,

Muara Tae: Bara Konflik Itu Masih Tetap Menyala (bagian-1)

Masrani berdiri diantara tanah tempat pertemuan dua sungai saat ayahnya, Petrus Asuy membacakan sumpah adat suku Dayak yang paling mengerikan. Sumpah tersebut dibacakan saat diyakini tidak ada cara lain untuk menyelesaikan krisis konflik lahan yang terjadi. Seluruh cara lain telah mereka tempuh dan tidak berhasil, akhirnya hanya kepada leluhurlah mereka mengadu.

Suara burung enggang dan primata sahut-menyahut mengiringi sekitar dua puluhan pria yang sedang berkumpul pada saat ritual dilakukan.

Satu per satu, mereka memohon leluhur untuk memberi hukuman seberat-beratnya bagi orang-orang yang dianggap telah menggeser patok batas tanah adat mereka. Siapa yang mengucap sumpah palsu diyakini akan langsung terenggut nyawanya atau mengalami kesialan dalam sisa masa hidupnya.

“Mereka mencuri tanah kami,” jelas Masrani, mantan Kepala Desa Muara Tae. “Meskipun telah kami undang dalam sumpah adat ini, mereka tidak datang karena tahu mereka yang salah.”

***

Kasus konflik lahan di Kabupaten Kutai Barat ini melibatkan dua desa, yaitu Muara Tae, dengan jumlah penduduk sekitar 2.500 jiwa, dan Muara Ponak, yang penduduknya sekitar 300. Orang-orang dari Muara Tae menuduh orang-orang dari Muara Ponak telah menjual tanah adat Muara Tae kepada perusahaan sawit.

Masing-masing pihak selama bertahun-tahun saling menuduh pihak lain berbohong yang pada akhirnya menyeret perusahaan, komunitas di dua desa yang bersebelahan, Pemda hingga mediator eksternal yaitu Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Tidak adanya pengakuan negara terhadap keberadaan lahan adat masyarakat Muara Tae bermuara pada tahun 2011, saat anak perusahaan perkebunan sawit asal Malaysia TSH Resources, PT Munte Waniq Jaya Perkasa (PT MWJP) masuk beroperasi untuk membuka perkebunan sawit.  Masyarakat pun langsung memprotes kejadian ini.

Pemda Kutai Barat merespon protes yang ada dengan mengirim tim khusus untuk menyelesaikan sengketa perbatasan dua desa. Tim bupati kemudian merekomendasikan adanya kompromi yang kemudian di SK-kan lewat Keputusan Bupati Kutai Barat, Ismael Thomas.

Di satu sisi, masyarakat Muara Ponak menerima keputusan ini. Sedangkan masyarakat Muara Tae menuntut keputusan ini ke pengadilan. Masrani (34) kepala desa Muara Tae, saat itu maju mewakili masyarakatnya. Sebagai catatan, Masrani merupakan contoh profil langka, seorang Kepala Desa yang berani menentang keputusan Bupati.

Dapat diduga tindakan selanjutnya Bupati yaitu mengeluarkan surat keputusan lain, kali ini mencopot Masrani dari jabatannya. Gugatan dari warga Muara Tae pun kalah di Pengadilan Negeri Samarinda dengan alasan bahwa bukti hak atas tanah tanah tidak dapat dibuktikan untuk menentukan batas desa. Masrani dan masyarakat Muara Tae pun mengambil langkah sendiri yaitu maju melawan perusahaan sawit yang masuk di wilayah adatnya.

Dukungan bagi warga Muara Tae untuk mempertahankan wilayah adat mereka pun meningkat, datang dari LSM, bahkan Komnas HAM pun sempat mengadakan pertemuan nasional (national inquiry) khusus mengamati secara serius kasus tanah yang terjadi Muara Tae dan komunitas adatnya. Dari dunia internasional, dukungan dilakukan lewat bentuk penghargaan bergengsi Equatorial Prize yang diberikan oleh UNDP untuk upaya masyarakat mempertahankan keberadaan hutan dan wilayah adatnya. Ayah Masrani, Petrus Asuy, menerima penghargaan ini pada saat KTT Iklim di Paris pada bulan Desember ini.

Setelah PT MWJP mengirim buldoser ke kawasan hutan adat yang diklaim masyarakat Muara Tae di tahun 2011, aksi ini diikuti oleh perusahaan lain, anak dari perusahaan sawit Singapura, First Resources Ltd, yaitu PT Borneo Surya Mining Jaya (BSMJ) pada tahun 2012 yang melakukan tindakan serupa. Perusahaan First Resources Ltd merupakan perusahaan yang CEO-nya adalah Ciliandra Fangiono yang merupakan salah satu dari keluarga terkaya di Indonesia.

Petrus Asuy, ayah dari Masrani, menunjukkan lokasi Sumpah Adat di hutan keramat warga Muara Tae. Foto: Philip Jacobson

Lahan Adat yang Tidak Diakui Negara

Kepelikan dalam kasus lahan diakui oleh Franky Yonathan, pejabat di Kutai Barat yang menyebutkan “Batas desa sifatnya administratif, tidak dipengaruhi oleh klaim atas tanahnya,” jelasnya di Sendawar, ibukota Kutai Barat beberapa saat yang lalu.

Kepemilikan atas tanah harus dapat dibuktikan lewat dokumen sertifikat, yaitu kertas kepemilikan tanah, padahal sejak turun-temurun masyarakat adat di Indonesia menggunakan hak tanah sebagai hak komunal, bukan kepemilikan individual. Meski telah beberapa kali diungkapkan dan diwacanakan, namun hak tanah secara kolektif belum dapat berlaku di lapangan.

Hal ini yang kemudian mendorong munculnya banyak ijin bagi konsesi perkebunan seperti yang dilakukan oleh First Resources, yang pada akhirnya berujung pada konflik penguasaan lahan.

Biasanya, tanah adat yang disewakan kepada konsesi dijaminkan oleh kepala desa sebagai penjamin transaksi. Peran kepala desa menjadi penting sebagai pihak yang memfasilitasi kesepakatan tersebut. Meski dalam prakteknya, dengan hukum positif yang ada yang diakui oleh aturan negara, aturan adat telah lama diabaikan oleh pemerintah.

“Ketidakjelasan dan kurangnya pemahaman terhadap adanya dua sistem hukum yang ada, yaitu hukum negara dan hukum adat, menyebabkan dampak serius terhadap masyarakat lokal,” jelas Chip Fay, seorang peneliti konflik sosial dari Samdhana Institute.

Atas: warga Bentian (dari kiri) Apung Barnel, pengacara Lirin Dingit dan Roesli, menyebutkan pemerintah telah melanggar batas adat tradisional mereka dengan mengeluarkan SK Bupati. Tengah: Lawing Uning (kiri), Kepala Desa Long Hubung Ulu, mengatakan perusahaan milik keluarga Fangiono telah melanggar wilayah komunitas adatnya. Bawah: Kepala Desa Benggeris mengatakan perusahaan pertambangan dan perusahaan kelapa sawit telah melanggar perbatasan utara dan selatan desanya. Foto oleh Philip Jacobson

Gambaran rumit yang terjadi tidak saja terjadi diantara masyarakat Muara Tae dan Muara Ponak. Di dalam masyarakat Muara Tae sendiri telah muncul bibit perpecahan. Satu kelompok di Muara Tae ternyata telah melakukan komunikasi dengan anak perusahaan First Resources, PT Borneo Surya Mining Jaya (BSMJ).

Saat masih menjadi Kepala Desa, Masrani tegas menolak usulan warga Muara Tae, yang sebagian masih berkerabat, untuk membuat perjanjian dengan PT BSMJ. Saat itu Masrani beralasan sebagai Kepala Desa, dia harus mengakomodasi sebagian lagi kelompok masyarakat di Muara Tae yang menentang rencana ini.

Menyikapi penolakan ini, golongan anti Masrani menanggapi dengan mengedarkan petisi untuk menurunkan (impeachment) Masrani sebagai kepala desa. Meski sebagian warga menyatakan mereka tidak ikut menandatangani petisi, namun pada ujungnya dokumen ini dipakai Bupati sebagai dasar pencopotan Masrani dari jabatannya.

Bagi kaum penentang, Masrani dianggap sebagai “provokator” yang terus menentang kemajuan yang dibawa oleh perusahaan sawit sejak tahun 1990-an. Dua dekade lalu, di Muara Tae terjadi konflik eskalasi besar yang menentang usaha perkebunan sawit oleh masyarakat yang berakhir pada kericuhan yang membawa sebagian warga lari ke hutan dan lainnya mendekam di penjara.

Overlay peta wilayah Muara Tae (sebelum SK Bupati), arsiran adalah wilayah konflik yang masuk dalam izin lokasi anak perusahaan First Resources (garis kuning). Daerah yang diarsir diakuisisi oleh perusahaan dari warga Muara Ponak bernama Yokubus. Gambar milik Lingkar Komunitas Sawit. (Klik pada gambar untuk memperbesar)
Overlay peta wilayah Muara Tae (sebelum SK Bupati), arsiran adalah wilayah konflik yang masuk dalam izin lokasi anak perusahaan First Resources (garis kuning). Daerah yang diarsir diakuisisi oleh perusahaan dari warga Muara Ponak bernama Yokubus. Gambar milik Lingkar Komunitas Sawit. (Klik pada gambar untuk memperbesar)

Konflik saat itu dimulai ketika PT London Sumatra, sekarang bagian dari konglomerat Salim Group, mulai membuldoser lahan yang masih bersengketa kepemilikan dengan masyarakat. Masyarakat yang haknya dilangkahi, marah dan lalu menduduki camp perusahaan yang dilanjutkan dengan pembakaran aset perusahaan.

Akibatnya pasukan polisi khusus pun diterjunkan. Menurut Masrani, beberapa warga waktu itu disiksa polisi, sedang sebagian lain, termasuk ayah Masrani, melarikan diri ke hutan. Kelompok ini tinggal selama dua bulan di hutan, menunggu bara konflik tersebut mereda. Saat itu Masrani mengaku masih duduk di bangku sekolah menengah.

“Kami waktu itu sangat ketakutan,” kenangnya.

Menurut orang-orang yang pro sawit, kejadian di masa silam ini telah menyebabkan Masrani dan ayahnya tidak pernah menutup-nutupi kalau mereka membenci perusahaan sawit. Mereka pun bertekad untuk tetap menentang perusahaan sawit masuk ke wilayahnya.

“Kita harus membedakan antara orang-orang dari Muara Tae dan kelompok Masrani ini. Kelompok Masrani ini tidak suka sawit. Itulah satu-satunya alasan masalah ini terus-menerus terjadi,” tutur Rudiyanto, kepala Desa Muara Ponak, kepada Mongabay.

Masrani, istri dan anak, setelah pengucapan Sumpah Adat tahun lalu. Foto: Masrani

Masrani pun serta merta membantah. Secara pribadi, dia memilih untuk mempertahankan hutan sebagai tempatnya menggantukan hidup, dan tidak mempermasalahkan jika tetangganya menerima sawit. Namun baginya, persoalan dasar bukanlah sepakat atau tidak sepakat dengan perusahaan sawit, namun masalah utamanya adalah pencaplokan tanah adat Muara Tae yang diklaim oleh tetangga desanya. Baginya tanah adat adalah warisan bagi kelompok komunal adat, bukan milik beberapa kelompok individu yang mendapat keuntungan dari sana.

Masrani pun menuding terdapat persekongkolan jahat, yang melibatkan pejabat, perusahaan dan oknum-oknum warga yang ingin mengambil keuntungan dari tanah adat Muara Tae.

“Itulah yang terjadi di kabupaten ini, cara mainnya kotor,” jelas Masrani berapi-api.

Basecamp milik PT Lonsum yang dibakar oleh masyarakat pada tahun 1990-an. Foto: Telapak/Putijaji

Ekonomi Politik Penguasaan Lahan Hutan

Sumberdaya alam yang melimpah di Indonesia telah lama dieksploitasi sejak era kolonial Belanda. Jika Belanda fokus di lahan-lahan subur Jawa dan sebagian pesisir Sumatera, maka rejim pemerintahan Orde Baru Soeharto mulai mengeksploitasi kekayaan alam di pulau-pulau lain, termasuk Kalimantan yang sangat kaya dan luas sumberdaya alam.

Di tahun 1980-an, Kementerian Kehutanan waktu itu, melakukan pengukuhan lahan yang kemudian dikategorikan sebagai kawasan hutan negara. Ketika datang permohonan ijin konsesi perkebunan dan HPH dari swasta, Kemenhut melangkah jauh dengan memberikan lisensi. Hal ini terjadi lebih dari setengah kawasan hutan yang ada di Indonesia yang total luasnya hingga puluhan juta hektar.

Ketika Soeharto menjadi presiden pada tahun 1967, PDB per kapita Indonesia adalah USD 56. Pada tahun 1998 menjadi USD 470. Namun koefisien gini, suatu standard untuk melihat ketimpangan tingkat taraf hidup, menjadi semakin jauh bagi si kaya dan si miskin.

Berkah dari konsesi salah satunya dirasakan oleh Martias Fangiono, pendiri First Resources yang menjadi salah satu milyuner hasil warisan rejim bagi-bagi konsesi era Soeharto. Meski rejim Soeharto telah tumbang pada tahun 1998, namun kasus-kasus ilegal logging yang melibatkan korupsi pejabat terus terjadi. Pada tahun 2007 kasus ini menyeret mundurnya Gubernur Kaltimantan Timur. Hal ini menyimbolkan bagaimana korupsi politik yang terjadi di era sebelumnya dapat terbawa ke era demokrasi.

Desentralisasi yang terjadi sebagai dampak dari otonomi daerah, menyebabkan penguasaan sumberdaya alam bergeser ke tingkat lokal. Banyak bupati mengambil keuntungan dari kekuatan baru mereka untuk membagikan sejumlah besar pertambangan dan perkebunan ijin. Ismael Thomas, Bupati Kutai Barat, termasuk salah satunya.

Pada 2012, Bupati telah mengeluarkan ijin konsesi batubara yang tumpang tindih melebihi luas Kabupaten Kutai Barat, melansir laporan yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch.

Meski demikian, tidak seperti kasus yang menerjang Bupati lainnya, Ismael tidak pernah dinyatakan sebagai tersangka korupsi. Kasus Bupati marak seiring dengan kasus-kasus obral ijin oleh Bupati yang ditujukan untuk pendanaan kampanye pilkada mereka.

Ornamen di lokasi pembibitan milik masyarakat Muara Tae. Foto Philip Jacobson

Ismael dilantik sebagai Bupati pada tahun 2004, saat ia mengundurkan diri sebagai wakil bupati untuk melawan Bupati petahana Kutai Barat waktu itu, Rama Asia. Selama periode jabatannya, Rama telah berupaya untuk memulai program pemetaan wilayah tanah adat sebagai bagian strategi untuk mengurangi resiko konflik agraria.

Program ini sempat diujicobakan di beberapa kecamatan di Kutai Barat, meski pada akhirnya program ini tidak berlanjut dalam periode Ismael.

“Rama Asia menekankan perlunya kejelasan wilayah masyarakat sebelum masuk investor swasta,” jelas Martua Sirait, peneliti dari World Agroforestry Center (ICRAF). “Setelah Thomas datang, Pemda tampaknya kehilangan minat untuk melanjutkan.”

Dalam aturan yang dibuat, sebenarnya Pemda kabupaten memegang kunci penting. Pemda yang akan mengeluarkan rekomendasi untuk menentukan area konsesi agar tidak berbenturan dengan kawasan milik masyarakat. Dalam munculnya sengketa lahan seperti Muara Tae dan Muara Ponak, peran Bupati menjadi penting sebagai penengah untuk menyelesaikan perbedaan batas yang ada alih-alih menjadi bagian dari permasalahan yang ada.

Pada tahun 2007, melansir dari studi tentang kemiskinan di Kutai Barat oleh Center for International Forestry Research (CIFOR), peneliti menyebutkan Pemda telah berkontribusi dalam mengorbankan lingkungan dan ikatan sosial warga untuk kepentingan ekonomi jangka pendek. Alhasil, konflik yang berhubungan dengan akses pemanfaatan sumberdaya semakin meningkat di semua tingkatan masyarakat.

“Di mana batas-batas area belum jelas dan kegiatan ekonomi besar masuk, akan sangat mungkin sengketa tanah akan muncul dan tak terhindarkan,” jelas Godwin Limberg salah satu peneliti menjelaskan kepada Mongabay.

Mencoba Menyusuri Batas Desa Tae dan Ponak

Muara Tae dan Muara Ponak terletak di dataran rendah perbukitan selatan dari wilayah sungai Mahakam. Suku aslinya, Dayak Benuaq yang umumnya beragama Kristen. Dibuktikan dengan hampir di semua rumah warga terpampang lukisan berbingkai gambar wajah Yesus. Pusat Desa Muara Tae lumayan asri, dinaungi oleh pohon-pohon rambutan menuju ke tepi hutan, di dekat tempat ini Sungai Tae mengalir ke Nayan.

Bagian dari Muara Tae, yang disebut dengan Camp Baru, terletak di tepi jalan raya utama. Camp Baru agak ramai, rumah bagi ratusan transmigran, yang umumnya Muslim. Para transmigran ini bagian dari program pemerintah untuk memacu pertumbuhan di daerah yang jarang penduduknya.

Sedangkan Muara Ponak letaknya lebih terpencil, dengan populasi yang jauh lebih sedikit.

Nama Tae dan Ponak mengacu pada nama sungai yang mengalir berlawanan dari berbagai bukit yang ada. Kedua aliran sungai ini bermuara di tempat yang berbeda. Aliran sungai Ponak berakhir di Sungai Mahakam, sedangkan aliran sungai Tae bermuara ke Danau Jempang jauh.

Untuk Masrani dan lain-lain yang menentang perusahaan sawit, kontur batas geografis ini, terutama sebuah bukit yang disebut Benuakng, selalu dijadikan patok batas alam perbatasan antara desa Muara Tae dan Muara Ponak. Bagi mereka, pembagian wilayah ini telah ada sejak era Kesultanan Kutai dahulu.

“Jadi sudah jelas kalau kebun sawit yang masuk tanah adat kami, itu sepihak dari orang Ponak,” jelas Masrani. “Patok tanah ini sudah digeser.”

Pangeran Puger, Juru Bicara Sultan Kutai. Foto: Philip Jacobson

Pangeran Puger, juru bicara Sultan Kutai, saat dijumpai oleh Mongabay di Tenggarong mengkonfirmasi bahwa pada zaman dahulu batas wilayah alami dan kontur digunakan dalam pembagian wilayah administrasi era kerajaan.

“Sungai dan lembah adalah batas di era kesultanan,” jelas pangeran. “Jika ada perselisihan, maka untuk menyelesaikannya kembali pada acuan batas alami.”

Hukum agraria Indonesia pun ada menyebutkan bahwa dalam menggambar perbatasan, pemerintah harus menghormati norma-norma adat sudah di tempat. Pendukung hak masyarakat adat menafsirkan ini berarti bahwa batas-batas adat harus ditegakkan. Meski negara dapat membuat tafsiran dari sumber lain.

“Jika suatu desa wilayahnya besar tetapi jumlah penduduk sedikit, saya pikir pemerintah dapat melihat situasi ini tidak hanya berpatokan pada batas alam,” jelas Pangeran Puger. “Tapi catatannya jangan mengambil hak-hak orang-orang yang sudah tinggal di sana.”

Herman Dingit, warga Kecamatan Bentian di Kutai Barat, mengatakan perusahaan tambang batu bara telah mencuri tanahnya. Foto: Philip Jacobson

Inilah yang terjadi dalam konflik Muara Tae dan Muara Ponak. Rudiyanto, Kepala Desa Muara Ponak, tidak sepakat dengan Masrani. Alih-alih berpatokan pada batas alam yaitu bukit-bukit dan hulu mata sungai, ia menempatkan titik di tempat lain, yaitu sebuah pelabuhan kecil di Sungai Nayan yang disebut Singabanda.

Ketika Muara Tae berpisah dari tetangganya Mancong pada tahun 2004, Rudiyanto mengatakan, desa baru tersebut melobi untuk meluaskan wilayahnya ke tempat yang sekarang masuk dalam areal Sungai Perpaka, yang kemudian disebut Putih Dasar, batas ini dapat dicek dengan keberadaan pohon benggeris (Koompassia excelsa). Perbatasan baru menurut Rudiyanto, sebenarnya merupakan kompromi, terletak seperti itu diantara rentang bukit dan pelabuhan Singabanda.

Rudiyanto yakin bahwa perbatasan Singabanda berakar pada era kesultanan, dimana dulunya terdapat rumah panjang di sana. Namun Rudiyanto bagaimanapun tidak memberi menjelaskan lebih jauh tentang batas yang dimaksud sebagai garis, alih-alih titik dalam sebuah peta.

