,

Ternyata Begini Cara Jitu Nelayan Memancing Cakalang

Duapuluhdelapan November 2015. Waktu menunjukkan pukul 13.00. Di anjungan kapal motor Inkamina, duduk berderet beberapa orang. Kail-kail pancing mengapung di permukaan air laut. Di bibir anjungan, seorang menghamburkan umpan berupa ikan kecil hidup. Tak lama berselang, terlihat ikan-ikan berenang cepat, bagai kilat.

Di depan anjungan, terdengar suara mirip seseorang memukul kayu dengan palu. Cakalang (Katsuwonus pelamis) ukuran 3-4 kg berjatuhan. Para pemancing tak meninggalkan tempat duduk. Mereka menarik joran, mengangkat ikan, lalu terlepas sendiri.

Bagaimana mereka melakukannya?  Di lantai dua kapal, Sibar memperlihatkan mata pancing. Dia menambahkan tasi di pangkalnya, serupa mata pancing tetapi bagian ujung kail, pengait dilepaskan. “Jadi ikan tidak tersangkut, seperti orang memancing,” katanya.

Tahun 1979, ketika Paimon, berusia 23 tahun, bersama rekan dari Kolaka Sulawesi Tenggara, menambatkan kapal di Kecamatan Larompong, Luwu, Sulawesi Selatan. Semua orang memandang heran. Kapal kayu dengan anjungan tinggi dan joran bambu kecil. “Saat itu tak ada yang percaya, kalau joran bambu bisa angkat cakalang besar.”

Bagan nelayan, tempat membeli umpan ikan kecil yang segar. Foto: Eko Rusdianto
Bagan nelayan, tempat membeli umpan ikan kecil yang segar. Foto: Eko Rusdianto

Cibiran datang. Akhirnya, beberapa penduduk diajak melihat cara memancing cakalang. “Setelah saat itu, mereka percaya. Mereka mau belajar. Sekarang mulai ramai kapal pencari cakalang,” katanya.

Paimon, seorang boboi (penebar umpan). Posisi ini paling penting dalam kesatuan kapal pencari cakalang. Boboi, bertugas melihat tempat ikan berenang. Menentukan arah kapal. Dengan sedikit mistis, menjinakkan ikan agar bersedia memakan umpan.

Saat menyaksikan siang minggu itu, Paimon berdiri di pinggiran kapal, bagian palka depan, begitu tenang. Sesekali waktu mengangkat tangan. Membuang umpan, tanpa bersuara.

Memancing cakalang, bagi mereka ada tata cara dan sopan santun. Foto: Eko Rusdianto
Memancing cakalang, bagi mereka ada tata cara dan sopan santun. Foto: Eko Rusdianto

“Bagaimana anda melakukannya? Kenapa ikan datang dan menyambar kail milik pemancing?” kata saya.

“Sebelum membuang umpan, saya selalu berdoa. Baca basmalah dan meniatkan hal baik. Itu saja,” kata Paimon.

“Yang harus dimengerti, rombongan cakalang itu ada juga yang menemani. Mereka ada penjaga. Jadi waktu buang umpan, kita itu minta izin juga.”

Tae na ma’sambarang ri. Di annangang duka sopan santun,” katanya. (tidak membuang umpan sembarangan. Harus punya sopan santun).

Perjalanan menuju titik pemancingan, mata Paimon begitu tajam. Di atas geladak, dia memegang teropong. Memperhatikan lautan sekeliling. Melihat burung, merasakan riak air. “Tidak ada ikan su’ba ini,” katanya.

Tak lama umpan dilempar, cakalangpun 'beterbangan' ke lambung kapal. Foto: Eko Rusdianto
Tak lama umpan dilempar, cakalangpun ‘beterbangan’ ke lambung kapal. Foto: Eko Rusdianto

Su’ba adalah rombongan besar cakalang yang berenang mencari makanan. Jika boboi, mendapatkan rombongan ini, maka kepiwaiannya begitu teruji. Membuang umpan harus dengan teliti dan tepat. Pemancing pun memerlukan kehati-hatian ekstra, agar ikan tak lepas dari kail. “Kalau lepas, akan membuat semua ikan lari.”

Untuk mengakalipun, pemburu cakalang membuat hujan buatan di depan anjungan tepat di bawah pemancing agar ikan tak melihat mereka.

Mengapa pemburu menggunakan cara tradisional dengan memancing, bukan pakai jala atau pukat? “Pakai pukat sangat lama dan biaya mahal. Pukat juga dilarang pemerintah. Hasi belum tentu banyak. Memancing tak ada yang melarang. Kami melakukan dengan baik. Tak merusak karang,” kata Paimon.

