,

Walhi: Eksosistem Karst Indonesia Terancam Industri Semen

Ekosistem karst di beberapa daerah di Indonesia kini terancam oleh kehadiran industri tambang untuk produksi semen. Pemerintah dianggap turut bertanggung jawab melalui sejumlah kebijakan ekonomi yang mengedepankan pembangunan infrastruktur, termasuk kebutuhan proyek nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Di sisi lain, walaupun perencanaan pembangunan meningkat tetapi data dari Asosiasi Semen Indonesia, hingga tahun 2016 kapasitas produksi semen melebihi kebutuhan. Sehingga muncul dugaan kuat perluasan eksploitasi produksi semen tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional seperti Amerika Serikat, Eropa dan China sebagai negara pengimpor semen tertinggi di Asia.

Demikian sejumlah hasil Konsolidasi Nasional untuk Kelestarian Kawasan Ekosistem Karst, yang di selenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, melalui jumpa pers di Makassar, Senin (11/01/2016).

Konsolidasi nasional ini dihadiri oleh beberapa dewan daerah Walhi, antara lain Walhi Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.

Selain semen, kawasan karst juga dilirik untuk industri non semen seperti marmer, pupuk dan bahan untuk kosmetik. Pesatnya laju tambang industri semen dinilai mengancam keberadaan kawasan ekosistem karst yang selama ini menjadi salah satu sumber kehidupan karena fungsi ekologi dan hidrologinya. Tingginya ancaman ekosistem karst memerlukan kebijakan perlindungan dari pemerintah.

Di Sulsel, menurut Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel, dominasi penguasaan karst oleh industri tambang besar seperti Tonasa, Bosowa dan PT Conch harus dilihat sebagai upaya pemerintah menaikkan produksi semen nasional.

“Padahal selama ini terjadi pemanfaatan non-ekstraktif ekosistem karst oleh masyarakat untuk pangan, budidaya peternakan dan perikanan, kebun yang sangat produktif. Bahkan masyarakat dan kawasan karst sudah hidup berdampingan selama ratusan tahun yang lalu,” katanya.

Di Kabupaten Maros, menurut Asmar, yang merupakan salah satu wilayah karst di Sulsel, sampai saat ini telah ada 34 izin usaha pertambangan (IUP).

“Alokasi ruang yang disediakan untuk wilayah izin usaha pertambangan mencakup 19.66 hektar,” tambahnya.

Tidak hanya mengganggu ekosistem karst, keberadaan tambang juga berpotensi merusak situs purbakala yang ada di sekitarnya dan aktivitas ekonomi masyarakat.

“Di Leang-leang, Maros yang memiliki situs purbakala berusia puluhan ribu tahun, terdapat sekitar delapan usaha tambang, yang berpotensi merusak situs yang ada. Belum lagi dampaknya pada lahan-lahan produktif masyarakat yang terganggu secara fisik ataupun merampas ketersediaan sumber daya air yang banyak digunakan dalam industri ini,” jelas Asmar.

Tidak hanya merusak ekosistem karst, keberadaan industri semen juga dianggap berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat sekitar kawasan karst, seperti di kawasan karst Maros, Sulawesi Selatan. Foto : Wahyu Chandra
Tidak hanya merusak ekosistem karst, keberadaan industri semen juga dianggap berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat sekitar kawasan karst, seperti di kawasan karst Maros, Sulawesi Selatan. Foto : Wahyu Chandra

Asmar berharap pemerintah tidak lagi memperpanjang izin tambang, dengan memperhatikan kondisi kerusakan yang kini banyak terjadi.

“Dengan tingkat ekspansi yang semakin meningkat sekarang ini, akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya permanen dan tak bisa diperbaharui. Sekali rusak makan selamanya akan rusak. Kita mengharap tidak ada lagi izin penambangan baru. Biasanya kan kalau semen masuk, maka usaha tambang lain juga akan masuk. Ini harus dihentikan, jika kita ingin mempertahankan ekosistem karst yang ada.”

Kondisi tak jauh beda terjadi di di Sumatera Barat, dimana kawasan karst sepanjang Bukit Barisan telah siap dieksploitasi melalui 15 IUP, yang terdiri dari 13 izin operasi produksi dan 2 izin eksplorasi, dengan total luasan 12.186 hektar.

“Perusahaan yang mendominasi luasan eksploitasi adalah PT Semen Padang, PT Asia Fortuna dan PT Indonesia Camcrown,” ungkap Uslaini, Direktur Walhi Sumbar, yang mewakili Walhi region Sumatera.

Di Kalimantan, masuknya sejumlah perusahaan semen dinilai akan menjadi masalah baru.

