,

Skema Kemitraan yang Membuat Warga Desa Rempek Tersenyum

Dua orang paruh baya sibuk membalikkan ribuan biji kakao yang dijemur siang itu, di halaman depan rumah warga Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, NTB. Biji-biji kakao ini dijemur hingga kering sebelum dijual ke pengepul, atau pembuat bubuk coklat di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Itulah aktivitas warga Desa Rempek dalam mengolah kakao dari hutan tanaman produksi yang masuk wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat.

Selain kakao, masyarakat juga menanam kopi, durian, serta tanaman yang menghasilkan buah. Tanaman kayu atau tegakan juga ada seperti sengon, karet, dan gaharu.

Kasdi Irawan, warga Desa Rempek mengatakan, ia mendapat keuntungan dari menjual hasil tanaman bukan kayu. Sebut saja kopi, hasil panennya sudah dirasakan setiap tahun sejak delapan tahun lalu. Sedangkan kakao, Kasdi memanen dua kali setahun.

“Kalau kopi setahun sekali, sedangkan kakao  enam bulan sekali panen raya. Panen kopi Rp25 ribu per kilogram, serta kakao menghasilkan 400-500 kg untuk sekali panen. Belum lagi durian, vanili, dan gayam.”

Kasdi bersama 200 lebih masyarakat Desa Rempek mengikuti program Kemitraan Kehutanan. Ia memperoleh hak pengelolan lahan di hutan produksi dan hutan alam, namun wajib menyetor sebagian penjualannya kepada KPHL Rinjani Barat.

Tanaman kategori hasil hutan bukan kayu (HHBK) prosentase pembagiannya 90 persen untuk masyarakat dan 10 persen untuk KPHL Rinjani Barat. Sedangkan tanaman hasil hutan kayu (HHK) skema bagi hasilnya 75 : 25. “Ini sudah disepakati.”

Kasdi menuturkan, keinginannya bergabung dengan Kemitraan Kehutanan karena didasari konsep menguntungkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Selama ini, masyarakat hanya mengejar ekonomi, tanpa memikirkan bencana yang terjadi bila terus menebang atau merambah hutan. “Katakan saja 1.000 pohon ditanam dengan jarak 3×3 meter dalam satu hektar. Lima tahun kemudian bila dipanen per pohonnya Rp. 500 ribu, itulah pendapatannya.”

Awalnya, masyarakat tidak menerima program ini karena dianggap akan mengambil alih lahan garapan mereka. Penolakan terjadi 1996, bahkan pembibitan yang sudah dibuat dirusak. Masyarakat mulai menerima skema Kemitraan Kehutaan, setelah dilakukan sosialisasi dan edukasi. “Birokrasi di Kemitraan Kehutanan ini betul-betul dipangkas, seperti izin tebang cukup melalui koperasi ke KPH, tidak perlu ke menteri, makanya masyarakat mau,” ujar Kasdi.

Sarang madu lebah trigona yang dibudidayakan warga Desa Rempek, bantaun dari KPHL Rinjani Barat. Foto: Petrus Riski
Sarang madu lebah trigona yang dibudidayakan warga Desa Rempek, bantaun dari KPHL Rinjani Barat. Foto: Petrus Riski

Skema penyelesaian konflik

Kepala KPHL Rinjani Barat, Madani Mukarom mengatakan, terjadinya konflik lahan antara masyarakat dengan KPHL Rinjani Barat, menjadi dasar dijalankannya program Kemitraan Kehutanan. KPHL Rinjani Barat dipilih sebagai proyek percontohan penyelesaian konflik, sekaligus upaya rehabilitasi hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani hutan.

Sebelumnya, masyarakat mengelola kawasan tanpa izin, alasannya untuk pemenuhan ekonomi. Ini tak lepas kondisi mereka yang 70 persen merupakan golongan miskin, dengan kepemilikan tanah kurang dari setengah hektar.

Pembukaan kawasan meluas hingga 18.750 hektar, dengan jumlah 24.500 keluarga. Ini dipicu keluarnya sertifikat kawasan hutan di Rempek pada 1984 dengan beroperasinya HPH dan izin pemanfaatan kayu HTI tanpa memperhatikan kelestarian. “Pendekatan dan sosialisasi menjadi satu-satunya cara meyakinkan masyarakat untuk menerima program Kemitraan Kehutanan.”

Melalui program yang lahir melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 39 tahun 2013, KPHL Rinjani Barat berharap pengelolaan hutan dapat dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat. “Kami dorong dan rancang bahwa yang mengelola itu masyarakat, kita bangun koperasinya. Kami dengungkan HPH dan HTI milik rakyat, bukan investor besar.”

Targetnya, lahan kritis dan potensial kritis seluas 23.111 hektar dalam 10 tahun tertutup. Pengkayaan tanaman unggulan terus dilakukan, selain menanami dengan tanaman kayu. “Dari 70-100 pohon per hektar, akan ditambah hingga 700 pohon per hektar untuk memenuhi tutupan lahan ideal,” terang Madani.

Kepala Seksi Pengendalian dan Pemantauan Pengelolaan Hutan KPHL Rinjani Barat, Teguh Gatot Yuwono mengatakan, upaya menghijaukan kembali lahan yang gundul juga dilakukan melalui pengkayaan tanaman. “Masyarakat banyak yang minta karet, kita siapkan 55.000 bibit. Kami juga menyiapkan bibit sengon, rajumas, juga durian dan petai.”

Meski bukan reboisasi murni, pengkayaan tanaman merupakan upaya serius mengatasi lahan kritis. Dari target 1.987 hektar persebaran bibit di 2012, baru 275 hektar yang terealisasi. “Pengadaan bibit masih sangat kurang.”

Pembibitan sengon dan karet di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, NTB. Foto: Petrus Riski
Pembibitan sengon dan karet di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, NTB. Foto: Petrus Riski

Pemberdayaan masyarakat

Program Manager Sustainable Environmental Governance, Kemitraan, Hasbi Berliani menegaskan, program Kemitraan Kehutanan yang digagas pemerintah merupakan model yang dibangun untuk mengimplementasikan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 39 tahun 2013. “Lembaga Kemitraan menargetkan perluasan akses masyarakat dalam pengelolaan hutan.”

Di banyak lokasi, masyarakat yang berada di sekitar sumber daya hutan, tidak memiliki akses legal untuk mengelola hutan. Sementara, pihak luar malah memiliki hak. Ini yang menimbulkan kecemburuan dan memicu masyarakat melakukan kegiatan mengambil dan mengelola hutan  secara ilegal.

Hasbi menegaskan, kemudahan masyarakat memperoleh akses mengelola hutan untuk peningkatan kesejahteraan, akan mendorong upaya pelestarian hutan berbasis masyarakat. Selain itu potensi konflik antara masyarakat dengan pemerintah dapat dicegah, dengan menghadirkan solusi yang saling menguntungkan.

Disepakatinya skema Kemitraan Kehutanan oleh masyarakat, menjadi contoh penyelesaian konflik yang baik untuk daerah lain. Kesepakatan program di Rempek, kata Hasbi, yang pertama di Indonesia hingga mencapai naskah kemitraan, meski beberapa KPH lain mulai menginisiasi model seperti ini.

Direktur LSM Samanta, Dwi Sudarsono mengungkapkan, permasalahan yang terjadi di Rempek tidak lepas dari persoalan kemiskinan. Samanta mendorong upaya penyelesaian konflik, memperbaiki sumber daya hutan, dan memperkuat usaha ekonomi untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan yang dialami masyarakat. “Kalau hutannya baik, hasilnya juga dapat dimanfaatkan untuk membangun ekonomi berkelanjutan.”

Herman, Program Officer Samanta di NTB menambahkan, konflik lahan antara pemerintah daerah dengan masyarakat merupakan fakta yang banyak terjadi. Semuanya bermuara pada ekonomi atau kemiskinan. “Peluang pengelolaan hutan berbasis masyarakat merupakan solusi penyelesaikan konflik, karena instrumen hukum di tingkat nasional dan daerah sudah ada.”

Sekretaris Koperasi Kompak Sejahtera, Maidianto mengatakan, penanaman 100 hektar lahan menjadi awal dimulainya program Kemitraan Kehutanan. Keberadaan Koperasi Kompak Sejahtera yang merupakan perkumpulan masyarakat penggarap lahan, berkembang menjadi wadah resmi untuk melakukan perjanjian dengan KPHL Rinjani Barat. “Sekarang masih sosialisasi dan pemberdayaan. Kedepan, koperasi dapat menerima hasil lahan petani.”

Kasdi Irawan, yang juga anggota Koperasi Kompak Sejahtera, Divisi Budidaya menambahkan, keberadaan koperasi diharapkan dapat mengedukasi masyarakat yang belum tergabung dalam program Kemitraan Kehutanan. Bahkan, koperasi dapat menjadi media untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengolah dan memasarkan hasil hutan yang dimiliki, baik bentuk kayu maupun tanaman buah. “Intinya, bagaimana masyarakat dapat melestarikan kawasan sekaligus menjaga hutan lindung, yang tentunya untuk keuntungan masyarakat sendiri.”

Kepala Desa Rempek, Rinadim mengungkapkan, pemerintah desa segera menyusun Peraturan Desa atau semacam awik-awik, untuk menjaga dan melindungi hutan dari ancama pembabatan hutan dan pencurian kayu. Hal ini dilakukan agar mata pencaharian masyarakat tidak lagi terganggu, sehingga masyarakat dapat menggarap lahan dengan tenang dan memajukan perekonomian keluarga. Dibuatnya peraturan ini juga untuk mendukung perlindungan mata air yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat desa.

“Mata air di sini ada 13 titik, untuk air minum atau PAMDES ada 7 titik yang dimanfaatkan sebagai air minum. Kalau kemarau debitnya turun karena kayu yang besar telah dibabat pelaku illegal logging.”

Upaya menjaga hutan harus terus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, karena tindakan pencurian kayu atau penebangan pohon secara ilegal masih terjadi. Masyarakat yang sadar, akan melakukan apa saja guna menjaga lingkungan yang menjadi sumber kehidupannya.

“Kami telah membuat sabuk pengaman antara hutan lindung dan hutan produksi. Kami tarik garis ke bawah 200 meter, sebagai daerah pengelolaan khusus. Ini harus dilakukan, tidak ada jaminan hutan lindung tidak akan disentuh kalau tidak dijaga,” pungkas Kasdi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,