,

Ketika Masyarakat Diajak Tidak Berbelanja Demi Lingkungan. Apa Hubungannya?

Sejumlah pemuda-pemudi menggelar kampanye Buy Nothing Day (Hari Tanpa Belanja) di Manado, Sulawesi Utara, pada akhir minggu kemarin. Kegiatan ini merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap budaya konsumerisme. Tujuannya, mengajak konsumen untuk lebih kritis terhadap barang-barang yang mereka beli, termasuk juga yang berdampak langsung terhadap lingkungan.

Dalam kampanye Hari Tanpa Belanja ini, penyelenggara membagikan pakaian dan makanan secara gratis. Ada juga kegiatan sablon grats serta hiburan musik. Kepada warga yang melintas lokasi kegiatan, mereka menjelaskan ide yang terkandung dalam peringatan Hari Tanpa Belanja, yaitu meminimalisir pembelian kebutuhan, baik makanan, pakaian, keperluan sablon dan alat musik. Sebab, sebelumnya, mereka telah mengumpulkan bantuan dari pihak-pihak yang ingin berkontribusi dan terlibat langsung untuk mendukung kegiatan tersebut.

Aksi mereka tentu saja menarik perhatian warga kota dari segala usia, mulai dari anak-anak, remaja, pemuda hingga orang tua. Meski terkejut dengan fenomena tersebut, namun nampak jelas raut antusias di wajah para pengunjung. Ada yang mengambil satu, dua ataupun tiga pakaian. Tak dibatasi. Pengunjung boleh mengambil sesuai dengan kebutuhan.

Gerakan Buy Nothing Day sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1993 oleh Abduster, sebuah gerakan aktivis media yang berpusat di Kanada. Kini, Hari Tanpa Belanja telah dirayakan secara internasional di lebih dari 30 negara.

Menurut Dea, salah satu inisiator kegiatan, ide awal kegiatan ini adalah membuat orang berpikir pengaruh produk yang mereka beli terhadap lingkungan. “Sederhana. Ini seperti refleksi buat kita semua agar lebih kritis lagi. Setidaknya, bisa membuat orang-orang yang terlibat dalam kegiatan ini lebih kritis lagi mengenai barang yang dia beli,” kata Dea kepada Mongabay di lokasi kegiatan.

“Bukan berarti orang dilarang membeli. Semua pasti membeli. Tapi, seberapa penting membeli itu? Ada banyak produk yang bisa berdampak kerusakan lingkungan. Dari situ, konsumen harusnya tahu apakah produk tersebut penting atau tidak. Orang-orang harus tahu apa yang dia beli.”

“Ada juga catatan yang menyebut bahwa negara-negara kaya di barat, yang hanya 20% dari populasi dunia, mengkonsumsi lebih dari 80% sumber alam dunia. Fenomena itu kemudian berdampak pada ketidakseimbangan, kerusakan lingkungan serta kesenjangan distribusi kesejahteraan,” tambah Dea.

Cindy Samiaji, aktivis Tunas Hijau yang ikut terlibat dalam kampanye tersebut menambahkan, sehari tidak belanja sebenarnya tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen. Apalagi jika hal itu bisa mengurangi dampak kerusakan lingkungan.

“Sehari tidak belanja tidak akan rugi. Kami ingin mengingatkan orang perihal akibat dari apa yang dibeli. Dalam artian, barang yang dibeli seharusnya tidak berdampak buruk bagi lingkungan,” sebut Cindy.

Seturut dengan pandangan tersebut, dia mengajak publik untuk tidak menggunakan produk-produk yang berbahan minyak kelapa sawit. Sebab, sejak proses penanaman, kelapa sawit sudah merusak hutan di Kalimantan dan Sumatera. “Karena, ketika hutan hilang banyak habitat juga hilang. Itu akan berdampak juga pada manusia karena pemanasan global.”

“Semoga lewat acara ini, ide saling berbagi bisa diterima dan dipraktikkan masyarakat luas. Kemudian, kerusakan lingkungan bisa lebih diperhatikan. Karena meningkatnya kebutuhan manusia bagaimanapun juga berdampak langsung terhadap lingkungan,” Cindy berharap.

