,

Musisi dan Aktivis Kampanyekan Perlindungan Hutan di COP 21

Dadang Pranoto, gitaris band Navicula dan vokalis Dialog Dini Hari (DDH), ikut mengampanyekan suara masyarakat adat di agenda konferensi perubahan iklim atau conference of the parties (COP) ke-21 dari UNFCCC di Paris. Selama satu minggu, Dadang akan tampil empat kali di dua tempat.

Gitaris dan penyanyi berambut gimbal ini tampil pertama pada 5 Desember 2015 kemarin di Point Ephemere, kawasan Paris Utara. Kafe ini menjadi tempat kumpul aktivis masyarakat adat selama pelaksanaan COP 21 di Paris.

Begitu tiba di Paris pada 5 Desember lalu, Dadang langsung tampil di Point Ephemere pada hari yang sama. Selama sekitar satu jam, Dadang tampil solo di depan ratusan pengunjung kafe dan bar di depan sungai tersebut. Sebagian besar adalah aktivis dari Asia dan Amerika Latin.

Esok harinya, pada 6 Desember 2015, Dadang kembali menyanyi di tempat yang sama. Seperti malam sebelumnya, Dadang juga membawakan lagu-lagu bertemakan lingkungan. Selain dari album bersama Navicula  maupun Dialog Dini Hari, lagu-lagu itu juga dari karyanya bersama proyek If Not Us Then Who?

Semua lagu itu memiliki kesamaan tema yaitu tentang lingkungan. Misalnya, Siapa Lagi Kalau Bukan Kita, We Are Only Love, ataupun If Not Us Then Who. Dadang menyanyikan lagu Navicula yaitu Dead Trees maupun dari DDH yaitu Bumiku Buruk Rupa dan Pelangi.

Dadang berencana tampil lagi pada 9 Desember 2015 di kawasan pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim Le Bourget, Paris timur. Kali ini bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Indigenous Pavillion.

Keikutsertaan Dadang yang juga aktivis dalam kampanye perlindungan hutan selama COP21 berawal dari ajakan Handcrafted Films, Indonesia Nature Film Society (INFIS) dan AMAN. INFIS adalah komunitas pembuat film yang fokus pada isu-isu lingkungan dan masyarakat adat.

Nanang Sujana, pendiri sekaligus pembuat film utama INFIS, menceritakan perjumpaan pertamanya dengan Dadang ketika mereka terlibat dalam proyek bersama dalam tur band Navicula di Kalimantan pada 2012. Ketika itu, band Navicula yang memang peduli terhadap isu-isu lingkungan mengadakan tur bersama Greenpeace mengampanyekan perlindungan harimau dan hutan.

Ketika Nanang kemudian terlibat dalam proyek global If Not Us Then Who? yang lebih fokus pada kampanye perlindungan masyarakat adat, dia mengajak Dadang lagi. “Kami butuh figur musisi yang tidak hanya bernyanyi tapi juga bersikap. Menurut kami, Dadang sesuai dengan pilihan tersebut,” katanya.

Dadang pun kemudian terlibat dalam proyek global If Not Us Then Who? yang untuk mengampanyekan cerita-cerita tentang masyarakat adat terutama dalam melindungi hutan. Dadang juga berkunjung ke beberapa komunitas masyarakat adat di Indonesia termasuk di Toraja, Sulawesi Selatan. Dari kunjungan tersebut, lahirlah lagu karya If Not Us Then Who yang menjadi semacam lagu kebangsaan gerakan ini.

“Karena saya percaya bahwa jika masyarakat adat terlindungi, maka hutan pasti terselamatkan,” ujar Dadang.

Di Indonesia, kampanye If Not Us Then Who sendiri melibatkan berbagai komunitas masyarakat adat terutama AMAN. Bersama AMAN, mereka telah merekam dan membagi cerita warga adat dari Pandumaan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; Desa Setulang, Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara; Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat; Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat; Kepulauan Aru, Maluku; dan Tobelo Dalam, Halmahera, Maluku Utara.

Bersama cerita masyarakat adat dari Peru, Nikaragua, Kongo, dan negara-negara lain di Amerika Selatan maupun Asia Pasifik, visualisasi tentang perjuangan masyarakat adat tersebut ditampilkan di Point Ephemere hingga 11 Desember 2015 nanti.

Tujuan utama kampanye ini, menurut Nanang, untuk menyampaikan kepada para pihak yang terlibat di COP21 bahwa masyarakat adat harus dilibatkan dalam pengelolaan hutan. “Kalau mau menyelamatkan hutan dunia, warga adat harus diajak terlibat. Sebab merekalah yang selama ini telah melindungi hutan-hutan di Bumi, termasuk Indonesia,” Nanang menambahkan.

Diplomasi

Tak hanya dari ruang-ruang seni seperti musik dan pameran visual, suara masyarakat adat juga terdengar di forum-forum resmi. Dalam penutupan agenda Global Landscape Forum yang juga terkait COP21 di Paris kemarin, Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan juga menegaskan tuntutan itu.

Abdon, yang mewakili 17 juta masyarakat adat di Indonesia, menyatakan bahwa kebakaran hutan di Indonesia Oktober – November 2015 pun bisa dikendalikan jika Indonesia menjamin hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan lahan gambut maupun wilayah lain di hutan yang masuk dalam kawasan mereka.

“Masyarakat adat sudah terbukti memiliki kemampuan menjaga hutan yang juga bisa menjadi solusi perubahan iklim. Namun, mereka memiliki hak sangat terbatas di wilayah mereka sendiri,” ujar Abdon.

Abdon Nababan dalam Sarasehan Politik di Sorong,. Foto: Sapariah Saturi
Abdon Nababan dalam Sarasehan Politik di Sorong,. Foto: Sapariah Saturi

Dalam diskusi menjelang pertemuan di Palais du Congres, Abdon juga menemui negosiator PBB dalam perubahan iklim yang hendak menghapus semua teks terkait hak asasi manusia dalam kesepakatan-kesepakatan yang akan dihasilkan di COP 21.

“Saya ingin menegaskan bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dibuat harus menyertakan hak asasi manusia, terutama masyarakat adat, sebagai bagian dari upaya memerangi perubahan iklim,” Abdon menambahkan.

“Kita tidak bisa melindungi hutan dari Paris, Oslo, atau New York. Hanya mereka yang sudah melindungi hutan yang bisa melanjutkan upaya ini,” lanjutnya.’

Secara global, berdasarkan riset Global Landscape Forum, 20 persen karbon di hutan-hutan tropis berada di kawasan-kawasan adat. Untuk itu, menurut Abdon, hak-hak masyarakat adat terkait pengelolaan hutan harus diakui dan dilindungi pemerintah.

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan investasi untuk menguatkan perlindungan hukum dan menjamin penerapannya, termasuk juga menguatkan kapasitas warga lokal untuk mengelola secara berkelanjutan dan mendapatkan manfaat ekonomi dari sumber daya mereka.

“Untuk mereka yang belum melihat hubungan antara kawasan adat dengan hak atas tana serta perubahan iklim, kalian sebaiknya tahu bahwa mereka adalah penjaga hutan yang terbaik,” kata Abdon di depan kalangan bisnis, pemerintah, masyarakat sipil, peneliti, dan komunitas adat.

Untuk melanjutkan tugas tersebut, dia menambahkan, kita membutuhkan dunia agar mengakui hak-hak mereka sebagai bagian dari kesepakatan dalam perubahan iklim. Pemerintah harus mewujudkan ini jika mereka serius dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dalam dua bulan terakhir, kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia telah mengeluarkan CO2 yang sangat besar ke atmosfir. Kami masyarakat adat percaya bahwa kita memiliki tanggung jawab sehingga kita harus memainkan peranan penting dalam upaya global untuk mencegah bencana iklim.

“Tapi, bagaimana kami bisa melakukannya jika hak-hak kami bersama tidak diakui?” katanya.

“Tanpa kami, hutan-hutan akan habis. Tanpa hutan, kita akan punah bersama dengan makanan, air, kehidupan, dan semua hal yang membuat kita hidup sebagai manusia.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , ,