,

Menjaga Hutan, Menjaga Masyarakat Adat Kaluppini Enrekang

Pagi itu, Kamis (12/11/2015), langit agak mendung menaungi hutan Liang, salah satu hutan adat di Desa Lembang, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Desa ini adalah satu dari lima desa yang didiami masyarakat adat Kaluppini.

Di kejauhan terlihat jejeran pegunungan cadas Enrekang yang eksotik, bagian dari gunung Bambapuang yang berdiri tegak seperti phalus pada lelaki. Gunung ini bagi warga setempat diasosiasikan berjenis kelamin lelaki, sebagai pasangan dari Gunung Nona atau Buntu Kabobong, yang diibaratkan menyerupai kelamin pada perempuan.

Mengunjungi hutan adat Kaluppini seperti berziarah ke masa lalu. Satu dari 13 hutan adat yang disakralkan warga adat Kaluppini, yang di dalamnya terdapat sebuah situs sejarah berusia ratusan tahun. Sebuah peti kayu dengan kedua sisinya terdapat pegangan besar, seperti pegangan pada parang.

Di dalam erung, atau peti tua yang telah berlumut dan dipagari ini konon terdapat tulang-tulang tengkorak kepala salah seorang leluhur mereka.

Menurut Abdul Halim, salah satu pemangku adat di Kaluppini, erung di Kaluppini ini memiliki kemiripan dengan yang ada di Makale Tana Toraja, meski berumur lebih tua. Kemiripan ini menimbulkan keyakinan bahwa nenek moyang orang Toraja berasal dari Kaluppini.

Menurut sebuah versi sejarah, pemilik tengkorak kepala di peti itu adalah Dajeng Wanna Pute, salah seorang dari lima anak Tomanurung Puang Palipada, yang menikah dengan seorang lelaki penunggang kerbau dari pegunungan Latimojong. Ia memiliki sembilan orang anak, yang delapan di antaranya kemudian menyebar secara gaib ke beberapa gunung yang ada di Sulawesi Selatan. Satu di antaranya sebagai manusia biasa, tetap tinggal menemani ibunya, Dajeng Wanna Pute, di Kaluppini.

“Acara ritual delapan tahun maccera’ manurung  adalah perayaan kembalinya delapan orang yang pergi ini,” ujar Halim.

Dalam peti yang berusia ratusan tahun, yang disebut erung ini, ini terdapat tulang dan tengkorak leluhur masyarakat Kaluppini. Konon ia juga merupakan nenek moyang dari masyarakat Toraja. Dalam waktu tertentu tempat ini banyak didatangi orang dari berbagai daerah untuk berdoa dan menyampaikan hajat. Foto : Wahyu Chandra
Dalam peti yang berusia ratusan tahun, yang disebut erung ini, ini terdapat tulang dan tengkorak leluhur masyarakat Kaluppini. Konon ia juga merupakan nenek moyang dari masyarakat Toraja. Dalam waktu tertentu tempat ini banyak didatangi orang dari berbagai daerah untuk berdoa dan menyampaikan hajat. Foto : Wahyu Chandra

Hutan Liang sendiri sebenarnya tak terlalu lebat, dan tampak sudah sering dilalui. Ada banyak bukit bebatuan di dalamnya. Sejumlah tanaman yang ditemui ada yang kelihatan sudah lapuk. Paling banyak adalah bambu, yang tumbuh tak beraturan.

Konon, dalam waktu tertentu, banyak orang dari berbagai daerah datang ke hutan, tepatnya ke depan erung untuk menyampaikan hajat atau keinginan tertentu.

“Biasanya mereka mengambil tanah dari dalam pagar erung sambil berjanji dalam hati akan mengembalikan tanah itu delapan tahun kemudian setelah keinginannya terpenuhi,” tambah Halim.

Setelah dari hutan Liang, kami pun beranjak menuju Kakoi, Kampung Kajao, Desa Kaluppini. Di tempat ini terdapat sebuah bebatuan berongga, yang seperti juga erung diberi pagar besi yang tergembok. Tempat ini dinamai Liang Wai, sumber air dewata yang suci.

Pada peringatan maccera’ manurung, sebuah ritual adat delapan tahunan, di Liang Wai ini diadakan ritual pemanggilan air melalui ritual yang disebut Ma’ Peong atau menanak beras dalam bambu di lapangan Liang, sambil menyembelih satu ekor ayam hitam.

Setelah diadakan ritual berupa pembacaan doa-doa, air tiba-tiba mengalir deras dari bebatuan berongga tersebut, yang kemudian akan dibagikan kepada ratusan warga yang sudah menunggu dengan masing-masing jerigen di tangannya. Uniknya, air itu hanya mengalir deras pada hari tersebut dan baru akan muncul kembali pada perayaan maccera’ manurung selanjutnya.

“Ada banyak yang datang dari penjuru negeri dan bahkan ada yang datang dari Malaysia hanya untuk mengambil air di sini, bisa untuk rezeki atau kesembuhan” papar Halim.

Ritual delapan tahunan Maccera’ Manurung dari masyarakat adat Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan selalu dihadiri ribuan orang dari segala penjuru negeri. Mereka umumnya adalah orang Kaluppini yang hidup di perantauan.  Foto : Wahyu Chandra
Ritual delapan tahunan Maccera’ Manurung dari masyarakat adat Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan selalu dihadiri ribuan orang dari segala penjuru negeri. Mereka umumnya adalah orang Kaluppini yang hidup di perantauan. Foto : Wahyu Chandra

Hutan bagi masyarakat Kaluppini memang memiliki arti khusus. Sebagaimana di Komunitas Adat Kajang Bulukumba, masyarakat Kaluppini melihat hutan sebagai ruang suci, dimana beragam ritual adat dilakukan tiap tahunnya.

