,

Konflik Tambang Emas Tumpang Pitu, Semua Izin Pertambangan di Jawa Timur Harus Dievaluasi

Sejumlah warga Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur mengalami luka tembak, setelah terlibat bentrok dengan anggota polisi. Bentrok dipicu aksi unjuk rasa dan penolakan warga terkait aktivitas tambang emas PT. Bumi Suksesindo (BSI) di kawasan Gunung Tumpang Pitu.

Warga yang berjumlah sekitar 300-an menyerbu gudang PT. BSI, melakukan aksi pembakaran serta perusakan sejumlah fasilitas dan kendaraan. Aksi ini dipicu ketidakpuasan warga terhadap hasil pertemuan dengan Manajemen PT. BSI yang difasilitasi Polres Banyuwangi. Intinya, warga menolak dan tidak setuju terhadap aktivitas penambangan emas di kawasan Gunung Tumpang Pitu.

“Warga menolak penambangan itu dengan melakukan aksi, karena mediasi gagal dilakukan. Warga juga tersinggung dengan perkataan Kapolres Banyuwangi,” kata Fatkhul Khoir, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, Jum’at (27/11/2015).

Penolakkan warga terhadap aktivitas tambang emas di Tumpang Pitu sudah berlangsung sejak 1997. Namun, kembali marak pada 19 Oktober, 22 November dan yang terakhir 25 November 2015. Warga menolak karena takut dampak yang terjadi bila Tumpang Pitu dijadikan tambang emas.

Gunung Tumpang Pitu diyakini warga sebagai pelindung dari tiupan angin barat daya serta bencana tsunami. Rere Christanto, Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menyebut, pelepasan kawasan pesisir selatan Jawa untuk wilayah pertambangan dipastikan akan memicu konflik sosial yang melibatkan warga karena bersentuhan langsung dengan lahan. Selain itu, pemanfaatan kawasan pesisir untuk pertambangan tidak sesuai dengan rencana tata ruang nasional maupun provinsi. “Kawasan itu sudah dinyatakan rawan bencana tsunami juga merupakan area produktif untuk budidaya pertanian maupun perikanan nelayan tradisional.”

Walhi Jawa Timur mempertanyakan turunnya izin penambangan oleh PT. BSI yang dinilai sarat kepentingan. Perijinan yang diberikan pemerintah terkesan cepat dikeluarkan, yang diawali perubahan status Gunung Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi. “Ini  menyalahi aturan, sebelumnya Tumpang Pitu ditetapkan sebagai kawasan lindung,” ujar Rere.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat itu, pada 19 November 2013, telah tega mengubah status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK 826/Menhut-II/2013.

Hutan seluas 1.942 hektar didorong oleh usulan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas melalui surat Nomor 522/635/429/108/2012 tanggal 10 Oktober 2012 dengan luasan 9.743,28 hektar atau 5 kali dari yang disetujui Menteri Kehutanan.

“Di kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan melakukan aktivitas pertambangan terbuka, ini sesuai Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan diturunkan menjadi hutan produksi, tambang emas bisa berjalan,” lanjut Rere.

Penurunan status hutan lindung menjadi hutan produksi demi penambangan emas merupakan tindakan berisiko tinggi. “Pemerintah Pusat dan Provinsi harus evaluasi seluruh izin pertambangan di pesisir selatan Jawa.”

Merugikan

Sebagai Kawasan Rawan Bencana, Gunung Tumpang Pitu pernah dihantam Tsunami pada 3 Juni 1994. Memberi kemudahan izin penambangan sangat membahayakan keselamatan masyarakat yang ada di sekitar Tumpang Pitu. Eksploitasi emas di Tumpang pitu juga akan mengancam kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidup sebagai petani dan nelayan.

Aktivitas ribuan truk yang mengeruk Tumpang Pitu dipastikan akan berpengaruh terhadap hasil pertanian masyarakat, karena fungsi hutan sebagai kawasan resapan atau penyimpan sumber air akan hilang. Pencemaran limbah yang dibuang langsung ke laut akan merugikan kehidupan nelayan yang sangat bergantung dari tangkapan ikan.

“Eskalasi konflik ini sudah terlihat sebelumnya, termasuk yang terjadi di Lumajang. Ini harus dihentikan bila tidak, konflik akan meluas karena pesisir Jawa Timur banyak menyimpan mineral,” imbuh Rere.

Air merupakan elemen penting dan utama dari sebuah proses pemurnian emas yang dilakukan perusahaan tambang, termasuk di Tumpang Pitu. Kajian kebutuhan air yang pernah dilakukan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pada 2008 menyebutkan, pemurnian emas membutuhkan air dalam jumlah sangat besar. Diperkirakan, aktivitas tambang emas di Tumpang Pitu  menghisap air sebanyak 2,038 juta liter setiap hari. “Ditambah jumlah kerukan tanah sebanyak 8.219 truk per hari merupakan ancaman kematian bagi dunia pertanian khususnya di Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi,” papar Rere.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,