, ,

Kedo-kedo dan Semangat Konservasi Masyarakat Suku Bajo di Wakatobi

Nelayan tradisional, termasuk dari suku Bajo, sering disalahkan karena aktivitas penangkapan yang tak ramah lingkungan, seperti pembiusan dan pengeboman ikan. Di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, sekelompok nelayan, dengan kesadaran sendiri mencoba merubah stigma ini. Mereka membentuk kelompok bernama “Kedo-kedo”, aktif memperkenalkan cara penangkapan yang lebih ramah lingkungan.

Siang itu, awal Oktober 2015, di perkampungan suku Bajo, tepatnya di kawasan yang disebut Mola, Kecamatan Wang-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, saya bertemu dengan Hartono.

Tak begitu sulit mencari tempat tinggal lelaki separuh baya ini. Bagi warga Kampung Mola, Hartono bukanlah sosok yang asing. Ia cukup disegani di tempat itu. Dulunya ia termasuk nelayan yang banyak menentang zonasi meski kemudian justru sebaliknya. Belakangan ia membentuk kelompok Kedo-kedo, dengan salah satu kegiatannya adalah memperkenalkan cara penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan mengajak nelayan lainnya untuk tidak menggunakan alat penangkapan yang merusak.

Kedo-kedo sendiri berasal dari nama alat tangkap ikan dari Bugis, berupa tali senar yang diberi mata pancing dan umpan kain sutra yang berwarna-warni. Disebut kedo-kedo karena penggunaannya dengan cara menghentakkan tali senar berisi umpan tersebut di setiap jalur laut yang dilewati. Umpan warna warni bertujuan untuk menarik minat ikan.

“Ini sebenarnya alat tangkap ikan yang paling ramah lingkungan, tidak merusak dan bisa selektif dalam memilih ikan yang akan ditangkap. Cukup pakai senar, umpan dan mata pancing,” ungkap Hartono, di rumahnya, di Desa Mola Selatan.

Alat tangkap ini juga dianggap lebih sehat dibanding dengan cara lama yang biasa dilakukan masyarakat suku Bajo, yaitu membungkuk ke dalam air dengan dada yang bertumpu pada pinggiran perahu.

“Dengan cara lama itu banyak nelayan yang akhirnya sakit di bagian dada karena terlalu lama bertumpu di pinggiran perahu. Dengan kedo-kedo tak harus membungkuk seperti itu, dan hasilnya bisa lebih banyak,” katanya.

Sesuai dengan namanya, nelayan yang bergabung di kelompok ini memang seluruhnya pengguna alat tangkap kedo-kedo, dengan tangkapan hanya ikan sunu merah.

Menurut Hartono, ikan sunu merah dipilih karena harga jual yang tinggi. Seekor ikan sunu merah seberat 1 kg bisa dijual dengan harga Rp300 – Rp320 ribu. Dalam sekali melaut, dengan hanya menangkap beberapa ekor saja, mereka bisa menghasilkan uang hingga jutaan rupiah.

Anggota ini juga selektif memilih ikan tangkapan. Mereka hanya menjual ikan dengan ukuran 5 ons ke atas. Ikan di bawah ukuran tersebut mereka tampung di sebuah keramba, yang baru akan dijual jika sudah besar.

Keramba ini sendiri kemudian tidak hanya menampung ikan sunu merah, sejumlah ikan karang yang tidak sengaja mereka peroleh, juga ditempatkan di kolam ini hingga mencapai ukuran tertentu.

Di keramba yang tak terlalu besar ini, nelayan Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara,  ikan-ikan hasil tangkapan yang masih kecil dibiakkan sampai besar, mencapai ukuran standar yang bisa dijual. Foto : Wahyu Chandra
Di keramba yang tak terlalu besar ini, nelayan Suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, ikan-ikan hasil tangkapan yang masih kecil dibiakkan sampai besar, mencapai ukuran standar yang bisa dijual. Foto : Wahyu Chandra

Menurut Hartono, batas minimal ukuran ikan 5 ons sendiri sebenarnya dulunya memang syarat dari perusahaan yang membeli mereka, yaitu UD Pulau Mas. Pemberlakuan ukuran ini baru berlaku 3 tahun terakhir.

“Dulunya kan semua ukuran bisa dijual tapi kemudian ada pertimbangan keberlanjutan, lalu ditetapkan standardisasi, ikan yang bisa dijual hanya ukuran minimal 5 ons dan tidak boleh berasal dari hasil pembiusan dan pengeboman.”

Ukuran 5 ons ini ditetapkan, menurut Hartono, karena petimbangan bahwa ikan dengan ukuran tersebut pasti sudah pernah melahirkan.

“Jadi supaya ikannya tidak habis untuk anak cucu, ikan yang kecil-kecil tidak kami jual. Dibuang kembali ke laut juga sayang, jadi dari situlah kemudian kami inisiatif membuat keramba.”

Enggan Bergabung

Meski Kedo-kedo ini efektif namun ternyata tak banyak warga suku Bajo yang mau terlibat dalam cara penangkapan ini. Sebagian disebabkan karena mereka belum bisa meninggalkan cara kebiasan yang lama dan butuh hasil cepat, sementara dengan kedo-kedo memang butuh kesabaran.

Jika pada awal pembentukannya, tahun 2010, anggota kelompok ini 3 orang, maka hingga sekarang baru mencapai 16 orang. Itupun yang aktif hanya 13 orang saja.

“Saya juga tak bisa memaksa orang lain untuk ikut. Dalam setahun pelan-pelan ada satu atau dua orang yang mau ikut. Itu pun sebagian besar keluarga. Kita pelan-pelan sampaikan caranya dan keuntungannya dan ternyata ada juga yang tertarik.”

Keberadaan standardisasi penangkapan ikan juga menjadi alasan tersendiri sehingga tak semua warga mau terlibat dalam Kedo-kedo ini. Mereka menilai keberadaan standarisasi justru mengurangi potensi keuntungan yang mereka dapat, karena terbiasa menjual ikan dengan semua ukuran tanpa pembatasan.

Hartono justru berpikir sebaliknya. Ia merasa adanya standarisasi ini justru akan memberikan dampak masa depan yang lebih baik bagi eksosistem laut. Menjual langsung ke perusahaan juga lebih menguntungkan karena tidak lagi melalui perantara, dan mereka bisa mengetahui harga pasaran ikan secara transparan setiap saat.

“Dulu kita tidak pernah tahu harga ikan yang sebenarnya. Pengumpul beli dari kita Rp 150 ribu, tapi ternyata harga jual di perusahaan bisa sampai Rp 300 ribu. Sekarang kita bisa jual sendiri dan ketika ada perubahan harga bisa langsung ditanyakan ke perusahaan.”

Hartono kemudian memperlihatkan sebuah kartu yang dijadikan alat transaksi penjualan ikan dengan UD Pulau Mas. Hasil penjualan ikan pun bisa langsung masuk ke rekening nelayan secara otomastis ketika transaksi dinyatakan berhasil.

Hartono memperlihatkan kartu khusus bagi nelayan yang menjual ikan di UD Pulau Mas, perusahaan yang langsung membeli ikan di nelayan. Foto : Wahyu Chandra
Hartono memperlihatkan kartu khusus bagi nelayan yang menjual ikan di UD Pulau Mas, perusahaan yang langsung membeli ikan di nelayan. Foto : Wahyu Chandra

Hartono kemudian mengajak saya mengunjungi keramba ikan miliknya. Meski tak terlalu besar namun ternyata ada ratusan ikan yang ada di tempat tersebut. Sayangnya ada beberapa di antaranya yang mati.

Hartono mencurigai penyebab kematian ikan tersebut akibat limbah dari pemasakan teripang yang kemudian dibuang begitu saja ke laut.

Di sekitar keramba milik Kedo-kedo itu juga terlihat beberapa keramba besar terapung bantuan pemerintah kepada warga. Sayangnya, keramba tersebut ternyata tidak digunakan dengan baik.

“Itu tak ada isinya dan tak pernah digunakan. Bantuan dari pemerintah yang tak kena sasaran dan hanya diberikan karena faktor kedekatan saja. Ada beberapa seperti itu di tempat ini,” katanya.

Samran, salah seorang pendamping masyarakat dari WWF, mengakui memang standardisasi penangkapan masih sulit dipenuhi warga karena alasan ekonomi. Di sisi lain perusahaan pembeli juga tak semua menerapkan standarisasi, yang siap membeli semua hasil yang diperoleh nelayan tanpa ada pertimbangan ukuran ataupun cara penangkapannya.

“Selama masih ada perusahaan yang tidak memberlakukan standar, dan membeli semua tangkapan nelayan begitu saja, maka sulit untuk mengajak nelayan membatasi tangkapan mereka dari segi ukuran. Semua akan ditangkap selama pembelinya ada,” ungkapnya.

