,

Opini: Indonesia Bebas Kabut Asap, Pekerjaan Rumah Jokowi di Tahun 2016

Presiden harus terus berada di garda depan untuk perang melawan kabut asap.

Jika ada pekerjaan rumah yang masih ada selama tahun 2015 bagi Presiden Joko Widodo, adalah menuntaskan persoalan kabut asap. Alih-alih selesai di tahun lalu, persoalan ini terus berlanjut. Sejarah mencatat kebakaran dan kabut asap yang terjadi di Indonesia merupakan yang terbesr sejak tahun 1997 yang lalu. Untuk saat ini kita dapat menarik nafas lega, namun apakah kabut asap akan menjadi mimpi buruk yang berulang lagi di tahun 2016?

Mirip kejadian di tahun 1997/98 kebakaran lahan gambut dan hutan saat ini dibarengi dengan fenomena alam el Nino, yang menyebabkan kondisi cuaca kering dan menghambat curah hujan. Tanpa mengecilkan upaya yang telah dilakukan pemerintah maupun lewat bantuan dari luar negeri, harus diakui kabut asap di Indonesia tahun ini baru selesai setelah hujan kembali mengguyur.

Kerugian akibat kabut asap yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015 telah berdampak multidimensi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan kerugian material hanya untuk provinsi Riau saja diperkirakan sekitar Rp 20 triliun.

Dampak kabut asap (dan indeks polusi udara terburuk) dirasakan pula oleh negara-negara tetangga, dianggap lebih buruk daripada yang telah terjadi pada tahun 2013. Namun, korban terdampak kabut asap terbesar adalah warga negara Indonesia sendiri.

Kerugian akibat asap tidak hanya dirasakan secara material. Kerugian imaterial seperti jatuhnya korban jiwa telah terjadi. Demikian pula terganggunya kesehatan warga akibat ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Asap juga telah mengganggu kesempatan jutaan siswa untuk bersekolah dengan normal.

Dampak jangka panjang kabut asap saat ini terhadap kesehatan jutaan warga masyarakat dan dampak potensi lost generation beberapa dekade mendatang akibat perkembangan siswa yang terganggu perkembangan fisik dan daya nalarnya karena terdampak kabut asap selama bertahun-tahun.

Intinya, dampak kabut asap telah merenggut kesempatan jutaan warga untuk hidup tenang dan damai, yang merupakan bagian terpenting dari hak asasi warga negara. Bagaimana hidup dan berusaha menjadi tenang, ketika hak menikmati oksigen dan udara bersih direnggut oleh asap kebakaran hutan?

Lahan gambut yagn terbakar di Jambi. Foto: Elviza Diana

Menyimak ke belakang, Presiden Jokowi boleh saja memiliki asa di awal tahun 2015 yaitu masalah kabut asap harus enyah dari Indonesia. Seperti disebutkan Presiden pada saat memberikan pengarahan di Markas Daerah Operasi Manggalan Agni, Pontianak pada bulan Januari 2015.

“Di Asean Summit, APEC, G-20, selalu disampaikan masalah asap. Saya tidak mau terus malu, harus ada yang bertanggung jawab,” jelas Jokowi saat itu. “Ini hanya persoalan mau atau tidak. Sistem sudah ada, pemantauan dan lokasi titik api sudah jelas, tinggal bagaimana menjalankannya.”

Menyalahkan dan menuding Presiden Jokowi dan kabinetnya tidak bertindak proporsional dalam menanggulangi permasalahan asap terjadi bukanlah hal yang bijak. Tata kelola hutan dan lahan gambut yang terlanjur rusak, dalam lingkaran sistem ekonomi politik yang koruptif dan manipulatif telah terjadi selama tiga puluh tahun lebih.

Kebakaran merupakan buah kebijakan masa lalu untuk melakukan konversi lahan gambut tanpa memperhitungkan masak-masak dampak yang terjadi.

Secara sistematis lewat proses perizinan yang penuh kolusi, jutaan hektar lahan hutan dibuka secara sistematis. Saat bonanza kayu selesai, masuklah perusahaan-perusahaan monokultur untuk mengusahakan kayu pulp dan perkebunan skala besar. Dalam ketergesaan jutaan lahan gambut dan rawa dikeringkan dan dibersihkan. Evaluasi kinerja dari pemilik konsesi pun sangat lemah di lapangan.

Di sisi lain, tata ruang kacau balau. Sengkarut sengketa lahan pun merajalela. Akibatnya puluhan ribu free rider melakukan pembukaan lahan skala kecil yang masif terjadi di tingkat tapak. Ekosistem gambut yang terlanjur kering, menjadi amat mudah terbakar ketika sistem pertanian adaptif tidak diperkenalkan. Hingga saat ini, api masih dianggap sebagai cara yang paling ampuh dan mudah untuk mengusahakan lahan.

Bom waktu itu meledak sekarang. Jutaan lahan terbakar, jutaan metriks ton karbon terlepas ke atmosfer. Ditambah dengan fenomena el Nino, skala masif kehancuran menjadi jauh lebih dahsyat. Jutaan warga akhirnya terpapar asap selama berbulan-bulan. Inikah fenomena yang terjadi terutama di provinsi sarat lahan konsesi.

Titik api yang ditunjukkan dari citra satelit NASA MODIS untuk periode 14-21 Oktober 2015 yang dipresentasikan oleh peta Global Forest Watch.
Arah angin seperti di wilayah terdampak kabut asap. Courtesy of Global Forest Watch

Tahun ini, kebakaran pun tidak hanya melanda wilayah-wilayah “yang secara rutin menjadi langganan” yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Selatan di pesisir timur Sumatera, serta Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur di Kalimantan. Tahun ini, titik-titik api dalam jumlah signifikan pun bermunculan di Indonesia bagian timur, bahkan di Papua. Berdasarkan citra satelit titik api di Papua ditemukan di wilayah yang sedang dibuka bagi lahan pertanian di wilayah Merauke.

Tidak dipungkiri pula, sumber api pun berasal dari pembukaan lahan skala mikro. Sebutlah, di Riau dan Jambi, okupasi lahan yang melibatkan okupan, yang mendapat restu dan perlindungan dari oknum pemda setempat, telah menjadi masalah serius baik yang terjadi di luar wilayah konsesi maupun kawasan hutan. Di beberapa provinsi lain, kawasan konservasi pun tak luput dari titik api masif.

Menghadapi para pelaku pembakaran lahan, penegakan hukum terasa lambat. Efek jera untuk menjerat pihak-pihak yang terlibat di dalam terasa mandek. Sistem hanya berlaku untuk para operator individual strata  bawah. Para pelaku di tingkat korporasi jarang terjamah. Di sisi lain hanya sanksi administratif yang dapat diberikan oleh kementerian.

Modus utama pembakaran hutan dan lahan tak lepas dari persoalan mencari rente. Lahan sengaja dibakar, untuk kemudian ditanami oleh tanaman perkebunan, terutama sawit. Satu hektar lahan yang telah dibakar dan siap ditanami oleh sawit akan naik signifikan harganya, daripada yang masih berbentuk belukar tua. Lahan bakaran yang ditanami sawit pada akhirnya akan siap untuk dijual kembali kepada investor.

Sumber masalah juga berasal dari regulasi yang ada. Ketika UU Perkebunan memberikan tafsir kabur, maka terbukalah kesempatan bagi perusahaan beritikad tak baik untuk mulai melakukan usaha hanya dengan bermodalkan hak guna usaha atau sekedar izin usaha. Disitulah, terdapat kesempatan untuk membakar lahan secara sengaja. Jargon yang tepat kiranya “bakar dulu lahannya, urusan lain belakangan”.

Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Barat. Kala gambut dibuka, kanal-kanal dibuat, ketika kemarau, potensi kebakaran sangat besar. Foto: Sapariah Saturi

Masalah tata kelola yang keliru ini, bukannya tidak disadari oleh Jokowi. Dalam kunjungan lapangannya ke Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, Presiden menginstruksikan agar perusahaan sawit PT Tempirai Palm Resources dicabut ijinnya. “Ini sudah keterlaluan. Hal ini harus menjadi perhatian perusahaan lainya,” jelas Presiden saat itu.

Presiden berhak geram dan marah. Di sisi lain, menurutnya, model pengelolaan lahan gambut haruslah adaptif. Alih-alih memblok air yang ada, gambut malah dikeringkan lewat model kanalisasi.

Padahal yang kita mau jangan kanalisasi, tapi bloking kanal. Bloking kanal itu untuk memelihara agar tetap ada air. Ada perbedaan kanalisasi dan bloking kanal,” jelas Presiden. “Bloking kanal itu, kita memblok airnya supaya tetap ada, supaya gambut ini tetap basah, itu yang pemerintah buat.”

Presiden pun menginstruksikan Menteri LHK untuk menyetop pemberian izin di lahan gambut. Termasuk izin-izin yang sudah terlanjut diberikan tetapi belum dibuka juga tak boleh dikelola. Instrumen kebijakannya, saat ini tengah disiapkan oleh Kementerian LHK.

Jika dari sisi administratif pemerintah sudah mulai bergerak, masalah riil dan tantangan terbesar adalah bagaimana memulihkan lahan gambut yang sudah terlanjur terus terbakar hingga saat ini. Dengan luas lahan gambut yang terbakar diperkirakan 2-3 juta hektar (setara dengan 5-6 kali luas pulau Bali), ini bakalan menjadi problem sendiri. Lahan gambut “tak bertuan” ini akan rawan terbakar lagi.

Asap pekat yang terjadi di Kalimantan Tengah. Dampak kabut asap menyebabkan kualitas udara yang buruk dan berbahaya bagi kesehatan jutaan warga. Foto: Jenito

Akan timbul serangkaian pertanyaan. Bagaimana tata kelola akan dilakukan? Siapa yang akan ditunjuk untuk menjadi pelaksananya? Siapa yang akan mengawasi? Bagaimana mekanisme pelibatan swasta dan masyarakat lokal dalam mengelola kawasan gambut?

Pertanyaan tersebut dapat terus berlanjut. Sementara di tengah situasi kompleks yang ada, Pemda hingga saat ini jujur diragukan kemampuannya untuk bertindak efektif dan taktis.

Di luar itu, peluang pendanaan sebenarnya tidalah sulit-sulit amat. Presiden sudah mengisyarakatkan bahwa dana bantuan asing seperti USAID maupun pendanaan dari Kerajaan Norwegia dapat dialokasikan untuk tujuan rehabilitasi gambut ini. Apakah Badan Restorasi Gambut yang akan dibentuk berjalan optimal nantinya?

Tahun 2016 merupakan tahun penentuan, apakah skema dan rencana kerja pemerintah akan berbuah demi perbaikan tata kelola lahan gambut yang ada.

Presiden sudah mengetahui pokok permasalahan yang ada. Dari sistem yang terlanjur terdistorsi, penuh dengan korupsi dan kolusi sejak awal proses pelepasan dan pemberian izin konsesi yang berlangsung dalam 30 tahun terakhir.

Saatnya Presiden menjadi panglima untuk memimpin penyelesaian masalah yang terus berulang ini. Cukuplah berteori, sekarang sudah waktunya implementasi. Seperti semboyan Presiden “kerja, kerja, kerja”.

Harapan publik Indonesia, tentunya sama dengan masyarakat internasional. Indonesia bebas kabut asap di tahun 2016. Selama masih ada rasa optimisme, harusnya halangan dapat diselesaikan. [op/ed]

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,