Koalisi: Perusahaan Kayu Pemegang SVLK Masih Banyak yang Langgar Aturan

Hasil penelusuran koalisi organisasi masyarakat sipil menemukan terjadi pelanggaran oleh perusahaan-perusahaan yang telah memiliki sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK) di beberapa daerah.  Kondisi ini pun diperparah dengan tata batas hutan belum selesai hingga belum ada kepastian kepemilikan.

Demikian kesimpulan pemantauan yang dilakukan oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Forest Watch Indonesia (FWI), Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan AMAN Maluku Utara yang melakukan studi di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara.

“Kami beberapa bulan terakhir memantau di Sumatera. Kami masih menemukan pelanggaran oleh perusahaan yang memiliki SVLK. Masih terjadi konflik tenurial, tak ada sosialisasi dan konsultasi menyeluruh dalam permintaan persetujuan masyarakat adat,” jelas M. Kosar, Dinamisator JPIK di Jakarta akhir Desember lalu.

Dia memaparkan sebagai contoh, ketidakpatuhan PT Toba Pulp Lestari (TPL) dalam SVLK. Perusahaan TPL di Simalungun Sumut tersebut mendapatkan SVLK yang diterbitkan PT Ayamaru Sertifikasi. PT TPL dianggap menebang dan merampas hutan kemenyan milik masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta.

Akibat dari konflik yang terjadi, warga lokal kehilangan sumber penghidupan. Temuan lain, PT TPL menebang di sepadan sungai dan area lindung dalam konsesi.

Perusahaan lain adalah PT Anindo Hutani Lestari (AHL), sebuah perusahan HTI di Nunukan, Kalimantan Utara yang membuka lahan gambut dalam. PT AHL mendapatkan SVLK dari PT Sarbi International Certification dengan predikat kinerja PHPL “baik” pada 2013 berlaku hingga 2018.

PT AHL dianggap merusak sempadan sungai yang menyebabkan kualitas air turun. Perusahaan ini dianggap telah menyerobot lahan masyarakat yang tidak melalui proses Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Dalam persyaratan mendapatkan SVLK, seharusnya hal ini tak terjadi. Untuk memperoleh legalitas, maka sumber kayu harus pasti berasal dari area yang tidak berkonflik maupun tidak merusak lingkungan.

“Saat sertifikasi ada kriteria syarat dan indikator oleh lembaga auditor yang tidak jalan sepenuhnya,” lanjut Kosar.

Temuan lain yaitu pada HPH PT Mohtra Agung Persada (MAP), sebuah HPH yang beroperasi di Halmahera Selatan dan Tengah. Perusahaan itu aktif beroperasi tetapi tak memiliki sertifikat legalitas kayu. Perusahaan ini juga terindikasi menebang di luar konsesi, pengiriman kayu tanpa sertifikat dan penggelapan hasil produksi.

“Mereka sudah beroperasi di pesisir, tak punya SVLK. Konversi hutan alam tanpa SVLK yang dilakukan MAP akan menimbulkan konflik dan dampak buruk bagi lingkungan,” jelas Mufti Bari, juru kampanye hutan FWI. “Pemantauan kami pada Agustus 2015, kayu-kayu bulat HPH MAP keluar dari pesisir Halmahera Tengah.”

Mufti mengatakan, Januari-September 2015, PT MAP mengirim kayu bulat ke Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Salah satu penerima kayu tersebut adalah PT Panca Usaha Palopo Plywood (PUP) di Luwu, Sulawesi Selatan.

Anehnya, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tak memperlihatan adanya kayu bulat asal Maluku Utara. Padahal PT PUP, sebuah industri kayu yang memiliki sertifikat legalitas kayu dari PT Mutu Agung Lestari, telah memasok kayu asal PT MAP kepada industri-industri kayu di Jawa Tengah.

Data realisasi rencana pemenuhan bahan baku industri (RPBBI) sampai November 2015, memperlihatkan PT PUP masih menerima kayu PT MAP sebanyak 10.155,11 meter kubik.

“Ini menunjukkan sistem pengawasan peredaran kayu bulat pemerintah lemah. Seharusnya RPBBI mampu menjaga hanya kayu-kayu sumber legal,” jelas Mufti. “Kayu-kayu ini pada dasarnya ilegal karena belum memiliki SVLK.”

Menurutnya, jika ada industri kayu besar di Sulawesi yang telah memiliki SVLK namun tetap menerima kayu dari perusahaan yang tidak memiliki SVLK maka perusahaan itu juga turut melanggar. Lembaga sertifikasi pun harus sesegera mungkin  melakukan audit khusus kepada perusahaan ber-SVLK yang menggunakan bahan baku tidak jelas.

Dia mendesak, pemerintah memperketat pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan pelanggar SVLK sekaligus menghentikan konversi hutan alam dan lahan gambut.

“Kami mendesak pemerintah menyelesaikan tumpang tindih lahan yang menimbulkan konflik. Juga memfasilitasi penyelesaian konflik.”

Di sisi lain, Mike Arya Sari, Penanggung Jawab Database JPIK menyebutkan keluhan mereka terhadap lembaga sertifikasi yang tidak berbuah respon.

“Mereka malah balik tanya untuk minta dikirimi bukti yang lebih banyak dari laporan kita. diakui memang kekurangan pengawas independen karena banyaknya konsesi,” jelas Mike. Menurutnya sistem harus diperbaiki, tidak hanya pengawasan terhadap perusahaan ber-SVLK namun juga kepada pihak yang memberikan sertifikat.

Dia pun menyoroti perihal sulitnya memperoleh informasi terhadap berbagai aktivitas perusahaan. Keterbukaan informasi dalam pengelolaan hutan, sebutnya merupakan kunci agar masyarakat dapat turut mengawasi mana aktivitas legal dan ilegal.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,