Zonasi TN Wakatobi

Taman Nasional Wakatobi yang seluas 1,39 juta hektar, pada April 2012 silam telah ditetapkan sebagai salah satu cagar biosfer dunia oleh UNESCO PBB. Sama halnya dengan zonasi yang ditetapkan 2007 sebelumnya, hal ini belum bisa sepenuhnya bisa diterima masyarakat suku Bajo.

Menurut Samran, di mata masyarakat Bajo dilihat tak ada bedanya dengan zonasi yang pernah diterapkan pada 2007 silam dan sempat ditentang.

“Masyarakat tahu itu sama saja, hanya namanya yang berubah. Ada pembatasan ruang tangkap bagi mereka. Pastilah masih ada yang menentang, namun banyak juga yang sudah bisa menerima. Mereka mulai berpikir adanya manfaat pembatasan ruang tangkap demi keberlangsungan ekosistem.”

Diakui Samran, tak mudah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya cagar biosfir ini, apalagi kalau itu dilakukan oleh pihak Taman Nasional Wakatobi.

“Ada resistensi kalau kita bilang ini dari taman nasional. Dulu pernah ada yang datang minta data tapi kemudian masyarakat menilai mereka hanya dimanfaatkan saja. Kalau yang datang itu atas nama WWF itu masih lebih mudah diterima. Mungkin karena pendekatannya yang berbeda,” ungkap Samran.

Masyarakat sendiri, menurut Samran, sebenarnya bisa menerima apapun kebijakan pemerintah selama pendekatannya tepat. Ia mencontohkan Hartono yang dulunya menentang zonasi tapi kemudian bisa menerima dan bahkan mengajak nelayan-nelayan lain untuk melakukan hal yang sama.

“Kadang saya bawa peneliti-peneliti, awalnya susah diterima tetapi karena saya yang bawa, yang mereka tahunya saya di WWF, mereka bisa terima.”

Kawasan Wisata Suku Bajo

Suku Bajo dikenal sebagai masyarakat yang hidup sepenuhnya dari laut, yang menetap di daerah pesisir. Keberadaan suku Bajo ini bisa ditemukan di 21 provinsi yang ada di tanah air. Mereka bahkan dapat ditemui di pesisir Australia, Filipina, Jepang, India dan konon sampai Eropa.

Kampung Mola di Wakatobi merupakan perkampungan Suku Bajo dengan populasi mencapai 16.000 jiwa. Mereka tersebar di lima desa, antara lain, Mola, Mola Selatan, Mola Utara, Mola Bahari, Mola Samaturu, dan Mola Nelayan Bhakti. Mereka bahkan punya Presiden sendiri, yang dijabat oleh Abdul Manan sejak 2008 silam.

Keunikan masyarakat Bajo dengan segala budaya lautnya ternyata kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, khususnya dari mancanegara. Atas dukungan dari British Council, Bank Mandiri dan Pemda Wakatobi, kawasan Mola kemudian dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata pesisir di Wakatobi.

Kampung Mola, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Wakatobi, dikenal sebagai kawasan suku Bajo terbesar di Indonesia. Bangunan dengan kubah besar ini adalah tempat pertemuan suku Bajo dari seluruh penjuru negeri. Foto : Wahyu Chandra
Kampung Mola, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Wakatobi, dikenal sebagai kawasan suku Bajo terbesar di Indonesia. Bangunan dengan kubah besar ini adalah tempat pertemuan suku Bajo dari seluruh penjuru negeri. Foto : Wahyu Chandra

Samran, yang juga terlibat dalam pengelolaan kawasan wisata ini, menjelaskan keberadaan kawasan wisata ini adalah kesempatan untuk memperkenalkan kekhasan budaya Bajo kepada dunia luar. Dalam paket wisata yang dijalankan, mereka misalnya mengajak wisatawan land tour, berkeliling kampung memperlihatkan bagaimana cara hidup, pembuatan perahu dan kuliner yang ada.

Dengan perahu, wisatawan diajak berkeliling, melakukan snorkeling dan menyaksikan lumba-lumba yang banyak ditemukan di kawasan tersebut.

Salah satu dampak yang dirasakan oleh adanya kawasan wisata ini menurut Samran adalah munculnya kesadaran warga untuk menjaga pesisir.

“Kalau ada sampah-sampah berserakan, dengan kesadaran sendiri mereka biasa akan membersihkan. Ekosistem kawasan juga bisa terjaga dengan baik karena tak ada lagi pengeboman ikan di sekitar kawasan tersebut.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , ,