,

Tokek dan Kelirunya Persepsi Kita

Anda pasti mengenal tokek. Reptil dengan suara keras ini masuk dalam keluarga cicak besar. Namun secara sempit, tokek selalu dimaknai sebagai tokek rumah (Gecko gecko). Marganya Gekko dan bersuku Gekkonidae.

Nama ilmiah Gecko gecko ini diberikan Linnaeus (1758) atau yang dalam Bahasa Inggris sering disebut Tokay Gecko. Sejatinya, tokek rumah tersebar luas di dunia dan suara sengaunya … tokke tokke… inilah yang mendasari penyebutan namanya.

Secara umum, panjang Gecko gecko sekitar 35 cm yang hampir setengah dari panjangnya itu adalah ekor. Kepalanya besar, jari kaki depan dan belakangnya dilengkapi bantalan penghisap yang berada di sisi bawah jari. Fungsinya sebagai perekat saat berjalan di segala permukaan terlebih yang licin.

Sejak 2009 perburuan tokek terus meningkat, seiring rumor yang menyebutkan tokek rumah ini berkhasiat sebagai penyembuh penyakit HIV. Tokek pun disebut mampu menyembuhkan penyakit kulit. Benarkah?

Tokek rumah ini sering terlihat di perumahan. Foto: Awal Riyanto
Tokek rumah ini yang sering terlihat di perumahan. Foto: Awal Riyanto

Berikut terangkung tujuh kekeliruan kita terhadap Tokay Gecko.

  1. Hanya ada satu jenis tokek yaitu Gecko gecko

Di alam, sedikitnya ada 44 jenis tokek dan Gecko gecko merupakan salah satu jenisnya. Genus Gekko ini diantaranya adalah Gekko athymus, Gekko albofasciolatus, Gekko auriverrucosus, dan Gekko badenii. Dari semua Gekko ini memang Gecko gecko yang paling dikenal.

2. Gecko gecko hanya ada di rumah

Tokek rumah ini tersebar luas di alam. Di Indonesia, ia dapat ditemui di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, juga Natuna. Tokay Gecko juga berada di India timur, Nepal, Bangladesh, Myanmar, Tiongkok selatan dan timur, Thailand, Semenanjung Malaysia, dan Filipina.

Di sebut tokek rumah karena ia sering terlihat di permukiman atau perumahan penduduk serta kebun dan hutan. Suara teritorialnya yang sering terdengar menyeramkan menunjukkan akan keberadaannya di suatu tempat.

3. Tidak penting bagi alam

Pastinya, tokek berperan vital menjaga keseimbangan ekosistem dengan memakan serangga. Otomatis, ia mengontrol populasi serangga agar tidak terjadi ledakan. Bila tokek habis, rantai makanan akan terputus sehingga keseimbangan ekosistem terganggu.

Sebagaimana bangsa cicak lainnya, tokek aktif berburu saat senja dan malam hari. Tak jarang, tokek turun ke tanah untuk mengejar mangsanya. Saat siang, biasanya ia menyelinap di atap rumah, lubang kayu, atau sela bebatuan.

Diperkirakan ada sekitar 44 jenis tokek yang hidup di alam. Foto: Rhett Butler

4. Beracun

Tokek tidaklah beracun, hanya ia memiliki rahang kuat sehingga bila menggigit akan sulit dilepaskan. Inilah yang mendasari mitos, gigitan tokek tidak akan lepas tanpa adanya suara geledek.

Menurut penuturan Awal Riyanto, Peneliti Reptil Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), maksud dari mitos tersebut adalah gigitan tokek itu kuat. Semakin kita lawan akan semakin kencang gigitannya dan akan menyebabkan luka. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah “tenang” untuk melepaskan gigitan tersebut. Sejauh ini, Gecko gecko memang tercatat paling kuat gigitannya.

5. Sebagai obat HIV/AIDS

Menurut Awal Riyanto, sepanjang penelitian yang dilakukan, tokek memiliki kandungan zat tertentu untuk melawan virus HIV belumlah ada. Namun sebagai mitos, di Tiongkok tokek dipercaya memiliki khasiat sebagai obat tradisional untuk kebugaran atau tonik yang dicampur dengan ramuan lainnya.

