Inilah Tantangan TNL Wakatobi dalam Pengelolaan Kawasan Lautnya

Pagi itu di tepi pantai Waha di pulau Wanci, yang masuk Taman Nasional Laut (TNL) Wakatobi terdengar hiruk pikuk. Beberapa lumba-lumba berenang berkelompok. Lumba-lumba merupakan indikator adanya tuna sirip kuning (Thunnus albacares), yang sering tampak muncul beriringan dengan kelompok lumba-lumba.

Di dekat itu, tampak sebuah kapal fiberglass patroli yang bermuatan delapan. Syafruddin, nama salah seorang petugas patroli, membungkuk di atas clipboard dan sibuk mencatat jumlah biota laut.

Syaruddin membuat tabulasi 14 titik data lokasi pemancingan yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Survei pemantauan lapangan ini dilakukan enam kali dalam setahun. Dirancang sebagai kolaborasi antara pihak Taman Nasional, bekerjasama dengan The Nature Conservancy (TNC) dan World Wildlife Fund (WWF). Kegiatan ini merupakan bagian dari pemetaan rutin wilayah TNL Wakatobi sebagai Kawasan Konservasi Laut (KKL).

“Ini sebuah model untuk monitoring ekologi dan biologi,” tutur Kepala Program Perikanan WWF, Imam Zainuddin.

Sekelompok lumba-lumba berenang di perairan Pulau Wanci, TNL Wakatobi. Nelayan mengikuti kawanan lumba-lumba untuk menangkap ikan tuna. Foto: Melati Kaye

Wakatobi sendiri adalah taman nasional laut yang penting, ketiga terbesar dari 23 TNL yang ada di Indonesia. Wakatobi adalah TNL perintis bagi pemantauan laut secara kontinyu, dengan batas-batas wilayah yang jelas.

Dalam pemantauan ini, yang dilakukan setiap dua bulanan, petugas memantau alat tangkap yang digunakan oleh nelayan, jenis ikan yang mereka tangkap dan jenis peralatan yang digunakan. Intinya, survey semacam ini merupakan panduan untuk mengukur kesehatan ekosistem di zona tangkap.

Sebelumnya, para penjaga taman nasional dan kelompok masyarakat setempat bersama-sama menerima pelatihan dalam lima tahun terakhir ini, termasuk cara meng-input data pemantauan ini ke sistem komputer.

Dari hasil pelatihan yang melibatkan masyarakat ini, tidak aneh jika Komunto, satu kelompok nelayan di Wakatobi, memperoleh penghargaan dari UNDP Equator Prize karena telah berhasil menjaga stok ikan di Wakatobi, dimana masyarakat dari empat pulau utama di wilayah Wakatobi langsung terlibat dalam pengelolaan zonasi perlindungan taman nasional.

Contoh tabulasi data pemantauan oleh petugas di TNL Wakatobi. Foto: Melati Kaye

Bukan berarti seluruh proses berjalan mulus. Di awal sekitar tahun 2007, program rehabilitasi terumbu karang yang dikomandoi oleh WWF dan TNC melalui proyek World Bank’s Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP CTI) untuk memetakan keragaman wilayah hayati seluas 1,39 hektar laut ini dicurigai masyarakat.

“Jika kami tidak boleh ambil ikan, terus kami hidup dari mana?” jelas Abdul Manan, salah satu tokoh masyarakat Bajo, mengulangi pertanyaan masyarakat beberapa tahun lalu. Pertanyaan ini merupakan simbol dari adanya kebuntuan komunikasi.

Akhinya hal ini dicairkan lewat proses sosialisasi tentang keberadaan TNL. Bukan berarti semua zona di Wakatobi dilarang untuk dipancing oleh nelayan, kecuali zona inti, sekitar 1.300 hektar yang benar-benar tidak boleh diganggu.

Namun, konsep dan efektivitas rezim peraturan apapun amat tergantung pada konsistensi pelaksanaan dan kerja lapangannya.

Salah satu hasil tangkapan nelayan Wakatobi. Foto: Melati Kaye
Salah satu hasil tangkapan nelayan Wakatobi. Foto: Melati Kaye

Saat ini, biaya pemantauan untuk TN Wakatobi sebagian besar datang dari kontribusi LSM. Bagaimana jika pendanaan LSM tidak lagi mengalir untuk Wakatobi?

Ini mulai terjadi sejak 2014, saat TNC tidak terlibat lagi dan WWF menurunkan jumlah dananya di Wakatobi, dengan asumsi bahwa pengelolaan Wakatobi sudah dapat mandiri.

Dahulu hingga 2014, secara rutin monitoring dilakukan 20 hari sekali, termasuk survey rutin mengecek kesehatan terumbu karang, padang lamun, mangrove, sensus lumba-lumba, serta menghitung jumlah ikan yang memijah.

Namun saat ini, frekuensi pemantauan berkurang. Pemantauan aktivitas nelayan dan lumba-lumba hanya enam kali setahun, pemantauan lain menjadi dua kali dalam setahun.

“Biayanya lumayan hingga sampai beberapa ratus ribu rupiah hanya untuk menjalankan perahu,” jelas Ayub Pollii, salah seorang petugas. “Kalau begini terus kami tidak mampu untuk berpatroli setiap hari.”

Ini kemudian menimbulkan dilema. Di satu sisi survey harus dilakukan terus menerus, tetapi di sisi lain dihadapkan dengan kendala dana operasional.

Seekor udang sebelum dikemas dalam botol dan kardus plastik asal Pulau Wanci sebelum dikirim ke kota-kota di Sulawesi daratan. Sesuai aturan hasil tangkapan asal kawasan konservasi harus ada izin, meski pada kenyataannya hal ini sulit dilakukan. Foto: Melati Kay
Seekor udang sebelum dikemas dalam botol dan kardus plastik asal Pulau Wanci sebelum dikirim ke kota-kota di Sulawesi daratan. Sesuai aturan hasil tangkapan asal kawasan konservasi harus ada izin, meski pada kenyataannya hal ini sulit dilakukan. Foto: Melati Kay

Sebagai contoh, sistem pemantauan menyeluruh harus dilakukan untuk menghitung jumlah pemijahan ikan. Para petugas harus menyelam dan mengamati jumlah ikan dan ukuran. Padahal ini bisa berlangsung setiap malam setiap bulan baru atau bulan purnama.

Demikian pula dukungan politik dari pemerintah. Pada bulan Desember ini, akan dilakukan Pilkada Bupati dan Legislatif. Apakah pemda akan terus memberikan dukungan politik kepada kegiatan seperti ini? Demikian pula regulasi yang menarik otoritas pengamanan dan penganggaran ke tingkat provinsi dari kabupaten. Akankah hal ini tidak semakin menjauhkan rentang birokrasi yang ada?

Terlebih lagi ada rencana pemerintah untuk memindahkan administrasi Taman Nasional Laut dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Akankah proses perubahan ini akan berdampak ke teknis operasional di lapangan?

“Konsep KKL di bawah Kemenhut (sekarang KLHK) telah meningkat selama 10 tahun terakhir ini,” jelas Stuart Campbell, Kepala Program Kelautan dari Wildlife Conservation Society (WCS). “KKL ini beroperasi cukup banyak di tingkat taman nasional. Ada unit ranger yang telah cukup lama dikembangkan bersama dengan LSM dalam rangka membangun kapasitas dan pendanaan.”

Campbell agak kuatir, akan diperlukan banyak waktu untuk berkonsolidasi dalam periode transisi perubahan di tingkat administratif baik di nasional maupun di tingkat provinsi ini.

Dia mengambil contoh, pulau Kapoposang, yang wilayahnya termasuk dalam 5 ribu hektar kawasan konservasi laut di perairan Spermonde, Sulawesi Selatan. Kekosongan administrasi antara tahun 2009-2014 telah menyemarakkan datangnya para pembom karang dan para penyelam yang berburu ikan kerapu dengan penggunaan sianida.

Salah satu umpan buatan nelayan untuk memancing ikan tuna. Umpan ini dibuat menyerupai ikan terbang. Foto: Melati Kaye
Salah satu umpan buatan nelayan untuk memancing ikan tuna. Umpan ini dibuat menyerupai ikan terbang. Foto: Melati Kaye

Pemikiran lain yang lebih optimis disampaikan oleh Zainuddin dari WWF. Dia berharap pengelolaan taman nasional laut oleh KKP seperti Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Raja Ampat di Papua Barat, maupun Komodo di perairan Flores akan dapat semakin fokus kepada pengelolaan perikanan.

“Di era Kemenhut penekanan lebih kepada zonasi larangan pancing perikanan, kadang-kadang penerapan zonasi juga tidak didasarkan pada penelitian ilmiah tetapi pilihan kepada zona yang tidak ada konflik masyarakatnya,” jelasnya.

Apakah pengelolaan taman nasional laut di bawah KKP akan semakin baik? Di tengah tantangan pemotongan anggaran operasional dan penyesuaian birokrasi?

Apalagi di Wakatobi dengan area pengelolaan yang meliputi empat pulau besar dengan populasi 95 ribu orang yang menggantungkan diri pada hasil laut dan kebanyakan adalah nelayan miskin.

Dalam sebuah makalah di jurnal Nature 2014, Stuart Campbell menyebutkan tantangan dari pengelolaan sekitar 16,6 juta hektar KKL yang ada di Indonesia adalah ketidakterisolasian atau dalam kata lain, hampir semua wilayah KKL telah terhuni manusia. Tantangan bagi otoritas pengelola wilayah konservasi adalah kemampuan dalam mengelola manusia yang ada dalam wilayah otoritasnya.

Otoritas taman nasional harus mampu waspada terhadap berbagai tingkat pelanggaran dan kerusakan, dari perusakan mangrove, pengambilan batu karang untuk konstruksi, penangkapan ikan yang merusak seperti penggunaan bom karang dan kalium sianida hingga penyetruman ikan.

Di Wakatobi saja antara tahun 2000 dan 2011, penjaga taman nasional melakukan penangkapan untuk 34 kasus. Pelanggaran yang paling umum adalah pengeboman karang.

Tim patroli petugas TNL Wakatobi. Kemiskinan menyebabkan banya k pelanggaran hukum terjadi seperti penebangan ilegal mangrove, dan praktek pemancingan yang merusak lingkungan. Foto: Melati Kaye

Pada November 2014, di Pulau Kaledupa, salah satu pulau utama Wakatobi, dilaporkan muncul penangkapan ikan dengan menggunakan sianida, setelah sebelumnya warga setempat mengeluh karang di pulau tersebut dibom oleh nelayan dari luar.

“Salah satu yang perlu didorong oleh otoritas taman adalah menciptakan peraturan bersama, yaitu aturan daerah dan aturan adat termasuk sanksi denda bagi pelaku,” jelas Chris Tambea, salah satu petugas taman.

Pemerintah Kabupaten Wakatobi juga harus semakin terlibat untuk memperkuat penegakan peraturan tersebut, termasuk menyosialisasikannya kepada masyarakat yang sebagian besar nelayan tradisional. Termasuk, di sisi lain memperkuat ekonomi nelayan lewat pengembangan keterampilan, termasuk lewat penguatan kelembagaan dan sosial budaya.

Mengelola kawasan kaya keragaman hayati, seperti TNL Wakatobi memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tantangan telah terlihat, yang diperlukan sekarang adalah kemauan politik dan manajerial mumpuni yang ditunggu demi menjaga salah satu kawasan keragaman laut terkaya di dunia ini. –Diterjemahkan secara bebas oleh: Ridzki R. Sigit

Artikel Asli:

After the NGOs: can Wakatobi National Park survive on its own. Mongabay.com

Trouble in paradise: Wakatobi’s ‘sea gypsies’ adjust to life in a marine park. Mongabay.com

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,