,

Pengabdian Pada Masyarakat, Universitas Terbuka Tanam 10 Ribu Mangrove di Desa Tarabitan

Keterancaman mangrove di sejumlah lokasi di Indonesia mendapat respon berbagai elemen masyarakat untuk menyuarakan penyelamatannya. Kalangan kampus tak mau ketinggalan. Dalam program Pengabdian Pada Masyarakat, Universitas Terbuka (UT) melakukan penanaman 10 ribu bibit mangrove di desa Tarabitan, kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara,  pada Sabtu (21/11/2015).

Penanaman mangrove ini merupakan lanjutan dari kegiatan Abdimas Penghijauan, yang telah memasuki tahun kelima. Sebelumnya, kegiatan ini sudah berlangsung sejak tahun 2011 hingga 2014, baik di kawasan pegunungan maupun pesisir. Tahun ini, UT berkontribusi menanam 40 ribu bibit mangrove di Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara.

Dalam penyelenggaraan kegiatan itu, UT bekerjasama dengan Yapeka, Kanopi Indonesia, Pilar, Manengkel Solidaritas dan Kelompok Tani Setempat. Turut hadir dalam kegiatan tersebut sejumlah perwakilan pemerintah daerah.

Menurut Yuni Tri Hewindati, Pembantu Rektor bidang Akademik UT, penanaman mangrove ini merupakan komitmen UT dalam rangka pengabdian pada masyarakat. Di tiap wilayah, mereka menanam 10 ribu bibit mangrove.

“Sudah sekitar 300 ribu pohon ditanam sejak 5 tahun lalu. Kita juga berharap tidak berhenti sampai di sini, tapi terus melakukan upaya penjagaan. Supaya mangrovenya nggak mati dan masyarakat bisa merasakan dampaknya,” kata Yuni ketika di temui di desa Tarabitan.

Lewat kegiatan tersebut, pihaknya berkeinginan menjadikan desa-desa yang menjadi lokasi penanaman mangrove sebagai desa binaan. Diharapkan, masyarakat kedepannya bisa diajarkan mengelola hasil laut, misalnya membuat bakso berbahan ikan.

Kegiatan tersebut beranjak dari keyakinan UT bahwa permasalahan lingkungan sangat penting disuarakan. Seluruh elemen masyarakat perlu terlibat dalam penyelamatan lingkungan. Karena, selain memiliki fungsi ekologis seperti mencegah abrasi, mencegah badai, penyedia oksigen, mangrove juga merupakan tempat memijah ikan.

“Apalagi di masa pemerintahan presiden Joko Widodo, desa-desa di wilayah pesisir menjadi benteng maritim,” tegas Yuni.

Muhtadin, Manajer Program UT, menambahkan, komitmen untuk penyelamatan lingkungan tidak hanya dilakukan di wilayah pesisir. Sebab, pada tahun 2013 UT juga terlibat dalam penanaman 30 ribu pohon keras di Bogor, Medan dan Bali.

Setelah kegiatan penanaman ini, dijelaskan Muhtadin, UT akan melakukan pemantauan di desa Tarabitan. Satu bulan sekali akan ada monitoring dan evaluasi, sampai bulan Maret 2016. Ia berharap, kedepannya warga desa Tarabitan bisa memanfaatkan potensi mangrove secara arif dan berkelanjutan, seperti yang sudah digagas di beberapa tempat.

“Di Semarang, setelah melakukan penanaman tahun 2012, warga di sana sudah memanfaatkan buah mangrove sebagai bahan pangan, contohnya puding, roti, kripik dan sirup. Dan yang paling menarik adalah membuat mangrove sebagai bahan pewarna batik. Hasilnya juga sudah bisa dirasakan oleh masyarakat di sana.”

Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir
Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir

Mahonis Ibrael, hukum tua (kepala desa) Tarabitan, berterima kasih pada instansi terkait atas penyelenggaraan penanaman 10 ribu bibit mangrove tersebut. Sebagai desa yang 70 persen masyarakatnya berprofesi di darat dan laut, pelestarian mangrove dirasa sangat penting.

