, ,

Makassar Green Food Festival 2015: Menghadirkan Pangan Lokal yang Hampir Hilang

Namanya beras buleng. Sekilas terlihat seperti beras biasa. Namun dari dekat terlihat butirannya sedikit lebih besar dan tak pipih seperti beras biasa. Konon beras ini hanya ada di kawasan Pegunungun Bowong Langi’, yang ditinggali komunitas adat Pattalassang. Tepatnya di Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Beras buleng ini adalah satu dari sekian produk pangan yang dipamerkan dalam Makassar Green Food Festival 2015, yang diselenggarakan oleh WALHI Sulsel bekerjasama dengan Sawit Watch, di Benteng Rotterdam, Makassar, Sulsel, Rabu (30/12/2015).

Menurut Syarif Untung, salah seorang petani yang membudidayakan jenis beras ini, alasan beras buleng tetap bertahan karena selama ini masih digunakan dalam ritual adat.

“Beras buleng ini harus ada dalam acara-acara ritual adat di kampung, selain jenis beras lain seperti ketan putih dan ketan merah, dan beberapa jenis beras lainnya,” katanya.

Tak banyak warga yang menanamnya karena proses pengolahan yang rumit. Dari sekitar 500 hektar sawah yang ada di Pattalassang, kini hanya sekitar 2 hektar saja yang ditanami jenis beras ini.

“Tak banyak yang mau tanam karena mesin gilingnya yang tak ada, tapi harus dibawa dulu ke kampung lain jauh. Prosesnya juga sulit, kalau beras mau dipisahkan dari tangkainya harus ditumbuk dulu, ditapis baru diolah pabrik,” tambah Syarif.

Meski memiliki proses yang rumit dan langka, dengan cita rasa yang lebih baik dari beras biasa, harganya ternyata tak jauh beda dari beras biasa, yaitu Rp8.000/liter. “Padahal beras ini rasanya jauh lebih enak, agak lembek dan bisa tahan hingga dua hari.”

Beragam jenis beras varietas lokal dari Kecamatan Rampi Luwu Utara dipamerkan Makassar Green Food Festival 2015. Di Rampi, sebagian besar warga merupakan petani tradisional yang mempertahankan padi varietas lokal. Foto : Wahyu Chandra
Beragam jenis beras varietas lokal dari Kecamatan Rampi Luwu Utara dipamerkan Makassar Green Food Festival 2015. Di Rampi, sebagian besar warga merupakan petani tradisional yang mempertahankan padi varietas lokal. Foto : Wahyu Chandra

Selain beras buleng dari Pattalassang, beberapa beras lokal juga dipamerkan. Ada beras kamba dari Kecamatan Rampi, salah satu daerah pegunungan yang hampir terisolir di Kabupaten Luwu Utara, Sulsel.

Seperti halnya beras buleng, beras ini juga berwarna putih dengan bulir yang agak besar. “Ini beras yang paling enak dan juga wangi. Ini berasa hanya ada Rampi,” ungkap Nur Hasnah, salah seorang petani dari Rampi yang memamerkan beras ini.

Di Rampi sendiri, sebagian besar masyarakatnya masih menanam padi dari varietas lokal, ditanam secara organik tanpa pupuk kimiawi dan pestisida. Ada juga beras merah yang banyak dicari orang karena khasiatnya, khususnya pada anak-anak balita.

Turut hadir dalam pameran pangan ini adalah petani dari Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS) Kabupaten Bulukumba, yang dalam dua tahun terakhir sukses mendorong pertanian organik.

Armin Salassa, salah satu pendiri KSPS, menjelaskan keanggotaan kelompoknya yang semakin meluas, dari awalnya hanya sekitar 70-an petani saja kini sudah mencapai sekitar 1000 petani, dengan hasil panen ratusan hektar.

“Di Desa Salassae saja kita ada 400 petani yang komitmen organik dan ini bertambah terus.”

Terkait kegiatan ini, Armin melihatnya sebagai sebuah upaya untuk merebut dan mempertahankan kedaulatan pangan dan petani.

“Kegiatan ini merupakan ruang membangun semangat kedaulatan. Kita lihat ada teman-teman dari NGO, petani, komunitas adat dan bahkan pemerintah. Ini adalah sebuah ruang yang diciptakan untuk menyambungkan persepsi dan pemahaman tentang kedaulatan pangan tersebut,” katanya.

Armin berharap keberadaan ruang ini bisa menjadi motivasi bagi seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, untuk tetap berjuang untuk menegakkan kedaulatan pangan di daerahnya masing-masing.

Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo melihat berbagai produk pertanian organik dari Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS) pada acara Makassar Green Food Festival 2015. KSPS kini memiliki anggota 1000 petani dengan hasil panen hingga ratusan hektar. Foto : Wahyu Chandra
Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo melihat berbagai produk pertanian organik dari Komunitas Swabina Pedesaan Salassae (KSPS) pada acara Makassar Green Food Festival 2015. KSPS kini memiliki anggota 1000 petani dengan hasil panen hingga ratusan hektar. Foto : Wahyu Chandra

Balang Institute dari Kabupaten Bantaeng, turut memamerkan produk pertanian olahan dari masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, di lereng gunung Lompobattang, Bantaeng.

Terlihat ada beberapa jenis kopi yang sudah dikemas secara modern, madu hutan dan kue-kue yang berasal dari umbi ganyong yang tumbuh subur di sekitar hutan.

Kemeriahan kegiatan ini dilengkapi dengan lomba masak menggunakan produk pangan lokal serta pameran foto.

Menurut Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel, kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya untuk mendorong agar pangan bisa terus dilindungi.

“Sebagaimana kita ketahui bersama salah satu ancaman adalah perubahan alih fungsi lahan yang membuat lahan-lahan produktif menjadi hilang, sehingga berbagai varietas lokal pun akan terancam hilang,” katanya.

Menurutnya, keberadaan varietas lokal ini harus dilihat sebagai bagian dari identitas daerah yang harus terus dipertahankan keberadaanya.

“Kita juga sangat mendukung upaya teman-teman dari Federasi Petani Sulsel yang kini sedang mengembangkan model pertanian alami yang ramah lingkungan, atau bagaimana masyarakat adat di Rampi dan Patalassang yang tetap konsisten mempertahankan sistem pertanian tradisional mereka. Cukup banyak masyarakat yang tetap mempertahankan keberadaan varietas lokal ini.”

Asmar selanjutnya menyatakan tekad Walhi untuk bersinergi dengan berbagai program pemerintah yang terkait dengan ketahanan pangan, yang dianggap bisa berdampak pada perlindungan ketahanan pangan di masa yang akan datang.

Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulsel, menyambut positif kegiatan ini yang dinilainya sudah sejalan dengan visi dan misinya selama ini.

“Bagi saya apa yang ada di pikiran Walhi juga ada di pikiran pemerintah selama ini. Selera lokal sangat kental dalam pikiran saya,” katanya.

Menurutnya, Indonesia adalah negara besar dengan potensi kekayaan yang sangat besar, yang hanya bisa disandingkan dengan negara-negara besar lainnya, seperti Amerika Serikat, negara-negara eropa, India dan China.

“Namun dengan semua potensi itu, negara kita hanya bisa eksis dan berdaulat jika mampu menjaga berbagai sumberdaya yang ada. Dengan kekayaan ini kalau tidak dijaga dengan baik maka bisa saja besok kita tidak akan lagi seperti sekarang ini.”

Menurut Syahrul, keberadaan gerakan-gerakan seperti yang dilakukan Walhi harus dilihat sebagai upaya untuk memproteksi dari pengaruh luar dengan kepentingan yang belum tentu memberi manfaat bagi Indonesia.

“Kenyataan sekarang, saya melihat banyak orang-orang merasa dirinya elit tapi justru mengundang pihak luar untuk menggarap Indonesia tanpa batas. Kadang saya berpikir kalau mau kaya cepat jual saja daerah kita ini. Tapi kan itu berarti kita kehilangan moralitas kebangsaan. Itu yang berbahaya kalau tidak dijaga.”

Sulsel sendiri, menurutnya memiliki banyak potensi tambang yang bisa diolah, namun ia tak pernah memberikan rekomendasi adanya industri untuk mengolah potensi-potensi itu.

“Saya selama tujuh tahun, bisa dicek, tak pernah mengeluarkan sebuah rekomendasi yang kemudian menjadi industri dengan mengahalalkan segala cara. Sulsel punya emas, tapi kalau itu dibuka maka habislah negeri ini, habislah sawah kita.”

Syahrul berjanji akan mendukung segala upaya dalam mewujudkan kedaulatan pangan, seperti yang diperjuangan Walhi dan Sawit Watch.

“Mari kita tandantangan MoU, yang mana yang harus kita proteksi. Kadang-kadang pemerintah tidak jago, jadi anda harus masuk ke dalamnya. Membangun itu jangan selalu dilihat dengan uang yang banyak, atau gedung-gedung tinggi. Membangun itu kalau kita mampu menjaga khazanah moralitas atas nama bangsa. Itu yang harus dipertahankan.”

Syamsu Rizal, Wakil Walikota Makassar, juga menyambut baik aksi yang dilakukan melalui Makassar Green Food Festival 2015 ini, meski ia menyayangkan tidak adanya sinergitas berbagai pihak yang terkait.

“Masalah kita selama adalah pelaksanaan kampanye kita yang tidak sinergi antara satu dengan yang lain, antara pemerintah dengan NGO.  Namun ini bisa menjadi tonggak. Ini menjadi gerakan bersama kita, mudah-mudahan sore ini kita bisa membangun komitmen dan semoga ke depan nanti kebijakan pemerintahan juga bisa mengadopsinya.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,