, ,

Ini Alasan Indonesia Harus Perjuangkan Isu Kelautan di COP21 Paris

Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-21 di Paris, Perancis memasuki minggu kedua perundingan. Negosiasi masih berlangsung alot untuk diharapkan menghasilkan komitmen bersama global yang mengikat (legally binding) demi menangani dampak perubahan iklim.

Salah satu isu dalam perundingan adalah sektor kelautan. Presiden Jokowi dalam sesi Leaders Event COP21 menyebutkan mengenai isu maritim tersebut. Dia menjelaskan Indonesia memiliki kondisi geografis yang rentan terhadap perubahan iklim karena 2/3 wilayah merupakan laut, dengan 17 ribu pulau, dan banyak diantaranya pulau-pulau kecil, serta  60 persen penduduk tinggal di pesisir.

Disebutkan juga Indonesia berkomitmen  menurunkan emisi sebesar 29% dibawah business as usual pada tahun 2030 dan 41% dengan bantuan internasional, dimana bidang maritim menjadi salah satu sektor yang bisa menurunkan emisi karbon, yaitu dengan mengatasi perikanan ilegal (ilegal, unreported, unregulatd/IUU Fishing) dan perlindungan keanekaragaman hayati laut.

Akan tetapi Delegasi RI untuk COP21 tersebut terkesan tidak mengutamakan sektor kelautan ini dalam proses perundingan di Paris. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri tidak mengirimkan perwakilannya menjadi negosiator perundingan dan hanya mewakilkan kepada Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Achmad Poernomo yang berangkat ke COP21 Paris mengatakan KKP melalui Delegasi RI untuk COP21 menyatakan pentingnya komitmen bersama penanganan perubahan iklim karena berdampak sangat signifikan terhadap negara-negara kepulauan, termasuk Indonesia.

“Indonesia bersama dengan kelompok negara berkembang kepulauan (small island developing state /SIDS) membuat pernyataan tersebut. Karena negara kepulauan yang paling menderita dampak perubahan iklim. Negara kepulauan bisa terancam tenggelam dengan kenaikan permukaan laut. Bila air laut naik 30 cm, maka Indonesia bisa kehilangan 2000 pulau,” kata Poernomo yang dihubungi Mongabay pada Senin (07/12/2015).

Poernomo sendiri baru pulang dari COP21 Paris, mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan menghadiri tiga acara terkait kelautan yang diselenggarakan oleh Pavilion Indonesia dari Delegasi RI, IUCN dan Global Ocean Forum.”Saya menghadiri dua side event dan acara Ocean Day yang diselenggarakan Global Ocean Forum. Dalam acara itu saya ngomong tentang blue carbon,” kata Poernomo.

Dampak Bagi Negara Kepulauan

Koordinator Teknis Sekretariat IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) Indonesia, Agus Supangat saat dihubungi Mongabay mengatakan Indonesia sebagai negara kepulauan memang menjadi negara yang mengalami dampak signifikan dari perubahan iklim.

Dia menjelaskan berdasar penelitian Matthew Huelsenbeck (Oceana, 2012) resiko cuaca ekstrim dan slow onset di Indonesia akibat dampak perubahan iklim yaitu Indonesia merupakan peringkat ke-9 dari 10 negara paling rentang terhadap ancaman keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim. Juga menjadi peringkat 23 dari 50 negara paling rentan terhadap ancaman keamanan pangan dari dampak perubahan iklim dan pengasaman laut terhadap ketersediaan hasil laut

Kondisi kelautan global sendiri, termasuk di Indonesia, mengalami investasi, eksploitasi dan kapasitas yang berlebihan, pencurian ikan (IUU Fishing), konflik diantara nelayan, perubahan iklim dan tidak menentunya stok ikan yang dinamis.

Sedangkan laut di Indonesia mempunyai peran global dalam sistem kopel laut iklim (Sprintall, Janet, dkk dalam Nature Geoscience, 2014) yaitu pemahaman tentang Arus Lintas Indonesia untuk membuat prakiraan tentang dampak global perubahan iklim yang terjadi.

“Maka dampak perubahan iklim di Indonesia akan berpengaruh jauh dibatas teritorinya, yaitu dari terjadinya monsoon di India hingga munculnya fenomena El Nino di Kalifornia,” kata Agus.

Blue Carbon

Indonesia merupakan mega biodiversity hidupan laut dan ekosistem pesisir, seperti  kawasan coral triangle mencakup 52 persen ekosistem terumbu karang dunia, ekosistem mangrove sekitar 3,15 juta hektar atau 23 persen dari mangrove dunia dan 3,30 juta hektar padang lamun (seagrass) yang terluas di dunia. Belum termasuk keanekaragaman hayati lautnya.

Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir
Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir

Ekosistem biota laut yaitu mangrove, rawa payau dan padang lamun berfungsi menyerap karbon atau sebagai blue carbon, yang mencakup lebih dari 55% karbon hijau sedunia. “Ekosistem pesisir menyimpan karbon dengan laju setara dengan sekitar 25% peningkatan tahunan karbon atmosfer yakni sebesar sekitar 2.000 tera (10¹²) gram karbon per tahun,” kata Agus.

“Bahkan, karbon tersebut dapat tertimbun tidak hanya selama puluhan tahun atau ratusan tahun seperti halnya karbon di ekosistem hutan, tetapi selama ribuan tahun,” lanjut mantan Koordinator Divisi di Dewan Nasional Perubahan Iklim itu.

Akan tetapi, kata Agus, dalam 20 tahun ke depan, sebagian besar ekosistem penyerap karbon biru (blue carbon sinks) diperkirakan akan musnah, sehingga kemampuan tahunan untuk mengikat karbon akan menurun. “Habitat ini mengalami degradasi dengan laju kerusakan sekitar 5-10 kali lipat dibanding laju kerusakan hutan tropis,” katanya.

Untuk mempertahankan situasi saat ini, butuh pengurangan emisi sebesar 4-8 persen sebelum tahun 2030 atau 10 persen sebelum tahun 2050.

Keanekaragaman Hayati Laut Tertinggi

Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, Alan Koropitan yang dihubungi Mongabay mengatakan memang ada hubungan antara Indonesia sebagai negara kepulauan dengan perlindungan keanekaragaman hayati laut.

“Untuk beradaptasi dari dampak perubahan iklim, perlu ditunjang dengan ekosistem pesisir yang baik dan terjaga,” katanya. Ekosistem pesisir yaitu mangrove, padang lamun, juga terumbu karang.

Mangrove berfungsi ekologis sebagai pelindung pantai dari cuaca ekstrim seperti badai, menjadi habitat berbagai jenis biota laut,  pembesaran dan perlindungan ikan. “Terumbu karang biasanya sebagai pelindung pulau dan mampu meredam gelombang,” lanjutnya.

Indonesia sendiri menjadi pusat keanekaragaman hayati dunia bersama dengan Karibia. Keanakeragaman hayati yang tinggi disebabkan pola arus laut yang kompleks dan dinamis karena merupakan negara kepulauan.

“Di Indonesia barat, perairannya dangkal, yaitu paparan sunda. Di Indonesia bagian timur ada paparan sahul. Ditengahnya ada perairan dalam, mulai dari Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores,” katanya.

Pola arus laut sangat dinamis karena banyaknya celah sempit laut dan banyaknya pulau-pulau kecil. “Sehingga percampuran massa air dari barat dan timur, akan membentuk biogeografis biota laut, yang mencampurkan biota laut di tengah-tengah, sehingga kehati kita termasuk tinggi di dunia,” jelasnya.

“Sampai saat ini proses evolusi biota laut masih terjadi. Kita masih menemukan biota jenis baru. Belum lama di Raja Ampat (Papua Barat), ditemukan paling sedikit 21 jenis biota laut baru karena dinamika yang kompleks,” katanya.

Greenpeace mendokumentasikan keragaman hayati dan lingkungan di Papua yang terancam dan menanti aksi segera agar terlindungi. Foto: Paul Hilton/ Greenpeace
Greenpeace mendokumentasikan keragaman hayati dan lingkungan di Papua yang terancam dan menanti aksi segera agar terlindungi. Foto: Paul Hilton/ Greenpeace

Keanekaragaman hayati laut ini penting untuk dilindungi karena merupakan masa depan pangan dan obat-obatan dunia. “Masa depan pangan dan obat-obatan berasal dari laut. Penelitian WHO, memprediksi 70 persen obat-obatanan masa depan berasal dari laut. Kita memiliki ketergantungan baik pangan dan obat-obatan masa depan dari laut,” tegas Alan.

Perlindungan keanekaragaman hayati laut menjadi penting karena akan menjadikan laut yang sehat dan bersih untuk sektor budidaya perikanan laut.  “Dari data FAO pada 2014, tangkapan laut stagnan 70-80 juta ton per tahun global dalam 5 tahun terakhir.  Artinya stok ikan laut mengalami keterbatasan. Tidak mungkin kita genjot, karena ada ambang batas. Sehingga kita harus mulai membuat budidaya laut, yang membutuhkan perlindungan keanekaragaman hayati. Budidaya perikanan tidak mungkin bisa karena butuh laut yang sehat dan bersih,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , ,