, ,

Menilik Bahasan Revisi UU Kehati (Bagian 1)

Desakan revisi UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, sudah lama. UU ini dinilai tak relevan lagi dan banyak kelemahan, dari soal keterwakilan ekosistem kawasan konservasi rendah sampai sanksi pidana sangat rendah hingga tak menimbulkan efek jera bagi pelaku. Gayung bersambut. Tahun ini, usulan revisi masuk program legislasi nasional (prolegnas). Dalam pembahasan, revisi UU ini akan digabung dengan RUU Kekayaan Genetik, yang sudah lama mandeg. Kedua usulan terangkum dalam RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (RUU Kehati).

Indra Exploitasia Semiawan, kala masih Kasubdit Sumberdaya Genetik, (kini Kepala Pusat Keteknikan Kehutanan dan Lingkungan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, surat keputusan penyusun draf RUU ini dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Anggota tim penyusun, katanya, dari KLHK, akademisi, praktisi hukum sampai organisasi masyarakat sipil.

“Kami harus menyampaikan ini ke DPR. Kami belum tahu apakah jadi inisiatif DPR atau pemerintah. Masih ada pembahasan lagi,” katanya di Jakarta, Selasa (12/1/16).

Indra juga tim penyusun draf RUU ini mengatakan, substansi RUU Kehati berbicara soal perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan. Di setiap isu itu, menyangkut ekosistem, spesies dan genetik.

Potensi sumber daya genetik Indonesia, katanya,  bisa ditemui dalam tumbuhan, satwa, mikroba dan pengetahuan tradisional tersebar dalam kawasan konservasi dan luar kawasan. “Potensi pencurian sumber daya genetik di Indonesia, cukup rentan, tetapi belum ada regulasi yang mengatur.”

Data KLHK hingga 2014, banyak peneliti asing ke Indonesia dan meneliti satwa liar tetapi aturan untuk itu belum memadai.

Pemanfaatan sumber daya genetik banyak untuk keperluan penelitian namun tanpa sengaja bisa merusak sumber daya genetik.

KLHK, katanya, sudah mengatur permohonan izin penelitian, syarat masuk kawasan dan pengambilan sampel. “Coba dibangun sistem. Tapi tetap perlu ada peraturan lebih jelas dalam bentuk UU.”

Untuk sumberdaya genetik ini, katanya, di KLHK adalah satwa liar. Dulu, Kementerian Kehutanan ada Subdit Konservasi dan Genetik. “Tapi genetiknya gak pernah diapa-apain. Memang belum ada regulasi. Sekadar nama. Sekarang, setelah ada perubahan nomenklatur, ada Subdit Konservasi Sumberdaya Genetik. Sistem coba kita bangun.”

Kebun sawit yang membabat hutan ribuan hektar. Padahal, lahan ini bukan tak mungkin menyimpan keragaman hayati tinggi. Perlindungan terhadap keragaman hayati juga perlu ditingkatkan dalam revisi UU Kehati. Foto: Save Our Borneo

Masalah lain, Indonesia, katanya, menjadi titik transit perdagangan satwa ilegal. Perdagangan satwa liar dilindungi marak hingga perlu ada regualasi kuat.

Selama ini, kata Indra, pemerintah hanya bekerjasama dengan Bea Cukai dan belum efektif.

Indra juga menyoroti kegiatan medis dalam upaya konservasi. Selama ini, banyak satwa liar masuk rehabilitasi mendapatkan diberikan vaksin. Sekilas, tak ada yang salah tetapi sangat berisiko.

“Misal, pemberian vaksin H5N1 pada burung. Ketika dilepasliarkan, burung terlihat sehat dan layak untuk dilepasliarkan ke alam. Darah burung jelas berbeda dengan burung lain di habitat asli. Bisa jadi, virus H5N1 banyak terkandung dalam darah hingga berpotensi menularkan virus pada burung lain.” Bahasan soal ini, katanya, akan masuk dalam RUU.

RUU ini juga membahas pengaturan pemanfaatan, isu pemanenan satwa di alam, komersialisasi untuk budaya religi juga pemanfaatan spesies yang dikontrol. “Selama ini belum ada.”

Ruang lingkup RUU ini terhadap seluruh spesies baik di darat maupun perairan. Untuk status, tak hanya berdasarkan dilindungi dan tak dilindungi. “Jadi lebih pada terancam punah, terancam punah tapi dikontrol dan bagaimana populasi itu dipantau.”

Banyak kelemahan

Direktur Program Tropical Forest Conservation Action Sumatera-Kehati, juga tim penyusun draf RUU, Samedi, mengatakan, soal kawasan ekosistem, UU ini masih banyak kelemahan. Ada beberapa kondisi terkini di level nasional maupun internasional sudah tak relevan hingga  Indonesia perlu menyesuaikan UU ini.