Saat ditanya apakah keputusan Bupati telah tepat. Dia menyebutkan keputusan Bupati telah benar dan dibuktikan oleh pengadilan.

Rudiyanto, Kepala Desa Muara Ponak. Foto: Philip Jacobson

Menurutnya, Ponak tetap mengakui hak kelola di wilayah tersebut yang berbeda dengan hak waris. Menurut Rudiyanto, beberapa warga Muara Tae dapat mengelola lahan di wilayah tersebut tapi tidak punya hak waris, yang bagi warga Ponak hal tersebut bersifat ekslusif.

Sebaliknya, Masrani di sisi lain menegaskan bahwa tidak ada seorangpun di Muara Ponak yang memiliki hak waris di wilayah sengketa, dia menegaskan bahwa Ponak tidak pernah memiliki rumah panjang di Singabanda.

“Buktinya ada di lapangan,” katanya. “Semuanya dimiliki orang-orang Tae. Kuburan kuno orang Tae. Tidak ada rumah panjang di sana.” Rumah panjang sendiri merupakan salah satu ciri komunal yang berupa hunian yang diisi oleh sekelompok masyarakat yang hidup dalam satu struktur.

Dari dua klaim yang ada, pemerintah tidak bisa bertindak lain kecuali menarik garis di tengah-tengah. “Kalau mereka tidak bisa setuju, pemerintah membagi wilayah jadi dua. Saya pikir itu cara terbaik,” jelas Silan, Camat Jempang dimana lokasi sengketa terletak, saat dijumpai Mongabay.

Pemandangan dari atas. Bibit kelapa sawit sekarang tumbuh di lokasi yang disebut oleh Petrus Asuy sebagai lokasi milik warga Muara Tae. Foto: Philip Jacobson

Penjelasan itu ditentang oleh Masrani. Dia menyebutkan mediasi yang dibuat pemerintah akan berakhir dengan kegagalan. “Bagaimana kesepakatan akan dicapai oleh kedua pihak, kalau pada ujung-ujungnya orang Ponak bohong untuk semua fakta,” katanya.

Untuk memberikan kesempatan pembuktian klaimnya masing-masing, Mongabay meminta warga dari kedua desa, Muara Tae dan Muara Ponak untuk menjelajahi wilayah yang disengketakan. Mongabay mengajak warga yang memiliki pengetahuan mendalam tentang medan dan dapat membuktikan wilayah tersebut masuk wilayah adat mereka.

Dari sisi Masrani, dia amat bersemangat untuk melakukan perjalanan. Petrus Asuy, ayahnya, melaju membawa Mongabay dengan sepeda motor naik dan turun jalan hutan sempit dan perkebunan monokultur sawit.

Asuy menunjukkan bekas pemukiman lama yang telah hancur dan situs pemakaman kuno yang menurutnya menjawab verifikasi klaim dari Tae. Dia menunjukkan durian dan tanaman cempedak yang telah ditanam oleh nenek moyangnya. Pohon Benggeris sesekali menjulang tinggi di lanskap.

“Ponak tidak tahu tentang hal ini. Mengapa? Karena memang ini bukan tanah adat mereka,” jelas Asuy.

Giarto, salah satu dari empat warga Ponak yang menandatangani kontrak dengan TSH Resources anak, PT Munte Waniq Jaya Perkasa. Foto: Philip Jacobson

Lain lagi dari sisi Muara Ponak. Rudiyanto tampak kurang antusias untuk memberikan tur. Berulang kali saat Mongabay mencoba untuk mengontak Rudiyanto menanyakan tentang perjalanan ini, tidak juga berhasil.

Sebaliknya, Giarto, salah satu dari empat warga Muara Ponak yang menandatangani kontrak dengan PT MWJP menolak keras usulan Mongabay untuk melakukan tour. Dia menulis dalam pesan SMS bahwa bukti-bukti telah dihancurkan oleh orang Muara Tae, termasuk rumah panjang mereka. Diterjemahkan oleh: Ridzki R. Sigit

Artikel ini berlanjut ke tautan ini:

Muara Tae: Kami Tidak Mau Diadu Domba Perusahaan

Artikel asli: Inside Indonesia’s highest-profile land conflict. Mongabay.com

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,