2019, Produksi Pakan Ikan Lokal Harus Sudah Seimbang

Pemerintah Indonesia akan terus mengurangi ketergantungan impor bahan baku pakan ikan dengan cara menggenjot produksi pakan lokal yang saat ini besarnya baru mencapai 1 persen saja. Saat ini, impor bahan baku pakan ikan besarnya masih mencapai kisaran 60 persen dari total kebutuhan bahan baku pakan ikan nasional yang mencapai 211.000 ton.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Subijakto mengatakan, ketergantungan impor bahan baku hingga saat ini masih terus ada, karena memang di dalam negeri belum tersedia pasokannya.

“Saat ini, kita baru sanggup memproduksi 139.459 ton saja. Tapi kita sekarang mulai sediakan bahan baku yang dibutuhkan. Memang belum semuanya bisa kita sediakan,” ucap Slamet di Jakarta, Selasa (8/12/2015).

Bahan baku yang dimaksud, menurut dia, di antaranya bungkul kelapa sawit dan eceng gondok. Kedua bahan baku tersebut, merupakan hasil inovasi dari KKP untuk memasok kebutuhan bahan baku pakan ikan nasional.

“Sebelum ini kan tidak ada yang mau memanfaatkan limbah sawit ataupun eceng gondok. Kedua bahan baku tersebut biasanya hanya menjadi sia-sia saja. Sekarang, keduanya menjadi bermanfaat dengan baik,” sebut Slamet.

Untuk bungkil kelapa sawit, dia menjelaskan, potensinya sangat besar karena bisa menyumbangkan 10 persen protein dari limbah kelapa sawit nasional untuk kebutuhan pakan ikan yang sudah jadi. Adapun, daerah-daerah yang sudah menyatakan kesiapannya memasok limbah kelapa sawit adalah Lampung, Jambi, Kalimantan Barat, Riau, dan Sumatera Utara.

“Tapi yang sudah kontinu itu baru Kalbar. Tapi, kita terus mendorong agar daerah-daerah lain bisa bekerjasama untuk memasok kebutuhan limbah kelapa sawit,” jelas dia.

“Sebelumnya, ketergantungan impor kita mencapai 80 persen. Tapi sekarang sudah mulai berkurang. Semoga saja dengan adanya inovasi dari bungkil kelapa sawit dan eceng gondok, ketergantungan bisa terus berkurang,” tambah dia.

Untuk kebijakan tersebut, Slamet mengungkapkan, KKP sudah menyurati langsung ke seluruh kepala daerah di seluruh Indonesia agar perusahaan yang mengolah sawit bisa menyisihkan 10 persen limbahnya dan diberikan kepada petambak ikan lokal.

Dengan hadirnyan bahan baku dari bungkil kelapa sawit dan eceng gondok, menurut Slamet, maka produk tepung ikan tidak akan lagi didominasi oleh bahan baku ikan. Ke depan, diharapkan tambahan pasokan bahan baku tersebut bisa meningkatkan pasokan kebutuhan tepung ikan nasional.

“Eceng gondok itu kalau difermentasi, kandungan proteinnya bisa mencapai 30 persen. Itu sangat bagus untuk produksi tepung ikan. Sementara bungkil kepala sawit itu proteinnya mencapai 20 persen,” tutur dia.

Dengan tambahan pasokan tersebut, Slamet berharap biaya produksi secara bertahap bisa terus berkurang. Hingga pada 2019 nanti, biaya produksi bisa berkurang hingga hanya 60 persen saja.

Ketua Divisi Pakan Akuakultur Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Denny D. Indradjaja mengungkapkan, tambahan pasokan dari bahan baku nabati untuk produksi pakan akuakultur memang sangat bagus. Namun, itu belum mengatasi ketergantungan impor bahan baku pakan.

“Memang kebutuhan bahan baku pakan ini sangat banyak. Selama ini kita bergantung ke impor dan itu memengaruhi harga di pasaran. Kita ingin, harga di pasaran tetap murah dan berkualitas tapi bahan baku juga terjamin sesuai standar nasional Indonesia,” ujar dia.

Sertifikasi Hak Tanah

Selain fokus membuat inovasi bahan baku untuk produksi pakan akuakultur, KKP juga fokus untuk membantu pembudidaya ikan skala kecil yang ada di daerah. Terobosan yang dibuat KKP adalah dengan membantu mendapatkan kredit ke perbankan.

Program yang bernama SEHATKAN (Sertifikasi Hak Tanah untuk Budidaya Ikan) itu, dijelaskan Slamet Subijakto, adalah membantu para pembudidaya ikan untuk mendapatkan sertifikasi lahan tambak tanpa dipungut biaya. Sertifikasi tersebut dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Saat ini sudah diproses 7.000 bidang tanah dan 2018 kita targetkan ada 8.000 bidang tanah lagi. Untuk per bidang tanah yang disertifikasi, itu bisa dijadikan agunan pinjaman dengan nilai maksimal Rp500 juta,” jelas dia.

“Itu tujuan kami melalui program ini. Membantu petambak agar mereka bisa bankable. Program ini juga sudah disinergikan dengan KUR (kredit usaha rakyat), dan petambak bisa mengaksesnya hanya dengan bunga 12 persen saja,” tandas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,