Terlebih, Indonesia sudah meratifikasi Convention on Biodiversity (CBD) yang menyatakan, keragaman hayati itu salah satu pilar evolusi dan menjaga sistem penyangga kehidupan bumi.

Pemberian izin tambang beroperasi di hutan bahkan di taman nasional, apakah tak mengancam keragaman hayati? Ini juga perlu diatur ketat dalam revisi UU Kehati. Foto: Ayat S Karokaro

Dalam CBD, keragaman hayati di level genetik spesies dan ekosistem. Masa depan manusia, katanya, tergantung pada keragaman hayati. Jadi, negara-negara yang mempunyai keragaman hayati tinggi akan mempunyai posisi tawar tinggi.

“Di level ekosistem, permasalahan dalam UU ini keterwakilan ekosistem kawasan konservasi rendah. Masalah efektivitas pengelolaan dan good governance pengelolaan itu sendiri,” katanya.

Pembicaraan mengenai keterwakilan ekosistem mengemuka pada 2010. Saat itu Kementerian Kehutanan, KKP dan beberapa organisasi masyarakat sipil (NGO) mengadakan analisis dan menemukan kesenjangan antara keterwakilan kawasan konservasi dalam melindungi ekosistem-ekosistem penting di seluruh Indonesia.

Contoh, di Sumatera, hanya 9,92% ekosistem penting di kawasan konservasi. Sisanya, berada di luar kawasan.“Ini salah satu gap. Juga di pulau-pulau lain. Jawa sudah jangan kita bicarakan. Mungkin ekosistem paling penting rusak. Relatif bagus Kalimantan dan Papua. Masih menyisakan ekosistem bagus. Hanya masih sama dengan permasalahan tadi, keterwakikan eksosietem dalam kawasan konservasi rendah.”

Lagi pula, kata Semedi, kalau lihat sejarah pembentukan kawasan konservasi, sebagian besar di dataran tinggi. Padahal, dataran-dataran rendah juga ada kawasan keragaman hayati jauh lebih tinggi. Hal ini, katanya, penting menjadi perhatian. “Jangan sampai ekosistem dengan keragaman hayati tinggi di luar konservasi, beralih fungsi.”

Cagar biosfer, sebagai sistem atau konsep antara kawasan konservasi dan di luar kawasan, katanya, bagus kalau diterapkan di wilayah yang memang memerlukan. Misal, Taman Nasional Gede Pangrango, sebagai core zone dikelola bersama-sama di luar kawasan. Jadi, dalam RUU coba memasukkan mengenai pengelolaan cagar biosfer, termasuk peran pemda dan masyarakat sekitar.

“Ini untuk menjamin konektivitas dari kawasan itu berfungsi seperti apa seharusnya. Kita tak hanya menetapkan kawasan konservasi tanpa membina bagaimana efektivitas dan konektivitasnya. Bagaimana pengelolaan masih kita pertanyakan. Selama ini masih banyak pelanggaran seperti perambahan. Kita tak tahu sebanyak apa kawasan konservasi berkurang atau fungsinya berubah.”

Menurut dia, mengatur luar kawasan konservasi bisa lebih rumit karena menyangkut kepemilikan lahan. “Tapi harus diatur agar managemen hutan produksi, perkebunan, pertambangan dan lain-lain tetap menjaga keragaman hayati.”

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) juga tim penyusun draf RUU Kehati, Raynaldo Sembiring, menyoroti aspek hukum.

Dia mengatakan, banyak masalah teridentifiasi dalam UU itu yang akan diperbaiki. “Penegakan hukum RUU Kehati agak berkembang dibandingkan UU Nomor 5/1990. Dulu, hanya pidana dan banyak batasan. Di RUU Kehati kita coba memperluas. Aspek penegakan hukum terdiri dari tiga hal, administrasi, perdata dan pidana.” Secara umum, katanya, beberapa norma dalam RUU Kehati identik dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sanksi administrasi, dalam RUU Kehati terbagi dalam empat tingkatan: teguran, paksaan pemerintah, pembekuan hingga pencabutan izin.

“Kalau ada pelanggaran sangat krusial tak perlu lagi mulai peringatan, pemaksaan, pembekuan hingga pencabutan izin. Bisa jadi kumulatif. Bisa mengkombinasikan paksaan pemerintah dengan pembekuan izin atau dengan pencabutan izin. Obyeknya adalah izin,” katanya.

KHLK menyegel lahan perusahaan yang terbakar. Dalam revisi UU Kehati juga dirancang kepada pihak-pihak yang menyebabkan kerusakan berpotensi menghilangkan atau merusak keragaman hayati bisa kena sanksi (administrasi, perdata dan pidana). Foto: Save Our Borneo

Untuk sanksi perdata cukup progresif dengan mengatur hak prosedural dan substansial. Hak prosedural berbicara soal standing suatu pihak dalam mengajukan gugatan.