Menurut Halim, keberadaan hutan sebagai pusat ritual membuat warga setempat sangat peduli dalam menjaganya. Meski dibolehkan, pengambilan kayu di kawasan hutan hanya bisa dilakukan setelah mendapat izin dari pemangku adat. “Tak ada yang berani melanggar adat, karena adat di sini masih sangat kuat.”

Hal yang sama juga terjadi untuk pelanggaran yang lain. Setiap konflik yang terjadi di kawasan Kaluppini, yang berkaitan dengan masyarakat setempat akan diselesaikan melalui adat.

Sumber air bagi daerah sekitar

Keberadaan Desa Kaluppini di ketinggian 800 mdpl menjadikan kawasan hutan di daerah ini penting bagi ketersediaan sumber air bagi daerah yang ada di bawahnya.

“Ketika hutan dijaga oleh masyarakat adat maka otomatis akan berdampak bagi ketersediaan air bagi daerah lain. Jadi hutan dalam hal ini memiliki fungsi ganda tidak hanya bagi kebutuhan ritual tapi juga kelestarian sumber daya air yang ada di Enrekang,” ungkap Paundanan Embong Bulan, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Enrekang.

Hal yang sama juga diakui oleh Muslimin Bando, Bupati Enrekang. Ia menilai keberadaan masyarakat adat di Enrekang selama ini telah berkontribusi dalam menjaga hutan, yang menjamin melimpahnya suplai air bagi daerah di bawahnya.

“Enrekang ini hutannya perlu dijaga, agar air tetap ada tidak hanya bagi Enrekang tapi juga bagi daerah-daerah di sekitarnya seperti Pinrang, Sidrap dan Wajo. Kalau air di sini habis maka semua daerah ini akan mendapatkan dampaknya,” katanya.

Liang Wai adalah sumber mata air dewata yang dianggap suci dan bisa memberi berkah bagi yang meminumnya. Air hanya muncul setelah dipanggil melalui ritual tertentu dalam acara maccera manurung, yang dirayakan delapan tahun sekali masyarakat adat Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Foto : Wahyu Chandra
Liang Wai adalah sumber mata air dewata yang dianggap suci dan bisa memberi berkah bagi yang meminumnya. Air hanya muncul setelah dipanggil melalui ritual tertentu dalam acara maccera manurung, yang dirayakan delapan tahun sekali masyarakat adat Kaluppini, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Foto : Wahyu Chandra

Enrekang sendiri sekitar 85% daerahnya adalah pegunungan, sehingga kawasan ini disebut juga Massenrempulu, atau menyusuri gunung.

Ia yakin keberadaan masyarakat adat yang secara konsisten menjaga hutan bisa menjadi jaminan keberlangsungan sumber daya air di masa yang akan datang.

“Di sini banyak adat yang masih sangat kuat, seperti mislanya Kaluppini. Merekalah yang menjaga hutan tetap terjaga,” tambahnya.

Mendorong Perda Masyarakat Adat

Keberadaan masyarakat adat dengan ritual-ritual yang masih berlaku kuat dan perannya dalam menjaga hutan membuat pemerintah daerah Enrekang kemudian menginisiasi lahirnya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Proses Perda ini sendiri masih terus dalam pembahasan DPRD dan diharapkan bisa ditetapkan pada Desember 2015 mendatang.

Menurut Muslimin Bando, masyarakat adat memang perlu dilindungi karena kini berada dalam ancaman pembangunan dan kemajuan zaman.

“Masyarakat adat Enrekang punya kekhasan dan karakteristik tersendiri yang harus dikenalkan kepada dunia luar. Ini yang harus tetap dijaga,” katanya.

Meski dikenal sebagai daerah yang religius, dengan mayoritas penduduknya beragama Islam yang taat, Muslimin menampik kemungkinan adanya pergesekan antara agama dan adat. Bahkan pertentangan dengan agama lain tak pernah terjadi meski Enrekang berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen.

“Di sini masyarakatnya sangat toleran. Kita tak pernah dengar ada konflik dengan kabupaten tetangga yang mayoritas Kristen. Bahkan dalam satu rumah tangga sendiri kadang ada yang berbeda pandangan, istri yang kuat di adat, sementara suami kuat di agama. Tapi kita tak pernah dengar ada yang cerai karena adanya perbedaan tersebut,” tambahnya.

Kunjungan media ke Kaluppini ini adalah fasilitasi dari Yayasan Perspektif Baru (YPB), Sulawesi Community Foundation (SCF), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atas dukungan dari Kemitraan Partnership, sebagai bagian dari upaya mendorong Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Enrekang.

“Dengan kunjungan ini kami berharap publik bisa tahu bahwa di Enrekang ini terdapat komunitas adat yang sedang berjuang untuk mendapat pengakuan dari pemerintah,” Gladi Hardiyanto, Program Officer for Support to Ministry of Environment and Forestry Kemitraan Partnership.

Di Sulsel sendiri, menurut Gladi, Kemitraan bersama SCF dan AMAN, saat ini tengah mendorong lahirnya Perda Pengakuan dan Perlindungan Adat di dua komunitas adat, yaitu Ammatoa Kajang dan Kaluppini Enrekang. Diharapkan hasil dari pendampingan di dua daerah ini bisa menjadi contoh atau model bagi daerah lainnya.

Tidak hanya mendorong Perda, Kemitraan juga akan membantu masyarakat adat dalam hal pemberdayaan ekonomi berbasis potensi setempat.

“Kita tahu di komunitas adat itu banyak potensi yang bisa dikembangkan, dari hasil-hasil alam dan hutan yang melimpah. Kita akan mendukung mereka memaksimalkan potensi yang ada dalam rangka peningkatan kesejahteraan mereka.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,