,

Izin Lingkungan Banyak Kejanggalan, Warga Karangwuni Gugat Apartemen Uttara

Pada Hari Hak Asasi Manusia, Kamis, (10/12/15), warga Pedukuhan Karangwuni, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman, menggugat izin lingkungan Apartemen Uttara The Icon ke PTUN. Gugatan dilayangkan kepada apartemen seluas 1.660 meter persegi ini karena izin lingkungan dinilai banyak kejanggalan.

Warga menunjukkan LBH Yogyakarta, sebagai kuasa hukum. Ikhwan Sapta Nugraha, dari LBH Yogyakarta kepada Mongabay mengatakan, gugatan ini upaya warga memperjuangkan hak lingkungan baik dan sehat. Sekaligus wujud gerakan “Jogja Ora Didol atau Jogja Tidak Dijual,” diinisiasi warga yang resah karena pembangunan hotel, apartemen, dan mal marak.

“Pembangunan ini menyingkirkan hak-hak warga dan tidak mengedepankan asas kemanfaatan,” katanya.

Menurut dia, ada empat alasan gugatan izin lingkungan, pertama, rekayasa kebijakan. Pembangunan apartemen, katanya, pada 28 November 2014, bersamaan dokumen rekomendasi upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL_UPL). Pembangunan awal ini mengacu pada izin mendirikan bangunan (IMB) sementara dikeluarka Bupati Sleman Mei 2014.

Jadi janggal, katanya, IMB sementara mengacu pada peraturan Bupati Sleman yang sudah dihapuskan. “Dalam perundang-undanganjuga tak boleh IMB semantara.”

Kedua, izin lingkungan keluar tahap perencanaan, bukan konstruksi. Pada pembangunan apartemen ini sebaliknya. Izin konstruksi, sama saja izin membangun tak sesuai UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU itu jelas izin lingkungan didasarkan Amdal atau UKL-UPL. “Ini instrumen pengendalikan dampak penting pembangunan.”

Ketiga, izin lingkungan tak terbit oleh yang berwenang karena diberikan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sleman. Semestinya, kewenangan izin lingkungan oleh kepala daerah. Keempat, penentuan syarat koefisien dasar bangunan (KDB) 60% oleh BLH Sleman , tidak berdasarkan peraturan zonasi dalam aturan tata ruang. KDB diatur dalam rencana detail tata ruang (RDTR).

“Atas dasar apa BLH Sleman memberikan syarat KDB maksimum 60%, padahal hingga saat ini Sleman belum memiliki RDTR?” katanya. Terlebih, tak ada rekomendasi Badan Koordinasi Pengedalian Ruang Daerah (BKPRD).

Rita Dharani, warga Karangwuni tergabung dalam Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PKWTAU) mengatakan, penolakan mereka karena tak pernah mendapatkan informasi ada pembangunan apartemen.

Bahkan, dalam proses pembangunan, sampah-sampah pekerja dan kebisingan mengganggu warga. Mulai dari pencemaran air tanah, kebisingan, tembok rumah warga sekitar retak, dan sampah bangunan hingga berbagai benda-benda berbahaya berjatuhan.

“Rumah saya berbatasan langsung dengan pagar apartemen. Sudah dua kali martil jatuh di rumah dan sampah mengotori halaman,” katanya.

Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandera mengatakan, pondasi dan basement apartemen mempengaruhi aliran air tanah dangkal hingga berdampak pada air tanah warga. “Sudah kejadian saat penggalian untuk basement air warga keruh.”

Francis Wahono, Direktur Center for Integrated Development and Rural Studies, juga angkat bicara. Dia mengatakan, pembangunan hotel dan mal merusak keistimewaan Yogyakarta, karena menggusur warga kampung dan menyebabkan kerusakan lingkungan.

Seharusnya, katanya, Yogyakarta berjalan harmonis dan lestari apabila geo ekologis jadi acuan pertumbuhan, penghidupan dan pembangunan. Ciri istimewa  Yogyakarta, terletak pada bentuk pemerintahan dan inisiatif rakyat. “Hanya dengan itu Jogja sold out tidak terjadi.”

Dosen Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno mengatakan, masyarakat terancam pembangunan hotel, seperti akses air hilang.

Manajemen air yang tidak baik di hotel, katanya, berpotensi mengurangi kualitas air.  Pengelolaan limbah hotel seperti, sampah, tinja, juga perlu dicek sesuai atau tidak..

Dalam konteks bencana, katanya, tak membangun hotel adalah pencegahan paling sempurna. Dalam pandangan konservasi, lahan hotel sudah pasti bukan konservasi, cagar budaya atau sempadan sungai.

Pemerintah, kata Eko, harus menata ulang pembangunan hotel, mal dan lain-lain, di bukan lokasi padat penduduk, hingga tak terjadi perebutan akses, ruang, air dan udara.  Pemerintah juga perlu memastikan data-data berhubungan dengan jumlah air, sistem sanitasi, kualitas udaya, serta mengkaji kualitas lingkungan berisiko bencana di setiap tempat potensial.

Eko menambahkan, pemerintah bisa membuat zonasi hotel dalam tata ruang perkotaan, dengan batasan jumlah, dan sesuai nilai dan kebudayaan masyarakat.

Mongabay berusaha mengubungi pihak apartemen, namun tidak mendapatkan tanggapan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,