Hak substansial, katanya, soal ganti rugi dan tanggungjawab mutlak. “Apa kesalahan yang dilakukan satu pihak, misal, pengusaha, ada kesalahan dan kausalitas perbuatan melanggar hukum bisa digugat ganti rugi. Tapi harus memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, kerusakan lingkungan dan hubungan kausalitas.”

Ketika masyarakat kena dampak perbuatan merugikan dalam isu keragaman hayati, juga bisa menggugat. “Misal, gugatan class action. Atau organisasi lingkungan hidup karena tindakan dan kebijakan tak tepat, bisa menggugat untuk pemulihan fungsi keragaman hayati. Ada gugatan pemerintah. Nanti ganti rugi bukan untuk pemerintah tapi perbaikan keragaman hayati yang hilang.”

Dalam sanksi pidana, ada perluasan kewenangan penyelidikan. PPNS KLHK sejajar hingga bisa penyidikan tanpa perlu berkoordinasi dengan Polri. “Perluasan alat bukti agar semua ancaman pidaan bisa dituntut.”

Dalam RUU ini pula, bicara pertanggungjawaban pidana korporasi. Jadi, korporasi bukan hanya struktural sesuai AD/ART, juga pengendali korporasi. “Yang mengendalikan perusahaan yang merugikan ekosistem walaupun tak ada dalam struktur korporasi bisa dihukum.”

Juga soal pengenaan sanksi pidana minimum dan maksimum. Ada kombinasi sanksi pidana. Hal ini, katanya, menjawab kritikan UU lama ancaman pidana sangat rendah hingga celah bagi pengadilan memberikan hukuman rendah. “Kita coba mengkombinasikan itu.”

Masalah lain, ketersediaan sumber daya manusia. Contoh, UU PPLH memandatkan ada pejabat pengawas tetapi jumlah minim Kondisi serupa, katanya, jangan sampai terulang dalam RUU Kehati.

RUU ini, katanya, bukan untuk memenuhi mimpi-mimpi, setidaknya menjawab perilaku-perilaku faktual di lapangan.

Ahli Kehutanan IPB Hariadi Kartodiharjo mengusulkan, perlu pemetaan keragaman hayati Indonesia hingga memudahkan tak tumpang tindih UU lingkungan yang sudah ada.

“Pemetaan berguna menyatukan gap antara norma dan fakta. Bila fakta di lapangan hasil pemetaan menemukan suatu kawasan tidak layak lagi disebut zona inti konservasi, strategi pendekatan juga berbeda. Satu lagi, melihat relasi masyarakat dan bisnis dalam pemanfaatan sumber daya genetik,” katanya.

Keberhasilan UU ini, katanya, kala bisa membalikkan pikiran masyarakat bahwa konservasi tak harus di kawasan khusus. Bahwa penyelamatan keragaman hayati bisa dilakukan masyarakat biasa.

Harry Alexander dari Universitas Islam Nasional Syarif Hidayatullah mengatakan, UU 5/1990 belum memasukkan pilar ketiga konvensi keragaman hayati meskipun Indonesia sudah meratifikasi Protokol Nagoya menjadi UU pada 2013.

“Isu pembagian keuntungan adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya genetik adalah tujuan konvensi yang banyak ditolak negara maju. Dalam RUU ini, seharusnya menambah pendekatan aspek pembagian keuntungan dari unsur hak kekayaan intelektual. Lantaran sumber daya genetik tak bisa dilepaskan dengan hak kekayaan intelektual masyarakat,” katanya.

Peneliti dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB Mahmud Tohari mengatakan, banyak peneliti asing memanfaatkan sumber daya genetik lokal yang berkualitas tinggi. Sedang, dalam batang tubuh RUU masih kental tentang sumber daya genetik liar. Padahal, sumber daya genetik lokal berkualitas tinggi perlahan sudah dikembangkan negara lain. Contoh, embrio sapi Bali dibeli Malaysia atau tanah garapan di Cilembu, disewakan Jepang untuk penelitian ubi.

Dia menyarankan, RUU Kehati harus mampu melindungi sumber daya genetik lokal di masyarakat karena terancam punah kala tak digunakan lagi. Kondisi ini terjadi, katanya, kala masuk budidaya impor lebih murah atau asing menguasai teknologi budidaya genetik lokal. “Masyarakat enggan memanfaatkan genetik lokal, hingga perlahan menghilang.”

Peneliti dari Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara mengatakan, mekanisme pengawasan dan kelembagaan keragaman hayati belum ada.  Bersambung

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,