, ,

Nasib Warga Desa Supul dalam Cengkeraman Perusahaan Tambang Mangan

Lahan warga Desa Supul terampas SMR, mata air dan sungai tercemar. Mereka terancam longsor dan banjir. Sehari-hari hidup warga terintimidasi aparat TNI pula.

Lahan pertanian warga terampas PT Soe Makmur Resources (SMR) di Desa Supul, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten Timur Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT). Lubang-lubang tambang bertaburan, sungai sampai mata air tercemar. Warga protes.

Sherly, warga Desa Supul mengatakan, lahan empat hektar untuk tanam jagung, padi, dan kacang tanah dirusak alat berat SMR. Dia menolak pertambangan mangan karena merusak lahan dan sumber air.

“Kami tolak tambang, mereka tetap rampas lahan kami. Perusahaan bawa TNI intimidasi kami,” katanya, ketika dihubungi Mongabay, Kamis (28/1/16).

SMR masuk sekitar 2008 ke Desa Supul. Izin Kementerian Kehutanan baru 7 November 2011. Luas areal 4.555 hektar, sekitar 695,5 hektar hutan produksi. Kala itu, perusahaaan memulai usaha dengan membeli batu mangan warga. Belakangan, perusahaan mensyaratkan jual-beli batu tak kiloan tetapi kubikan. Sekitar satu tahun, warga merasa dirugikan dengan sistem pembelian itu.

Selain SMR, ada juga penadah bersedia membeli batu mangan Rp1.500 perkg. SMR melarang penadah batu mangan ini. Alasannya, yang berhak membeli hanya SMR karena memiliki izin di kawasan itu. “Penadah dianggap melanggar aturan pertambangan batu mangan karena tidak punya IUP.”

Masyarakat merasa tak puas dengan sistem perusahaan, mereka aksi pemblokiran jalan mengklarifikasi sistem pembelian batu mangan. Setelah ada kejelasan pembelian dan kontrak kerja perusahaan membeli batu mangan dengan harga yang menguntungkan warga.

Tak berlangsung lama, kala terjadi pergantian manajemen baru, kebijakan perusahaan berubah. Pada 15 Agustus 2015, manajemen baru mengundang warga dan aparat enam desa wilayah tambang dihadiri Dinas Pertambangan NTT, Kapolres TTS, Dandim TTS, Camat Kuatnana dan Camat Amanuban Tengah. Dalam sosialisasi, SMR menekankan bumi, air dan segala terkandung didalamnya milik negara.

“Jika alasan mengambil lahan kami menggunakan Pasal 33 UUD’45, hapus saja pembukaan konstitusi. Tambang tak mensejahterakan kami, tapi memiskinkan,” kata Sherly.

Polisi mengamankan perusahaan kala warga memblokir jalan tambang. Foto: Jatam
Polisi mengamankan perusahaan kala warga memblokir jalan tambang. Foto: Jatam

Senada dikatakan Soleman Nesimnasi, warga Desa Supul. Dia tak bisa lagi menggarap lahannya seluas 3,5 hektar. Soleman menggugat SMR. Kepemilikan tanah Soleman diperkuat putusan tetap Mahkamah Agung 30 April 2012 dengan nomor perkara 2229 K/Pdt/2011 dengan ketua majelis Dr. Mohammad Saleh. Namun, tanah Soleman masih digarap perusahaan.

Kondisi tambah rumit. Ketidaksetujuan dengan kesepakatan manajemen baru SMR yang akan menyewa lahan warga Rp100.000 per hektar perbulan, berujung intimidasi. Perusahaan, kata Soleman, bersama TNI berpakaian preman membuat pemilik lahan takut. Warga melapor pemerintah desa untuk mengklarifikasi. Pemanggilan pemerintah desa, tak dihiraukan perusahaan.

Hingga 9 September 2015, perusahaan mengutus dua karyawan SMR, Yusuf Betty dan Yeter Selan. Mereka mengatakan, perusahaan menawarkan Rp50 juta untuk lahan warga sebagai penawaran terakhir.

“Bapak bersedia terima upah silakan, tidak terimapun perusahaan mau melakukan kegiatan penambangan di lahan milik bapak,” kata Soleman, menirukan.

Pada 14 September 2015, perusahaan meyerobot tanah Chornelis Betty, dengan kawalan TNI dari Kodim TTS. Chornelis tak bisa berbuat apa-apa hanya melaporkan penyerobotan ke pemerintah desa.

Pemerintah desa meminta perusahaan menghentikan tambang di lahan Chornelis. Perusahaan mengatakan pemerintah desa tak punya wewenang menghentikan tambang sebagai perusahaan berijzn resmi. Yang berwenang, Gubernur NTT.

“Kemarin pengacara perusahaan bilang tetap akan tambang lahan warga hingga izin habis. Kami sudah lapor ke DPRD, kepala dinas, Gubernur tapi semua diam.”

Warga sudah merasakan dampak buruk tambang. Puluhan kali mereka melaporkan pencemaran limbah ke pemerintah, Badan Lingkungan Hidup dan legislatif. Tidak ada respon. Bahkan 30 September 2015, Soleman melapor ke Polres TTS tentang penyerobotan lahan dan pencurian mangan warga oleh perusahaan. Belum ada tindakan meskipun bukti sudah jelas. “Berulang kali kami melapor, tak ada respon. Kami memutuskan memblokir jalan tambang,” kata Soleman.

Lubang-lubang tambang hasil dari operasi SMR. Foto: Yustinus Dharma, Walhi NTT
Lubang-lubang tambang hasil dari operasi SMR. Foto: Yustinus Dharma, Walhi NTT

***

Rabu, (27/1/16), pukul 08.00, warga desa menduduki jalan tambang. Mereka membawa pohon dan menanami lokasi tambang. Mereka dihadang petugas keamanan perusahaan. Terjadi pemukulan oleh keamanan perusahaan terhadap warga dan jurnalis dari VictoryNews.

Yustinus Dharma dari Walhi NTT yang mendamping warga kepada Mongabay, Kamis (28/1/16) mengatakan, Rabu siang datang ratusan TNI dari Kodim TTS. Mereka mengintimidasi warga agar meninggalkan lokasi pertambangan. Kendaraan milik Pendeta Yos Manu dari Geraja Masohi Injil Timor (GMIT), dirusak aparat.

“Hari ini warga kembali menduduki lokasi tambang. Intimidasi terus terjadi,” katanya.

Operasi SMR, katanya, telah mencemari sumber air warga, tercatat lebih 20 mata air tercemar lumpur tambang dan pencucian mangan. Belum lagi, bahaya longsor dan banjir bandang yang mengancam perkampungan warga akibat perubahan bentang alam masif dampak pertambangan.

“Gubernur dan kepala dinas terkait jangan diam. Cabut IUP SMR karena jelas merampas lahan warga, merusak lingkungan dan hutan.”

Mikael Peruhe, Koordinator Advokasi Justice, Peace, and Integration of Creation-Ordo Fratrum Minarum mengatakan, kala warga aksi, TNI bersama polisi memaksa mereka keluar lokasi.

“Terjadi kekerasan. Tak hanya fisik juga verbal, kata-kata umpatan kepada tokoh agama yang menggerakkan aksi. Pemukulan terhadap mahasiswa dan perusakan kendaraan wartawan lokal dan pendeta terjadi.”

TNI, katanya, tak hanya mengamankan lokasi pertambangam, juga berkeliling perkampungan agar warga tak melawan kehadiran perusahaan. “Ini bagi saya intimidasi luar biasa pada masyarakat. Bahwa perusahaan hadir, masyarakat tak mendapatkan apa-apa. Mudaratnya lebih banyak daripada keuntungan. Lebih baik izin dicabut,” katanya.

Warga menduduki lahan mereka yang dirampas SMR. FotoL Jatam
Warga menduduki lahan mereka yang dirampas SMR. FotoL Jatam

Kehadiran SMR, juga menimbulkan kegaduhan dan konflik keluarga. Pemilik lahan yang dipakai SMR, diklaim orang lain yang dekat dengan perusahaan, dengan mengatakan lahan milik mereka.

“Jadi ada perkelahian antarkeluarga. Pola ini saya rasa dimana-mana perusahaan lakukan. Tidak hanya di Soe. Masih ada satu dua hektar lagi milik warga lain juga tak mengizinkan pertambangan mangan. Sekarang jadi pertambangan SMR,” katanya.

