Lelah Lahannya Terus Terbakar, Kelompok Tani ini Bangun Sumur dan Kanal Gambut

Rosmilan (43), tak henti-hentinya memutar pipa paralon yang menyemburkan air. Ia bergantian dengan lima rekannya sedang membuat sumur hidran sejak pagi. Setelah empat jam, sumur buatan mereka sudah berkedalaman 20 meter. Peralatan mereka serba manual, bermodalkan mata bor modifikasi sendiri yang dipasang dengan pipa paralon berukuran 2 inchi. Mereka putar bergantian sampai menemukan mata air.

“Paling butuh 5 atau 10 meter lagi, pekerjaan selesai,” kata Rosmilan kepada Mongabay Indonesia. “Kami sudah sesak napas. Daripada diam saja, mendingan buat sesuatu,” ujarnya.

Rosmilan, warga Desa Pandan Sejahtera, Kecamatan Geragai ini, mengaku sudah dua bulan ini mengerjakan sumur hidran dan kanal blocking dengan bantuan UNDP dan Yayasan Mitra Aksi. Aksi kelompok tani ini terpacu karena banyaknya api di sekitar lahan mereka. Sekitar 100 hektar lebih lahan mereka di desa itu hangus terbakar.

Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim), tempatnya tinggal adalah salah satu kabupaten penyuplai 70 persen kebakaran lahan se-Provinsi Jambi, dengan lahan mayoritas gambut. Kekeringan di musim kemarau semakin bertambah dengan munculnya lahan-lahan perkebunan sawit, yang rakus air.

Sebenarnya sudah sejak tahun lalu, Edi Suwarno (42), Ketua Kelompok Tani Perintis Jaya, mulai mengkhawatirkan ancaman kekeringan dan kebakaran lahan. Dia sering mendiskusikan kekhawatirannya dengan sekretarisnya, Rosmilan.

Mereka berdua punya ide untuk bikin sumur hidran dan kanal blocking. Ide mereka lantas dilontarkan dalam pertemuan seluruh anggota kelompok tani yang berjumlah 25 orang. Ide itu direspon positif. Akhirnya mereka baru bisa merealisasikan ide itu selama dua bulan terakhir.

Satu sumur mampu memadamkan 4-5 hektar lahan, tergantung ketersediaan selang. Jika punya selang sepanjang 100-150 meter, maka sumur bisa lebih efektif. Bahkan, air sumur mampu menyala selama 24 jam nonstop. Sumur-sumur itu juga bermanfaat untuk jangka panjang. Bisa dipergunakan untuk menyiram tanaman.

Kedepannya, hidran juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih warga. Kondisi wilayah yang sebagian besar lahan gambut dan terpisah pisah oleh lautan dan sungai, menyebabkan warga Tanjabtim menggantungkan diri pada pasokan air hujan, selain air sungai, untuk kebutuhan sehari hari. Berdasarkan catatan di Pemkab Tanjabtim, 60 persen wilayah ini termasuk kategori sulit air bersih.

“Tiga bulan saja tidak turun hujan di sini, wah bisa gawat. Kebun kering kerontang,” cerita Edi. “Cukup selang sepanjang 100 meter saja, beres. Sumur hidran bisa kami gunakan secara maksimal. Kebetulan kawasan kami dilanda kebakaran hebat, sumur hidran ini bermanfaat untuk memadamkan api. Ke depan kami juga akan cari bantuan bibit dari pemerintah untuk jenis tanaman yang mampu menyimpan air,” tuturnya.

Biaya pembuatannya cukup terjangkau. Satu sumur memakan biaya sekitar Rp 6 juta, sudah termasuk mesin robin (mesin untuk menyalakan air), selang 100 meter, dan paralon. Debit air yang dihasilkan sumur sekitar 100-200 liter permenit. Jika mau debit airnya mencapai 1.000 liter permenit, tinggal menggunakan pipa paralon berukuran hingga 10 inchi. Pertimbangannya memakai pipa paralon yang kecil adalah demi memudahkan pembuatan.

Untuk menentukan lokasi sumur, masyarakat menggunakan kearifan lokal dengan menggunakan tempurung kelapa atau daun talas. Di mana embun yang banyak, maka di situlah dibuat sumur hidran. Sejauh ini, cara tersebut cukup efektif dan belum pernah gagal.

“Saya kira inisiatif masyarakat ini perlu diacungi jempol. Dana desa yang digelontorkan pemerintah itu sebaiknya dikucurkan buat pekerjaan model begini ketimbang dipergunakan untuk membangun hal-hal yang tak berguna,” jelas Hambali dari Yayasan Mitra Aksi. “Jadi tidak perlu pakai dana besar, sewa konsultan yang mahal.”

Seorang petani tengah memutar pipa paralon mendalami sumur
Membuat sumur hidran dengan pipa paralon. Foto: Jogi Sirait

Model yang Dibuat Masyarakat Lebih Ekonomis

Selain membuat sumur hidran, Kelompok Tani pun membuat kanal blocking, untuk menjaga kondisi lahan agar tidak terlalu basah dan tidak terlalu kering. Dalam tempo dua bulan, masyarakat telah berhasil membuat 21 sumur dan 13 kanal blocking yang tersebar di empat desa: Pandan Sejahtera, Pandan Makmur, Lagan Ulu, dan Simbur Naik – kesemuanya berada di Tanjabtim.

Selain untuk mengatur tata air, kanal bisa dimanfaatkan petani untuk budidaya ikan. Hasilnya lumayan buat menambah penghasilan petani. Idealnya kanal blocking ini tersedia setiap 500 meter.

“Saya kira, apa yang dikerjakan masyarakat ini jauh lebih ekonomis ketimbang kanal blocking yang pernah disosialisasikan Satgas Karhula,” jelas Hambali.

Biaya untuk buat kanal sekat ala masyarakat berukuran lebar 6 meter hanya Rp 15-20 juta. Bagian terbesar dari biaya itupun adalah untuk beli kayu. Butuh 60 batang kayu, pasir, tanah, karung. Kalau kanal 4 meter cukup biaya Rp 12-15 juta. Jika biayanya menjadi mahal, hal ini karena mesti menggunakan kayu yang tahan air seperti kayu gelam, daru-daru atau kayu bulian yang jauh lebih mahal.

Jika dibandingkan dengan model kanal yang dibuat oleh Satgas Karhutla dan TNI, maka kanal ini akan memakan biaya hingga ratusan juta rupiah. Seperti yang sedang dibuat di konsesi PT Wira Karya Sakti (WKS) – anak perusahaan Asia Pulp and Paper (APP) yang berlokasi di  Desa Manis Mato, Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi.

Model kanal ini, airnya disedot dari Sungai Batanghari dengan mengunakan mesin air lalu dialirkan ke kanal-kanal dengan batuan tiga mesin pompa diesel besar dan enam mesin pompa air kecil untuk mengalirkan ke kanal-kanal di sekitar areal perkebunan PT WKS.

“Kanal yang dibuat bersama prajurit TNI akan diisi air dan kemudian dikasih blok pada jarak tertentu agar airnya tidak keluar. Dari kanal tersebut dibuat sodetan ke dalam dan embun-embung,” kata Dalmanto, Kasi Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Provinsi Jambi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,