Beginilah Produksi Biogas dengan Biaya Murah di Kesenet

Desa Kesenet yang terletak di Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) cukup terpencil. Sama seperti desa-desa lainnya di Banjarnegara, masyarakatnya menggantungkan hidupnya dengan menggarap perkebunan yang ditanami salak. Sebagai usaha sampingannya, mereka memelihara ternak, karena lingkungan sekitar tersedia banyak pakan. Ternak yang dipelihara di antaranya adalah kambing dan sapi.

Yang membedakan antara Kesenet dengan desa lainnya adalah penanganan limbah kotoran ternaknya. Kalau desa lainnya, kotoran ternak hanya dibuang atau maksimal hanya dijadikan pupuk saja, namun di desa setempat kotoran diolah menjadi biogas dan limbah padat biogas baru dipakai untuk pakan ternak.

Adalah Teguh Haryanto, 36, pemuda desa yang memulai percobaannya tahun 2013 silam. Ide itu muncul, sesaat setelah ia pulang mengikuti pelatihan di Malang, Jawa Timur (Jatim). Sebab, dalam pelatihan tersebut Teguh diberi materi mengenai bagaimana mengolah kotoran menjadi biogas.

“Saya sangat bersemangat. Namun, di sisi lain juga ragu-ragu. Sebab, dalam pelatihan itu dikatakan jika untuk menghasilkan biogas membutuhkan minimal 40 ekor kambing atau 10 ekor sapi. Apalagi untuk membuat instalasi biogas dananya besar, bisa mencapai Rp30 juta hingga Rp40 juta,”ujar Teguh.

Ia berpikir, rasanya kalau dengan teori yang ada pada pelatihan tersebut, tidak memungkinan mengolah biogas di Desa Kesenet. Sebab, rata-rata warga hanya memiliki setidaknya lima ekor kambing atau dua ekor sapi saja. “Tidak mungkin juga menyatukan seluruh ternak dalam satu kawasan untuk kemudian diambil kotorannya dan diolah menjadi biogas. Sebab, ternak tersebut dimiliki oleh masing-masing warga. Apalagi kalau mengingat dana, sangatlah besar, tidak mungkin warga membiayai hingga Rp30 juta,”ungkapnya.

Daripada mengutuk kondisi dan tidak berbuat apa-apa, Teguh lebih memilih melakukan percobaan di luar teori yang ada. “Saya tetap nekad membuat instalasi biogas. Namun, saya mencoba dengan membuat secara sederhana,”ujarnya.

Misalnya saja, kalau seharusnya digester harus dengan cor beton atau fiber, maka dia gunakan plastik saja. Ia membuat lubang ukuran lebar 0,5 meter (m) dan panjang 3-4 m. Lubang tersebut kemudian dilapisi plastik sebagai penampung kotoran yang telah dicampur dengan air dan dekomposer. Bahan kotoran tidak banyak, hanya satu ember kotoran kambing yang dicampur dua ember air untuk kambing. Kalau kotoran sapi, karena lebih lembek, maka satu ember kotoran dicampur satu ember air.

Setelah 10 hari dibiarkan, ternyata gas mulai mucul. Gas yang muncul dialirkan melalui lubang kecil yang dibuat di atas plastik kemudian masuk ke dalam pipa paralon untuk mengalirkan gas. Pipa untuk mengalirkan gas dialirkan ke dalam tiga drum yang diisi air. Pada bagian atasnya, diberi ember dalam kondisi terbalik, sebagai indikator untuk mengetahui gas keluar. Kalau embernya naik berarti ada gas.

Pada awalnya, memang dapat keluar gas, tetapi warnanya masih kemerahan dan mengeluarkan aroma tak sedap. “Setelah dicek, ternyata kandungan uap air masih tinggi. Makanya, untuk menetralkan gas dan menyerap airnya, dipakai kapur tulis yang dimasukkan dalam botol sebagai penyerapnya. Dari situlah, gas baru dialirkan ke kompor dan apinya berwarna biru dan tak berbau,”katanya.

Teguh mengungkapkan coba-coba yang dia lakukan memakan waktu sekitar lima bulan. Ia juga cukup kaget, karena hanya dengan bahan baku kotoran yang sedikit, mampu menghasilkan biogas yang cukup besar. “Barangkali karena memakai plastik, sehingga seluruh mikroorganisme mampu bekerja secara maksimal. Kalau dengan beton, mikroorganismennya masuk ke dalam pori-pori beton,”ujarnya.

Inovasi yang ia lakukan membuat dia meraih penghargaan sebagai penyuluh tingkat provinsi dan nasional dari Kementrian Pertanian. “Memang, setelah saya berhasil mengolah kotoran kambing dan sapi menjadi biogas, saya meminta warga khususnya pemuda Desa Kesenet agar ikut serta. Mereka sangat antusias, karena untuk membangun instalasi pengolahan biogas hanya membutuhkan dana sekitar Rp3 juta hingga Rp4 juta. Apalagi, kalau warga hanya memiliki tiga ekor kambing atau satu ekor sapi sudah cukup memproduksi biogas,”ujar Teguh.

Warga di Desa Kesenet, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, Jateng. memperlihatkan nyala kompor yang bersumber dari biogas dengan bahan baku kotoran kambing dan sapi. Foto : L Darmawan
Warga di Desa Kesenet, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, Jateng. memperlihatkan nyala kompor yang bersumber dari biogas dengan bahan baku kotoran kambing dan sapi. Foto : L Darmawan

Salah seorang warga Desa Kesenet, Jiman, 36, mengatakan kalau dia mengikuti jejak Teguh, karena menguntungkan. Misalnya, kata Jiman, dirinya tidak lagi membeli elpiji 3 kilogram (kg) karena telah tergantikan biogas. Padahal, setiap bulan, sebelum ada biogas, dia membutuhkan setidaknya tiga tabung atau sekitar Rp60 ribu kalau diuangkan. “Sekarang sudah tidak lagi membutuhkan elpiji, karena telah ada biogas,”jelas Jiman.

Selain itu, lanjut Jiman, limbah padat hasil olahan menjadi biogas, dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik. Kebetulan warga di sini kebanyakan mempunyai lahan budidaya tanaman salak, sehingga limbah padat tersebut dapat dimanfaatkan. Sebelum ada limbah padat yang dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik, dia harus mengeluarkan harga Rp4 juta per tahun untuk 600 pohon salak. “Jadi, kami memiliki keuntungan ganda, karena selain menghemat karena tidak mengeluarkan uang membeli gas, warga juga tidak lagi membeli pupuk untuk tanaman salak,”tambahnya.

Kepala Desa Kesenet Sarno menambahkan dengan beralihnya warga menggunakan pupuk organik dari limbah padat hasil olahan biogas, maka tanah milik warga akan lebih subur. “Kami berharap, inovasi yang dilakukan oleh Teguh akan semakin banyak diikuti oleh warga. Sampai sekarang saja, tercatat sudah ada 42 rumah yang memproduksi biogas berbahan baku kotoran sapi atau kambing,”ujar Sarno yang desanya mendapat penghargaan Desa Mandiri Energi 2015 untuk tingkat Jateng.

Sarno mengungkapkan bahwa desa terus mendorong agar warga yang memiliki ternak kambing dan sapi segera saja mengolah kotoran namun menjadi biogas. “Kami ingin, desa ini benar-benar menjadi mandiri energi dengan mengolah kotoran kambing dan sapi menjadi biogas,”tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,