Diceritakan Mahonis, dulunya warga desa memanfaatkan mangrove sebagai bahan pembuatan rumah. Namun, dalam kurun 2002 sampai 2005 ada sosialisasi tentang perlindungan pesisir, sehingga perusakan mangrove lambat-laun mulai berkurang.

Ia berharap kegiatan seperti ini bisa berkelanjutan, agar upaya-upaya perlindungan mangrove dan sumber daya kelautan bisa berjalan maksimal. Mahonis juga mengharapkan adanya dukungan dari pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait. “Kalau boleh ada pendampingan dan fasilitas untuk kelompok masyarakat, seperti motor laut sebagai alat menangkap ikan sekaligus menjaga laut.”

Kedepan, ia berencana membuat peraturan desa untuk melindungi pesisir dan laut. Desa Tarabitan sebenarnya pernah memiliki peraturan desa terkait perlindungan laut (DPL), namun seiring waktu peraturan itu sudah tidak lagi diterapkan. “Melalui kegiatan ini, peraturan tentang DPL digali kembali. Saya akan menyampaikan ke badan permusyawaratan desa untuk segera dibuat peraturannya.”

Dorong Pembentukan Desa Ekowisata dan Daerah Perlindungan Laut

Di lain pihak, Edy Hendras, Direktur Eksekutif Yapeka, menyatakan pentingnya berbagai pihak untuk terus melakukan kegiatan pelestarian mangrove. Hal ini beranjak dari fakta bahwa Indonesia memiliki hutan mangrove terbesar di dunia, yaitu 25% dari keseluruhan luas hutan mangrove dunia.

“Hutan mangrove memiliki peran penting sebagai barisan pertahanan pantai, mangrove menjadi bagian terbesar perisai terhadap hantaman gelombang laut di zona terluar dataran pulau. Ia juga melindungi bagian dalam pulau secara efektif dari pengaruh gelombang dan badai yang terjadi. Mangrove merupakan pelindung sekaligus sumber nutrient bagi organisme yang hidup di tengahnya.”

Akan tetapi, sesal Edy, saat ini kondisi hutan mangrove di Indonesia berada pada kondisi memprihatinkan. Pada tahun 2012, misalnya, lebih dari 50% kondisi hutan mangrove di Indonesia mengalami kerusakan atau deforestasi, yang disebabkan oleh penebangan kayu ilegal dan konversi hutan menjadi kolam dan tambak, pemukiman dan kebun sawit dan pertanian.

“Kondisi ini berdampak pada semakin kecilnya area berkembang biak berbagai satwa, seperti ikan dan burung, menurunnya populasi beberapa jenis ikan, udang dan kepiting mangrove.”

Seturut permasalahan itu, ia memandang perlunya langkah-langkah rehabilitasi mangrove agar kondisi ekosistem ini beranjak membaik. “Perlu didorong pemanfaatan secara berkelanjutan, misalnya dengan ekowisata atau pendidikan lingkungan,” ujar Edy.

Sementara itu, menurut Ikhsan Runtu Kahu, dari Manengkel Solidaritas, meski kondisi mangrove di desa Tarabitan relatif baik, kegiatan ini penting dilakukan untuk memperkuat kesadaran masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian mangrove. “Mangrove adalah ekosistem penting di wilayah pesisir yang sangat terkait dengan hasil sumber daya perikanan masyarakat sekitar,” kata dia.

Sebagai langkah untuk semakin memperkuat perlindungan Mangrove di desa Tarabitan, Ikhsan berharap kedepannya pemerintah desa dapat merumuskan pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) berbasis masyarakat.

Dari pengalamannya di beberapa tempat, DPL diketahui memberi dampak positif pada masyarakat.  Ikhsan mencontohkan, karena ada kawasan perlindungan karang dan mangrove, ikan-ikan yang ditangkap sudah semakin dekat. “Meski kondisi karang dan mangrove relatif baik, namun DPL memberi kekuatan hukum bagi masyarakat untuk menjaga sumberdaya pesisir dan lautnya.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , ,