,

Meski Ada Keputusan MA, PT MMP Bersikeras Menambang di Pulau Bangka

Warga pulau Bangka, Sulawesi Utara, resah. Pasalnya, sudah tiga kali mereka menyaksikan aktifitas kapal yang diduga mengangkut alat berat milik PT Mikgro Metal Perdana (MMP), perusahaan tambang yang beroperasi di pulau itu. Warga menilai, perusahaan tambang tidak mematuhi hukum. Sebab, berbagai keputusan hukum telah menyatakan pulau Bangka tidak layak menjadi wilayah pertambangan.

Dikatakan Benny Lalolorang, anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Kahuku, kapal pengangkut alat berat masuk ke pulau Bangka pada tanggal 22 Maret, 12 April dan 16 April 2016. Pada tanggal 22 Maret, diketahuinya, kapal mengangkut 3 dam truck dan eskavator. Menyaksikan aktifitas itu, ia langsung mencegat  dan mengatakan kepada awak kapal bahwa aktifitas mereka meresahkan masyarakat.

“Kami adalah Badan Perwakilan Desa Kahuku, kami mau tanya, kalian ada izin tidak? Kalau tidak kalian tidak bisa turunkan alat berat ini. Sebab perusahaan ini adalah perusahaan ilegal,” demikian Benny menceritakan kejadian tersebut, kepada Mongabay, Senin (18/04/16).

Sejak hari itu, berturut-turut kapal pengangkut alat berat mendatangi pulau Bangka. Beberapa kali warga menghadang dan melarang kapal tersebut masuk ke pulau Bangka, namun seruan itu tidak mendapat respon positif.  Tentu saja, mereka menyesalkan tindakan tersebut. Sebab, sejauh ini, kata Benny, warga pulau Bangka selalu berupaya menaati hukum, tapi hal sebaliknya justru dilakukan perusahaan tambang.

“Kalau mereka tidak bisa dengar suara rakyat, ada apa-apa yang bisa terjadi nantinya. Masyarakat tetap taat aturan dan punya dasar hukum. Tapi dengan adanya tindakan tersebut, perusahaan tambang menunjukkan sikap ‘kepala batu’ (keras kepala),” demikian Benny mengatakan kekesalannya.

Diana Takumansang, yang juga merupakan warga pulau Bangka menambahkan, pada 12 April 2016 warga kembali menghadang dan berupaya mendokumentasikan angkutan di dalam kapal. Namun, aksi mereka dihalangi pekerja tambang.

“Mereka (pekerja tambang) bilang,  ‘jangan ambil gambar, karena kehidupan kami cuma ada di perusahaan tambang’,” demikian Diana menirukan seruan pekerja tambang yang berada di dalam kapal. “Mereka bilang begitu karena rumah dan tanah mereka sudah habis terjual,” terang dia.

Menurut Diana, berdasarkan fenomena yang disaksikannya belakangan ini, kehadiran perusahaan tambang membuat hubungan sosial antar warga di pulau Bangka menjadi tidak harmonis,serta merusak hubungan keluarga karena meributkan uang.

Padahal, lanjutnya, setelah menjual tempat tinggal dan kebun, masyarakat sudah tidak bisa beli rumah dan tanah. Soalnya, kata Diana, harga tanah hanya Rp5ribu sampai Rp10 ribu per meter. “Kemudian, ketika pindah ke lokasi yang disediakan perusahaan tambang, kehidupan warga akan menjadi lebih susah. Pergi ke laut semakin jauh, sementara kebun sudah habis di jual. “

Karena itu, pihaknya akan terus berupaya menolak pertambangan di pulau tersebut dan menuntut pemerintah provinsi untuk segera menegakkan keadilan bagi warga pulau Bangka. “Tolong hargai putusan MA. Kami tidak mau pindah dari pulau Bangka, apapun yang terjadi. Walau nyawa jadi taruhannya,” demikian Diana berharap.

aktivitas PT MMP di Pulau Bangka, Sulut pada 12 April 2016. Foto : Facebook Save Bangka Island
aktivitas PT MMP di Pulau Bangka, Sulut pada 12 April 2016. Foto : Facebook Save Bangka Island

Sementara itu, Maria Taramen, aktivis Kaum Muda Pecinta Alam (KMPA) Tunas Hijau menyatakan, perusahaan tambang melakukan pembangkangan hukum. Ia menyayangkan, pemerintah seakan-akan membiarkan ketidakadilan terjadi di pulau Bangka. Sebab, sampai saat ini, ia tidak melihat kekuatan negara untuk menunjukkan kedaulatan dan keberanian menegakkan hukum.

“Intinya kami kecewa, sampai detik ini tidak ada tindakan apa-apa, dari aparat khususnya, untuk mencegah perusahaan ilegal itu tetap jalan di sana,” sesalnya.

Meski demikian, belakangan ini, warga dan aktivis yang menolak pertambangan di pulau Bangka memperoleh sedikit angin segar. Sebab, Vonny Aneke Panambunan, Bupati Minahasa Utara, telah menyatakan menolak aktivitas pertambangan di pulau tersebut. Bahkan, ia sempat menyurat ke gubernur untuk menyampaikan sikapnya.

Namun, masih dikatakan Maria Taramen, semenjak berlakunya UU No 1/ 2014, kewenangan untuk mencabut izin itu berada di tangan pemerintah provinsi. “Jadi yang berwenang untuk menyatakan perusahaan itu berhenti adalah gubernur. Tapi, sejauh ini, kami merasa lega karena Bupati Minut masih berpihak pada hukum dan masyarakat.”

Maria berharap, kedepannya pemprov Sulawesi Utara mau menghargai putusan Mahkamah Agung dan menyatakan PT MMP tidak boleh beroperasi lagi. Kemudian, pihaknya berencana menemui Olly Dondokambey, Bubernur Sulawesi Utara, untuk menyampaikan penolakan aktivitas pertambangan di pulau Bangka.

“Jangan biarkan negara kita yang katanya berdaulat dianggap remeh oleh perusahaan ilegal. Harusnya gubernur mengeluarkan SK pencabutan izin usaha pertambangan PT MMP,” tegas Maria.

Dalam berbagai permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat pulau Bangka, Maria berharap, perjuangan menolak pertambangan bisa menemukan bentuk-bentuk alternatif tanpa menggunakan cara-cara kekerasan. Namun mengedepankan jalan damai tanpa mengorbankan banyak pihak. “Kami berharap pemerintah bisa menghargai upaya-upaya sadar hukum masyarakat,” ujar Maria.

Perketat Perizinan

Olly Dondokambey, Gubernur Sulawesi Utara, sempat menegaskan akan lebih memperketat izin-izin pertambangan yang akan masuk di Sulawesi Utara. Namun, ia tidak secara detil menyinggung pertambangan di pulau Bangka.

“Kami menilai pertambangan tidak ada manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Jadi, bagi investasi pertambangan yang tak taat aturan, usahanya tak segan-segan akan ditutup,” tegas Olly Dondokambey seperti dikutip dari Manado Post, Jumat 15 April 2016.

Bangka merupakan sebuah pulau kecil di kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Luasnya diperkirakan hanya 3.319 hektar. Namun, perusahaan tambang mengantongi IUP yang mencapai 2.000 hektar atau lebih dari setengah luas pulau itu.

Sejak awal, warga menyuarakan penolakannya atas kehadiran perusahaan tambang. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari demonstrasi, membuat petisi online hingga menempuh jalur hukum. Pada 24 September 2013, Mahkamah Agung memenangkan gugatan warga. Selanjutnya, pada 4 Maret 2015, permohonan peninjauan kembali dari Sompie Singal, bupati Minut waktu itu, juga ditolak MA.

Kemudian, 14 Juli 2015, PTUN Jakarta Timur kembali memenangkan permohonan warga pulau Bangka. Saat itu, mereka menggugat SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3109/K/30/2014 mengenai izin produksi usaha pertambangan biji besi oleh PT Mikgro Metal Perdana.

Faktanya, berbagai keputusan hukum yang memenangkan warga pulau Bangka, tidak kunjung menghentikan aktifitas perusahaan tambang di pulau itu. Kini, warga kembali dihadapkan kegelisahan akibat kehadiran kapal pengangkut alat berat perusahaan tambang. Perjuangan warga pulau Bangka menolak pertambangan nampaknya masih akan berlanjut.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,