Mulai Hari Ini, Nelayan dan ABK Peroleh Perlindungan HAM

Peringatan hari hak asasi manusia (HAM) yang jatuh pada Kamis (10/12/2015), menjadi momentum bagi pekerja di sektor perikanan laut yang ada di Indonesia. Pada hari tersebut, Pemerintah Indonesia secara resmi mengesahkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan.

Peraturan tersebut mengatur tentang cara kerja dan tata kelola pekerja perikanan di sektor kelautan. Dalam permen tersebut, diatur dua hal mendasar, yakni Sistem HAM Perikanan yang di dalamnya membahas tentang Kebijakan HAM, Uji Tuntas HAM, dan Pemulihan HAM.

Kemudian, yang kedua adalah Sertifikasi HAM Perikanan yang di dalamnya diatur tentang standar kriteria kepatuhan HAM Perikanan yang diformulasikan bagi kelompok-kelompok usaha perikanan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan, disahkannya Permen tersebut menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia. Karena, baru kali inilah pekerja informal di sektor kelautan dan perikanan mendapatkan perlindungan dari sisi HAM.

“Kita sadar kalau profesi nelayan ataupun pekerja kapal sangatlah rentan. Apalagi, Indonesia adalah negara dengan laut yang luas. Dengan adanya Permen ini diharapkan semua masalah yang selama ini menyerang pekerja di laut bisa terlindungi,” ucap Susi di Jakarta, Kamis.

Dia menjelaskan, latar belakang dibuatnya Permen HAM, tidak lain karena dia mendapati kenyataan bahwa masih banyak pekerja di sektor perikanan yang ada di laut lepas belum mendapat perlindungan penuh. Padahal, profesi mereka adalah profesi yang berbahaya dan memiliki ritme kerja yang berat.

“Pekerja kita itu kenyataannya tidak hanya bekerja sebagai nelayan atau ABK (anak buah kapal) di dalam negeri saja, tapi banyak juga yang bekerja di luar (negeri) untuk kapal asing. Ini yang harus dilindungi oleh kita, oleh Negara,” tutur dia.

Susi menyebutkan, salah satu contoh nyata bahwa profesi nelayan dan ABK itu sangat berbahaya dan tidak terlindungi, bisa dilihat pada kasus perikanan di Benjina, Maluku. Di sana, ada perusahaan besar dari luar negeri yang membuka usaha dan mempekerjakan tenaga asing ilegal dan tenaga kerja lokal.

Di Benjina, selain melakukan pencurian ikan, perusahaan tersebut juga melakukan pelanggaran dengan melakukan praktik perbudakan terhadap ABK yang jumlahnya sangat banyak. Tidak hanya itu, perusahaan tersebut juga mengangkut hasil alam dan satwa langka yang semuanya dilakukan secara ilegal alias tak berijin.

“Ini yang jadi keprihatinan kita. Karena dari itu, kita bertekad untuk membuat peraturan yang bisa memberikan perlindungan kepada nelayan dan juga anak buah kapal. Hari ini, momentum tersebut bisa terwujud,” tutur dia.

210 Ribu ABK Bekerja di Luar Negeri

Susi Pudjiastuti mengatakan, dibuatnya Permen HAM ini diharapkan bisa menarik minat pekerja Indonesia yang saat ini bekerja sebagai ABK di kapal asing di luar negeri, untuk kembali bekerja di Indonesia. Karena, bekerja di luar negeri juga tidak memiliki jaminan yang lebih baik dibanding jika bekerja di dalam negeri.

“Saat ini ada 210 ribu ABK yang bekerja di berbagai negara di seluruh dunia, dan itu adalah dari Indonesia. Mereka semua adalah ABK yang terdata resmi. Namun, saya bisa pastikan masih ada ABK lain yang bekerja untuk kapal asing tapi tidak terdata. Ini yang berbahaya,” jelas dia.

Februari 2016 Berlaku Efektif

Meski sudah disahkan, namun Permen HAM tersebut masih belum bisa dilaksanakan secara aktif. Menurut Ketua Tim Satgas IUU Fishing KKP Mas Achmad Santosa, pihaknya akan melakukan pembahasan untuk membahas kelengkapakn teknis untuk pelaksanaan di lapangan.

“Karena dari itu, Permen akan berlaku efektif dua bulan mulai dari sekarang. Nanti diharapkan, Permen bisa langsung diterapkan,” jelas pria yang biasa disapa Ota ini.

Selain sedang menyiapkan perangkat teknis, Ota mengatakan, saat ini pihaknya sedang menyiapkan tim HAM yang akan bekerja untuk mengawasi pelaksanaan Permen di lapangan. Untuk timnya, nanti akan diseleksi karena itu harus sesuai dengan kapabilitas.

Sementara itu, Ketua Kesatuan Pelaut Perikanan Indonesia (KPPI) Soelistyanto mengaku lega perlindungan terhadap pekerja informal di sektor kelautan dan perikanan kini sudah ada. Namun, dia mengaku belum merasa puas karena ketentuan perjanjian kerja lapangan (PKL) yang melibatkan ABK dan atau nelayan hingga kini belum ada.

“Saat ini, ketentuan PKL yang ada masih menggunakan yang dibuat Kemenhub. Padahal, sektor kelautan dan perikanan ini berbeda dengan kelautan yang dimaksud dengan Kemenhub yang masih menggunakan kapal niaga sebagai objek utama,” jelas dia.

Namun, Soelistyanto menyebutkan bahwa saat ini pihaknya sedang membahas tentang PKL yang disesuaikan dengan pekerja di sektor perikanan dan kelautan. Kata dia, yang jadi bahasan sekarang adalah bagaimana agar pekerja mendapatkan upah yang layak dan perlindungan yang lebih baik lagi.

“Kita lagi bahas tentang gaji pokok, tunjangan layar, dan tunjangan hasil laut. Kalau gaji pokok dan tunjangan layar itu sifatnya tetap. Sementara, untuk tunjangan hasil laut itu sifatnya dimanis, menyesuaikan dengan hasil tangkapan. Semakin banyak, maka semakin besar tunjangannya,” tandas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,