Meski Disabel, Saver Tetap Setia Bergelut Tanggulangi Sampah

Tangannya terampil memotong bagian atas tutupan gelas plastik minuman dari aneka merek menggunakan pisau cutter (28/11) di gudang penyimpanan Bank Sampah Flores di kompleks Perumnas Maumere, Sikka. Gelas-gelas plastik bekas minuman disulapnya menjadi aneka tas dan piring plastik. Sementara kertas dibentuknya menjadi hiasan tempat lampu.

Fransiskus Saverius atau Saver (40), nama pemuda itu, meski memiliki kekurangan fisik dan harus hidup di atas kursi roda, tetap semangat menjalani hidupnya. Disabilitas mulai diperoleh Saver saat dia mengalami kecelakaan lalulintas pada tahun 2000 lalu.

“Saya selalu berdoa, agar bisa bertemu dengan orang yang dapat membuat saya tersenyum. Akhirnya Tuhan menjawab doa saya dan saya bisa dipertemukan dengan ibu Susi,“ tuturnya.

Susi atau Wenefrida Efodia Susilowati yang disebut oleh Saver adalah inisiator bank Sampah Flores, yang berdiri sejak 14 Februari 2014. Dalam perjalanannya hingga saat ini, Bank Sampah Flores telah mengirim 44 ton sampah untuk didaur ulang ke Jawa. Adapun sebagian sampah yang dapat dimanfaatkan sebagai barang kerajinan tangan diolah untuk menjadi nilai tambah bagi masyarakat.

Bagi Susi, inisiator Bank Sampah Flores, edukasi tentang sampah dapat menumbuhkan kesadaran bagi warga untuk membuat kota yang bersih sekaligus mendatangkan pemasukan bagi masyarakat.

“Kami konsen dampak dari pencemaran dari sampah itu sendiri terhadap air, tanah dan udara karena tanpa disadari akan berdampak bagi kesehatan kita,“ ujarnya. Susi berobsesi lingkungan kota, pantai dan lokasi publik di Maumere dapat bersih dari sampah kedepannya, sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat agar sadar kebersihan lingkungan.

Di Bank Sampah Flores, setiap orang yang bergabung di bekerja secara sukarela tanpa mendapat imbalan berupa gaji. Karena sifat kerjanya sukarela, dalam perjalanannya setelah enam bulan berjalan banyak yang akhirnya mundur karena tidak memperoleh honor.

Saver merupakan salah satu tenaga sukarela yang bertahan. Bersama beberapa orang sukarelawan lainnya dia menerima semua sampah yang dibawa oleh masyarakat. Dia bekerja sejak 07.30 hingga 16.30 setiap harinya. Gudang yang dipakai oleh Saver bekerja sebenarnya gedung bekas pembuatan kompos Pemrov NTT yang sejak beberapa bulan lalu dipinjamkan oleh pemerintah.

“Kami menerima sampah dari masyarakat dan dipilah karena banyak sampah yang tercampur. Kami tidak mau menolaknya karena kasihan mereka sudah membawanya sendiri ke tempat kami,“ tuturnya.

Karena Bank Sampah tidak memiliki dana tunai untuk kompensasi bagi masyarakat yang datang mengumpulkan sampah, mereka baru akan memberikan kepada nasabah, sebutan masyarakat mitra pengumpul sampah, setelah Bank Sampah menerima mendapatkan pembayaran dari sampah daur ulang yang mereka kirim ke Jawa. Untuk kompensasi kerja dari para nasabah dari satu kilo kertas yang dipilah Saver membayar 250 rupiah sementara plastik 750 rupiah.

Hasil kerajinan tangan yang dihasilkan oleh Saver dan rekan-rekannya. Foto: Ebed de Rosary
Contoh hasil kerajinan tangan yang dihasilkan oleh Saver dan rekan-rekannya. Foto: Ebed de Rosary

Memberi Pelatihan

Bagi Saver, mencari uang bukan tujuan utama hidupnya, baginya berbagi kepada sesama lewat menumbuhkan kesadaran untuk memelihara lingkungan jauh lebih penting. Saver tidak sungkan membagi ilmu untuk membentuk berbagai sampah yang tidak bernilai menjadi berbagai aneka kerajinan tangan.

Menurutnya sudah banyak aneka kerajinan sampah yang diproduksinya sudah beredar di beberapa pasar dan dibeli masyarakat. Selain itu Saver merasa bangga karena masyarakat yang dilatihnya pun banyak yang membuat kerajinan sejenis dan menjualnya di pasar. Dia pun turut bangga, ketika sekelompok anak-anak sekolah dasar yang dilatihnya beberapa waktu lalu mulai mampu membuat kreasi dari limbah dan sampah plastik yang ada.

Atas usahanya ini, Saver dan beberapa rekan relawan lainnya dari Bank Sampah Flores saat ini bahkan sering diminta oleh berbagai sekolah dan lembaga agama di Kabupaten Sikka untuk memberi pelatihan tentang daur ulang sawah, bahkan telah ke beberapa kabupaten lain di NTT. Di tahun 2016 jadwal untuk memberi pendidikan lingkungan di tingkat sekolah dasar saja sudah lebih dari 50 SD di Maumere dan sekitarnya saja.

“Saya merasa bangga bisa membagi keterampilan dan pengetahuan terkait sampah kepada orang banyak. Saya juga senang bisa berguna bagi orang lain dan memberikan penghasilan bagi mereka meski tidak seberapa nilai uangnya,“ ungkapnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,