus, jenis tikus sangat mengganggu adalah pithi. Ukuran dua kali jempol tangan orang dewasa atau hamster. Berbulu kelabu gelap, telinga lebar, dan ekor panjang melebihi tubuh.

“Kalau sudah menyerang, kenthis (umbi teki, sejenis rumput) dimakan. Tikus ini sangat rakus,” kata Suparno. Tikus sawah berukuran lebih besar tak serakus pithi.

Sejak ada rubuha, katanya, serangan hama tikus berkurang. Hasil panen meningkat, baik palawija maupun padi. “Mungkin mendengar suara piyak saja tikus sudah takut.”

Cerita dua petani Temanggung itu membawa saya ke Desa Tlogoweru, Guntur, Demak. Desa berjarak 25 km dari Semarang ini menjadi contoh sukses pemanfaatan burung hantu jenis tyto alba, si pemberantas tikus. Burung hantu sekaligus mengubah Desa Tlogoweru yang dulu miskin menjadi desa wisata.

“Dulu di sini ngeri,” kata Jumiati, istri Kepala Desa Tlogoweru. Dia menggambarkan bagaimana serangan tikus di desanya. Dia pernah menjadi kepala Desa Tlogoweru dua periode, 1988-1998.

Dia menceritakan, satu petak sawah pernah ada tikus 800-an ekor. Luas sawah bengkok (tanah perangkat desa) kira-kira setengah bahu atau setara tiga perempat hektar. Tikus membuat petani tak berani menanam musim kedua– sekitar Maret—karena habis dimakan tikus. “Mereka bukan saja menyerang tanaman, juga ngorak-arik tanah.”

Berbagai cara membasmi tikus dilakukan. Mulai pengemposan, rodentisida, hingga gropyokan. Hasil tidak maksimal. Tikus datang lagi. Pernah dia membuat aturan pemilik sawah atau rumah wajib menyerahkan potongan 15 tikus lalu ditukar girik agar warga termotivasi membunuh tikus. Gagal.

Soetedjo, suami Jumiati yang kini Kepala Desa Tlogoweru menambahkan, tikus merusak hasil pertanian, juga menggangu di rumah.

“Kabel dikrikiti, perabotan dirusak. Kerusakan tanaman sampai 60% bahkan puso. Menjijikkan dan menjengkelkan. Petani dan warga resah,” katanya.

Seorang petani membawa kayu bakar dengan latar belakang rumah burung hantu di Condong, Mojotengah, Kedu, Temanggung. Foto: Nuswantoro
Seorang petani membawa kayu bakar dengan latar belakang rumah burung hantu di Condong, Mojotengah, Kedu, Temanggung. Foto: Nuswantoro

Pemberantasan dengan bahan kimia, racun, dan gropyokan hanya berhasil sesaat mengurangi serangan tikus. Setelah itu serangan datang lagi. Kala itu, belum ada upaya pemberantasan tikus secara alami.

“Timbul pemikiran, kalau yang makan hasil pertanian adalah tikus, lalu siapa yang makan tikus?” Musuh tikus kucing, anjing, ular, musang, juga burung hantu. Dari hasil membaca dan mengumpulkan informasi dia memperoleh keterangan, daerah yang melawan tikus dengan burung hantu di Ngrambe, Ngawi.

Bersama beberapa orang, mereka pergi ke Ngawi, belajar pemanfaatan burung hantu sebagai predator alami. Sepulang dari sana, mereka mengembangkan di Tlogoweru.

Alhamdulillah, sudah terlihat hasilnya. Sebelumnya rata-rata petani memanen tiga ton padi dan enam ton jagung per hektar, kini sampai tujuh ton padi dan sembilan ton jagung.”

Keberhasilan pemanfaatan burung hantu sebagai predator alami tikus juga dituturkan Sadiman, petani di Tlogoweru. Dulu dan sekarang ada perbedaan jauh.

“Dulu sampai harus ronda. Sekarang, yang ronda serak Jawa,” katanya terkekeh. Dia tidak khawatir lagi menanam padi pada musim kedua.

Bukan hanya itu, makin hari makin banyak orang berkunjung ke Tlogoweru. Dalam setiap minggu, ada saja orang datang belajar maupun sekadar melihat perilaku burung hantu. Dampaknya, Tlogoweru mengukuhkan diri menjadi desa wisata, terutama wisata edukasi. Jalan desa dibuat mulus. Sejumlah rumah warga disiapkan menjadi home stay bagi tetamu.

Larangan menembak burung hantu

Untuk menjaga kelestarian dan melindungi keberadaan burung hantu, perangkat desa merasa perlu payung hukum. Soetedjo menuturkan, lewat rembug desa, semua elemen mulai RT, RW, perangkat desa, PKK, BPD, dan LKMD sepakat mengeluarkan Peraturan Desa no 4 tahun 2011.

Dalam perdes itu diatur larangan warga menangkap, melukai, mengangkut dan memperniagakan Tyto Alba hidup atau mati di Desa Tlogoweru. Warga juga dilarang merusak bangunan tempat tinggal burung dan ekosistemnya.

Mereka yang sengaja membunuh, menembak, atau menggangu sampai mati, harus mengganti biaya perawatan burung Rp1,2 juta per ekor.

“Perdes ini juga mendorong burung hantu berkembang. Berbeda dengan desa yang belum punya perdes, warga mungkin belum paham manfaat. Atau bisa saja ada sekelompok orang menggangu.”

Sosialisasi gencar dilakukan, baik lewat sekolah, karang taruna, maupun kegiatan warga seperti tahlilan. Sejumlah papan pengumuman larangan menembak dipasang di tempat-tempat strategis.

Hasilnya, burung hantu terjaga, hasil pertanian meningkat, pendapatan petani naik. Dengan menjadi desa wisata mulai bermunculan toko kelontong, ojek, warung makan, dan rumah warga yang jadi home stay. (Bersambung)

Sadiman-Sadiman, salah satu petani di Tlogoweru yang merasakan manfaat kala serak Jawa jadi predator alami tikus. Foto: Nuswantoro
Sadiman-Sadiman, salah satu petani di Tlogoweru yang merasakan manfaat kala serak Jawa jadi predator alami tikus. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,