,

Apa yang Dilakukan Pemerintah Sumsel Atasi Karthutlah 2016?

Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi sorotan nasional maupun international terkait bencana kebakaran hutan dan lahan gambut pada 2015 lalu. Apa yang akan dilakukan provinsi yang akan menjadi penyelenggara Asian Games 2018 ini agar kebakaran hutan dan lahan gambut (karthutlah) tidak berulang lagi?

“Kita akan menjalankan sejumlah program, salah satunya Desa Peduli Api (DPA). Program ini menjadikan desa sebagai pencegah utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Pada tahap awal, program ini akan berjalan dari sekarang hingga Juni 2016,” kata Najib Asmani, staff ahli Gubernur Sumatera Selatan bidang lingkungan hidup, Sabtu (16/01/2016).

Desa yang ditetapkan sebagai DPA ini, kata Najib, merupakan desa yang selama ini berada atau rawan dengan bencana kebakaran hutan dan lahan gambut. “Jumlahnya 88 desa,” katanya.

Ke-88 desa ini tersebar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sebanyak 41 desa yang berada di tujuh kecamatan; Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) sebanyak 20 desa di tiga kecamatan; Kabupaten Banyuasin sebanyak 8 desa di lima kecamatan; serta Kabupaten Ogan Ilir (OI) sebanyak 18 desa di tujuh kecamatan.

“Desa yang mampu mencegah kebakaran akan mendapatkan penghargaan dari pemerintah,” kata Najib.

Penyebab karhutlah

Menurut Najib, berdasarkan analisis bencana karhutlah di Sumatera Selatan ada beberapa faktor penyebabnya. Kurangnya sumber air tanah, sungai dan water tabel di parit drainase; tata air lanskap belum terintegrasi, terbatasnya akses menuju sumber api, tidak adanya green belt pemecah angin; terbatasnya sarana prasarana pemadam kebakaran yang dimiliki perusahaan; terbatasnya sumber data manusia regu kebakaran terlatih di lapangan; belum optimalnya partisipasi masyarakat lokal, serta belum efektifnya kelembagaan peduli api di desa atau dusun merupakan serangkaian permasalahan yang terjadi.

Sementara lahan yang terbakar tersebut, mulai dari lahan konsensi hutan tanaman industri (HTI), perkebunan sawit, lahan rakyat berupa padi sonor atau sawah tadah hujan, hutan negara, serta lahan konflik atau belum dikelola.

“Meski api padam saat musim penghujan namun persoalan tidak berhenti. Berbagai persoalan baru muncul,” kata Najib.

Misalnya, lahan konsensi HTI yang dibekukan pemerintah atau lahan konflik yang terbakar ditanami padi sonor, pematokan lahan atas nama pribadi, tumpukan kayu gelam di pinggir sungai yang diambil dari lokasi kebakaran, kayu-kayu bekas kebakaran belum dibersihkan, hingga munculnya sejumlah titik panas di kawasan hutan negara karena kembali ditumbuhi belukar.

Sumber: Aliansi Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) Sumsel

Beragam solusi

Selain menjalankan program DPA, kata Najib, ada program lain yang dijalankan pemerintah Sumatera Selatan. Terkait lahan konflik, akan dilakukan penentuan tapal batas konsensi HTI, desa, kecamatan atau plasma perkebunan, pendataan pemanfaatan lahan rakyat yang berada di kawasan hutan produksi, kesepakatan lahan kelola masyarakat dan tanaman pokok tata ruang HTI, dan percepatan program plasma perkebunan yang belum terealisir.

Terkait sarana prasana pemadam kebakaran, akan dilakukan percepatan audit kepatuhan, tata air lanskap yang terintegrasi, serta green belt dan menara api.

Selanjutnya, dilakukan pemberdayaan masyarakat yang melibatkan sejumlah organisasi non-pemerintah, seperti percepat kegiatan kelola sosial HTI dan CSR perkebunan, terintergrasinya kegiatan pemerintah dengan lembaga donor international, serta perhutanan sosial, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan.

Sementara kelembagaan atau aspek legal, akan dilakukan manajemen lanskap, desa peduli api, review perizinan lahan konflik, serta pembuatan peraturan gubernur atau peraturan daerah terkait karhutlah.

“Semoga dengan program ini Sumatera Selatan akan bebas dari bencana Karhutlah di 2016 dan di masa mendatang. Selain itu, masyarakat menjadi sehat, sejahtera, dan lingkungan terjaga,” ujar Najib.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,