Zulqifly Musdar, mahasiswa Universitas Sam Ratulangi, merespon positif kegiatan tersebut. Ia bisa menyaksikan masyarakat gembira dan terkejut di saat nyaris bersamaan. “Ini kegiatan bernilai positif. Masyarakat bisa mendapatkan kebutuhan secara gratis. Masyarakat juga mendapat informasi terkait bahaya konsumerisme.”

Kampanye Akses Pangan untuk Publik

Tak hanya mengajak konsumen untuk memperhatikan produk yang dibelinya. Di lokasi yang sama juga diselenggarakan Food Not Bombs (FNB). Dalam kegiatan ini, penyelenggara membagikan bahan makanan secara gratis.

Dikatakan Hendra, penggagas kegiatan, pesan utama dalam gerakan FNB adalah di bumi yang kaya sumber daya alam ini, tidak seharusnya ada orang kelaparan. Tapi yang jadi masalah hari ini sumber daya alam telah dialokasikan untuk ketamakan segelintir orang.

Suasana kegiatan Food Not Bomb di Manado, Sulawesi Utara pada Jumat malam (28/11/2015). Foto : Food Not Bombs Manado
Suasana kegiatan Food Not Bomb di Manado, Sulawesi Utara pada Jumat malam (28/11/2015). Foto : Food Not Bombs Manado

Hendra membantah bahwa banyak kelaparan disebabkan oleh overpopulasi. Ia menduga ada kemungkinan-kemungkinan lain yang patut diamati masyarakat. Misalnya, dimonopolinya akses-akses bahan makanan, semua hak tanah produksi diklaim dan diprivatisasi, hingga diklaimnya semua tumbuhan menjadi hak milik.

Meski membagikan makanan secara gratis, Hendra menyatakan, gerakan ini menolak konsep derma ataupun amal. Sebab, konsep tersebut dinilai menempatkan mereka yang dikategorikan miskin dalam situasi ketergantungan. Di saat bersamaan, kelompok yang dikategorikan kaya merasa telah berbuat sesuatu untuk mengentaskan kemiskinan. Tindakan itu dirasa tidak menyerang pada sumber penyebab kemiskinan, kelaparan, kekurangan dan wabah penyakit.

“Banyak bahan makanan yang dibuang dan tak terdistribusikan hanya karena status tidak layak jual, padahal masih layak makan. Maka, saat kita mampu mendistribusikannya, kita mulai berbagi,” ujar Hendra.

Cindy menambahkan, ide FNB sangat relevan untuk dipraktikkan. “Di kota besar, distribusi makanan secara gratis terlihat seperti tidak masuk akal. Contohnya tadi, banyak yang terkejut dengan tawaran makan gratis. Sebab hari ini, ke WC aja harus bayar, apalagi makan.”

Ia juga menghubungkan FNB dengan permasalahan di pulau Bangka, Sulawesi Utara. Cindy menduga, jika tambang beroperasi, maka masyarakat akan terkena dampaknya. “Semakin sulit cari makan, menyempitnya ruang menanam karena lahan pertanian berkurang, nelayan sulit melaut karena ikan-ikan makin menjauh dari tempatnya,” demikian ia memperkirakan.

Food Not Bombs merupakan gerakan egalitarian yang tercetus sekitar akhir tahun 80-an, saat aksi gerakan sipil di Amerika yang memprotes perang dan pengembangan nuklir. Gerakan ini mendasarkan pemikiran bahwa, yang dibutuhkan manusia adalah makanan bukannya bom.

FNB juga mempraktikkan pola makan vegetarian. Sebab, vegetarianisme diyakini sebagai cara makan yang ramah lingkungan, menggunakan lebih sedikit sumber daya alam, lebih sehat dan tidak mengandung kekerasan.

Karenanya, dalam kegiatan itu, mereka juga membentangkan spanduk stop makan yaki (Macaca nigra). Kemudian, menu yang disajikan malam itu terdiri dari ubi, sayur-mayur dan tentu saja dabu-dabu (sambal khas Minahasa).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,