Tokek memang telah lama diperdagangkan sebagai obat tradisional hampir di seluruh Asia, namun lonjakan tajam terjadi di 2009 akibat adanya anggapan tokek dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. Padahal, organisasi kesehatan dunia WHO (World Health Organization) telah menyangkal anggapan tersebut.

Berdasarkan data dari pihak imigrasi di Taiwan, sekitar 15 juta tokek diekspor ke Taiwan sejak 2004 yang 71 persennya berasal dari Thailand. Pada 2011, tokek ilegal yang dikeringkan dari Pulau Jawa sekitar 6,75 ton (atau 1.200.000 individu) berhasil digagalkan saat perjalanan menuju Hongkong.

Ramuan dari tokek yang dianggap dapat menyembuhkan penyakit, tanpa ada penelitian yang intensif akan mitos tersebut. Foto: TRAFFIC Southeast Asia

6. Sebagai obat kulit

Di Indonesia ada mitos tokek yang dikonsumsi dapat menyembuhkan penyakit kulit. Menurut Awal, meski ada pengakuan yang menyebutkan hal itu namun belum teruji benar dan belum ada penelitian intensif yang menyebutkan “kemanjuran” tersebut.

Terkait perburuan tokek yang terjadi, yang mengatasnamakan pengobatan, Awal menyebutkan karena ada nilai ekonominya. Secara lokal mungkin belum terlalu besar, namun karena diekspor, harga tokek jadi meningkat terutama untuk memenuhi permintaan dari Tiongkok. Ekspor bisa dalam bentuk kering, isi dalam tubuhnya sudah dibuang. Juga, ada yang masih basah dengan isi tubuh sudah dipisahkan.

Sejauh ini, tokek belum dilindungi dan tersebar di alam. Kriteria dilindungi sendiri meliputi populasi di alam yang menurun, sebarannya terbatas, dan memiliki peran penting dalam ekosistem. Dari sekian jenis tokek, yang paling banyak diburu adalah jenis Tokay Gecko.

Tokek rumah dewasa dan anakan. Sumber: Wikipedia
Tokek rumah dewasa dan anakan. Sumber: Wikipedia

7. Penangkaran

Tujuan awal penangkaran adalah mengurangi penangkapan langsung di alam melalui hasil breeding. Di penangkaran tokek bisa bertelur 3 hingga 4 kali, yang sekali bertelur 2 butir dengan masa inkubasi 2 bulan.

Penangkaran ini tidak bergantung pada kuota tapi pada seberapa besar unit penangkaran tersebut menghasilkan. Yang harus dikritisi adalah apakah penangkaran tersebut sesuai aturan atau tidak.

Pengembangbiakan tokek secara komersil memang diizinkan di Indonesia. Maret 2014, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memberikan izin kepada 6 perusahaan untuk mengekspor lebih dari 3 juta tokek hidup dalam setahun hasil dari penangkaran.

Namun, berdasarkan laporan TRAFFIC November 2015 berjudul “Adding up the numbers: An investigation into commercial breeding of Tokay Geckos in Indonesia” pengembangbiakan tokek dalam skala tersebut membutuhkan investasi dan lahan yang besar, dan jumlah pekerja yang banyak.

Tokek rumah yang hingga kini terus diburu. Foto: Rhett Butler

Para peneliti dalam laporan tersebut menghitung, untuk dapat memproduksi 1 juta tokek ukuran dewasa, sebuah fasilitas penangkaran akan membutuhkan 140.000 ekor tokek indukan betina dan 14.000 tokek indukan jantan. Akan dibutuhkan pula 30.000 kontainer inkubasi yang digunakan terus-menerus tiap tahun, 112.000 kandang penangkaran dan tingkat kesintasan sebesar 100 persen.

Fasilitas penangkaran juga akan membutuhkan ratusan staf dan persediaan makanan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup tokek. Namun, untuk mencapai kuota ekspor tersebut, sejumlah besar tokek harus diambil dari alam lalu dilakukan pencucian ke jalur perdagangan satwa yang diakui berasal dari penangkaran.

Para penulis laporan tersebut merekomendasikan agar izin pengembangbiakan tokek secara komersial ditinjau ulang dan mendorong Pemerintah Indonesia segera mendaftarkan tokek ke Lampiran III  Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka Fauna dan Flora (CITES). Sehingga, perdagangan dalam negeri dapat dipantau.

Rute perdagangan tokek rumah. Sumber: TRAFFIC Southeast Asia
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,