Mengambil umpan hidup berupa ikan kecil dari bagan nelayan. Dilakukan dengan cepat. Setiap ember dihargai Rp250.000. Foto: Eko Rusdianto
Mengambil umpan hidup berupa ikan kecil dari bagan nelayan. Dilakukan dengan cepat. Setiap ember dihargai Rp250.000. Foto: Eko Rusdianto

Mencari umpan

Maret hingga Mei adalah musim cakalang di Perairan Teluk Bone. September hingga Desember, musim cakalang berada di Perairan Selayar. “Kalau musim cakalang, pemancing sampai kelelahan. Itu pancing tidak berhenti,” kata Sibar. “Bisa dapat 1.000 ekor, sekali pancing.”

Saat ikut bersama mereka mencari cakalang, dua titik pemancingan di perairan Sulawesi Tenggara, kami mendapatkan sekitar 300 ikan. Setiap titik memerlukan maksimal 15 menit pemancingan. “Kalau memancing sampai satu jam, itu sudah ber ton-ton ikan,” kata Sibar.

Dua titik ini adalah tempat rompon berada – yakni perangkat sederhana terbuat dari tumpukan bambu. Puluhan tali dipenuhi daun kelapa menggelantung di bawah air, untuk menarik ikan kecil bersembunyi dan menggoda cakalang mendekat.

Menurunkan hasil pancingan di pelabuhan ikan Cerekang. Foto: Eko Rusdianto
Menurunkan hasil pancingan di pelabuhan ikan Cerekang. Foto: Eko Rusdianto

Di titik kedua, saat saya melihat cakalang berjatuhan di geladak kapal, tiba-tiba, Paimon, berhenti membuang umpan. Pemancing di depan anjungan beristirahat. “Ikan sudah tak mau makan,” katanya.

Dua orang lain memeriksa, umpan dalam bak kapal. Beberapa ABK berdiskusi dengan boboi dan memutuskan kembali di titik pertama pemancingan. Dalam hitungannya, masih ada sekitar lima menit waktu memancing melihat persediaan umpan. Akhirnya kapal berputar. Sejak dulu, umpan menjadi bagian paling penting dan selalu sulit ditemukan.

Perburuan ikan antara 1980 hingga pertengahan 2000-an menggunakan bom membuat ikan-ikan kecil dan karang rusak. “Kadang-kadang, kami lagi memancing, di belakang kapal ada yang membuang bom. Ikan lari semua. Cakalang, itu susah sekali di bom,” kata Amar, kapten kapal.

Saya berada di ruang kemudi pada Sabtu (27/11/15), bersama Amar, saat Inkamina bergerak perlahan menuju laut lepas. Dari muara Sungai Cerekang, kapal berbelok kiri menuju Perairan Belopa. Perjalanan di sekitar satu jam. Dia memperlihatkan titik pemancingan cakalang masa lalu. “Dulu, di dekat-dekat sini, orang-orang memancing. Hanya satu jam dari dermaga. Sekarang sudah tidak ada, di bawah ini tidak adami karang,” katanya.

Cakalang menjauh, karena karang rusak. Ikan-ikan kecil dalam rombongan besar, makanan favorit cakalang ikut menghilang.

Saat menghampiri bagan nelayan di Perairan Belopa, kru berharap ada umpan. Tali kapal ditambatkan di bagan. Kami menunggu hingga pukul 04.00 dinihari. Tak ada umpan. Akhirnya, kapal menuju wilayah Kolasi di Sulawesi Tenggara. Matahari pagi menemani perjalanan Inkamina.

Sekitar pukul 09.00, kami menghampiri salah satu bagan nelayan. Di sini, harapan kembali hidup. Ikan-ikan lure (ikan kecil) tersedia. Paimon berdiri memeriksa kondisi ikan. Saat jaring nelayan diangkat dari bagan, Paimon menoleh. “Sudah tak begitu segar. Kayaknya tadi malam ikan terperangkap, bukan tadi subuh.”

Tak ada pilihan. Umpan harus terangkut. Di belakang kemudi, Amar merapatkan Inkamina ke sisi bagan. Beberapa ABK membagi kerja. Ember besar disediakan, penutup bak kapal dibuka. Ikan-ikan kecil berpindah.

Setiap satu ember ikan umpan bersama serokan air dihargai Rp250.000. Pagi itu, ada delapan ember ikan umpan dipindahkan. “Untuk umpan, kita harus sedia Rp2 juta,” kata Paimon.

Memilah ikan sesuai ukuran. Foto: Eko Rusdianto
Memilah ikan sesuai ukuran. Foto: Eko Rusdianto

Sumber: Youtube

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,