“Kalimantan dikenal kaya dengan batu bara yang terbesar di Indonesia, lalu ada hutan yang kemudian tergantikan oleh sawit. Setelah sawit lalu ada karst. Ada sekitar 4 juta hektar karst di Kalimantan yang sebagian besar di Kalimantan Timur, yang terancam dengan masuknya perusahaan-perusahaan semen dari Cina ataupun lokal,” ungkap Dwito Rasetiandy, Direktur Walhi Kalimantan Selatan.

Di Kalsel yang memiliki luasan ekosistem karst 312.394 hektar, yang kerap disebut dengan karst Meratus, telah dibebani dengan adanya 28 IUP operasi induk dan 47 IUP untuk eksplorasi. Pemain utama dalam industri tambang di Kalimantan Selatan ini adalah PT Indocement Tunggal Perkasa (ITP) dan PT Conch South Kalimantan Cement.

Sedangkan di Kalimantan Timur, dari total kawasan mencapai 3,5 juta hektar yang terdiri dari 2,1 juta hektar karst Sangkulirang-Mangkalihat di Kabupaten Berau dan Kutai Timur.

“Saat ini telah ada 17 konsesi perizinan di kawasan eksostem karst Sangkulirang-Mangkalihat. Ancaman keberlanjutan ekosistem karst di daerah juga diperparah dengan adanya ancaman ekspansi industri semen oleh PT Semen Bosowa dengan luas konsesi 1.800 hektar dan PT Semen Kalimantan yang menguasai setidaknya 5000 hektar konsesi di kawasan ekosistem karst,” tambah Dwito.

Halik Sandera, yang mewakili Walhi Region Jawa, mengungkapkan bahwa kondisi ekosistem karst di Pulau Jawa semakin parah tingkat kerusakannya dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan kawasan yang muncul di Jawa Tengah seperti kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) dinilai bukan sebagai upaya pemerintah melindungi kawasan eksositem karst, tetapi sebaliknya malah menjadikan industri semen semakin terlegitimasi.

Di Yogjakarta, yang kawasan ekosistemnya menyebar ke selatan Pulau Jawa membentang sampai ke Jawa Tengah seperti karst Gunung Sewu, telah memperoleh beban izin eksplorasi seluas 10.057,79 hektar, yang dimiliki oleh perusahaan asal India Ultratech Mining Indonesia pada tahun 2011.

“Begitu juga di Magelang ada PT Margola yang memperoleh izin menambang di kawasan karst walau bukan untuk indusri semen tapi industri marmer.”

Di Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Pati, Rembang, Wonogiri dan Kebumen, saat ini masyarakatnya sedang melakukan perlawanan terhadap usaha eksploitasi tambang semen.

“Di Jawa Tengah grup-grup besar saling memperebutkan wilayah konsesi karst yang semakin menyempit akibat kebijakan pemerintah, sejak terbitnya keputusan Menteri ESDM No 17 tahun 2012 tentang KBAK.”

Pembentangan bendera merah putih dan spanduk tolak pabrik semen di Goa, Pegunungan Kendeng Utara. Foto JMMPK Rembang
Pembentangan bendera merah putih dan spanduk tolak pabrik semen di Goa, Pegunungan Kendeng Utara. Foto JMMPK Rembang

Di Jawa Timur, masalahnya lebih pada bekas lubang-lubang tambang yang sampai saat ini belum direklamasi, sehingga menyebabkan semakin menyempitnya lahan pertanian.

“Meski demikian, praktek pertambangan, khususnya di Kabupaten Tuban masih tinggi, seperti hadirnya PT Holcim Indonesia, PT Uniman, PT Abadi Cement dan PT Semen Indonesia,” tambah Halik.

Halik juga menyampaikan kondisi yang tidak jauh beda di Jawa Barat, dengan tingkat kerusakan yang sama, seperti yang terjadi di Kabupaten Sukabumi, dengan adanya industri semen PT Semen Jawa, juga mengakibatkan kerusakan yang tinggi.

Mahnur Satyahaprabu, Manager Hukum Eksekutif Nasional Walhi menyayangkan kebijakan tata kelola karst yang menurutnya sampai saat ini tidak konsisten.

Regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah dinilainya terlalu permisif, dengan memberikan begitu banyak izin industri pertambangan di ekosistem karst. Padahal menurut UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ekosistem karst merupakan ekosistem penting yang harus dilindungi.

“Seolah pemburu rente, daerah pun ikut-ikutan membela kawasan karst untuk industri tambang dengan mengeluarkan izin yang tidak sesuai dengan peruntukkan lingkungannya. Di Kalimantan Timur, misalnya, sampai sekarang belum ada Perda RTRW, tapi izin sudah dikeluarkan. Padahal Perda ini adalah instrumen penting untuk mencegah kerusakan.”

Menurutnya, rusaknya ekosisitem karst juga bisa dilihat di struktur pemerintahan dimana kawasan karst sampai saat ini masih di bawah penguasaan Kementerian ESDM, sehingga dilihat hanya nilai ekonomi semata.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,