Konflik horizontal antara warga pro dan kontra juga terjadi. Masyarakat pro pertambangan SMR, mereka yang bekerja di perusahaan.

Mikael mengatakan, SMR merugikan masyarakat sekitar. Sebelum berganti manajemen baru, perusahaan sepakat membeli batuan mangan warga. Perjanjian hanya berjalan setahun.

Dia mengatakan, lahan pertanian warga 287 hektar terdampak penambangan sejak 2008 berupa kolam galian, jalan tambang, embung, washing plant, settling pond danlain-lain, belum reklamasi.

Warga, katanya, pernah tuntut reklamasi 2013. Perusahaan janji reklamasi 2014, tetapi tak ada. Dinas Pertambangan NTT membiarkan, malah sibuk membantu SMR sosialisasi agar masyarakat menerima sewa lahan tawaran SMR.

Bahkan, katanya, SMR membangun washing plant besar yang tak tertuang dalam Amdal. Awalnya, penambangan mangan disepakati sistem semi mekanik, berubah menjadi mekanik penuh tanpa meminta persetujuan Amdal.

Untuk memenuhi kebutuhan air washing plant mangan, katanya, SMR membangun embung urugan tanah besar dengan daya tampung 230.000 meter kubik, di Sungai Oehonis tanpa izin masyarakat, Dinas Pekerjaan Umum. Embung setinggi 12 meter ini menutupi lahan pertanian masyarakat. Bahkan embung beberapa kali retak dan diperbaiki. Kala hujan lebat berisiko kebocoran dan runtuh.

“Pencemaran lingkungan berupa debu sepanjang jalan tambang di permukiman, dan lokasi penambangan dekat permukiman. Pencemaran dikeluhkan tidak digubris SMR.” Masyarakat, katanya, kerab memblokade jalan tambang di permukiman dan meminta perhatian perusahaan. “Masyarakat diancam oknum apabila menghalang-halangi usaha penambangan bisa pidana maksimal 10 tahun penjara.”

Ki Bagus Hadikusumo, Manajer Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menjelaskan, sistem sewa lahan merugikan masyarakat pemilik lahan yang sebelumnya mendukung dan menikmati sistem bagi hasil produksi mangan.

Aksi warga bersama mahasiswa menduduki lahan milik mereka di TTS, Nusa Tenggara Timur. Foto: Yustinus Dharma, Walhi NTT
Aksi warga bersama mahasiswa menduduki lahan milik mereka di TTS, Nusa Tenggara Timur. Foto: Yustinus Dharma, Walhi NTT

Kesepakatan awal, hak pemilik lahan Rp200.000/ton dan pemilah (buruh tambang) Rp.200.000/ton, dan dana masyarakat desa Rp.50.000/ton. Pemilik lahan satu hektar memperoleh bagi hasil produksi 500-10.000 ton produksi mangan per hektar, dan melibatkan buruh pekerja hingga memiliki pencaharian. Perubahan komitmen, katanya, merampok hak pemilik lahan dan masyarakat. “Dengan sewa Rp100.000 perhektar perbulan termasuk seluruh tumbuhan, tak mungkin pemilik lahan mencukupi biaya hidup,” kata Bagus.

Belum lagi soal reklamasi. Warga meminta reklamasi tak digubris. Selama i ni, tak ada perencanaan reklamasi dan tak ada pengawasan reklamasi oleh pemerintah. “Apabila biaya reklamasi Rp200 juta perhektar, biaya reklamasi Rp57, 400 miliar sebagai jaminan reklamasi wajib disetorkan ke pemerintah.”

Untuk itu, katanya, Jatam bersama Greenpeace, KontraS dan JPIC-OFM mendesak dari berbagai rentetan kekerasan dan intimidasi, baik oleh preman maupun aparat negara, harus menjadi perhatian serius pemerintah. Negara, katanya, harus hadir sebagai representasi kedaulatan rakyat, bukan pelinndung dan pelayan korporasi.

“Berikan jaminan kepada masyarakat, baik individu maupun kelompok, yang berjuang untuk keselamatan lingkungan dan penegakan HAM. Buat regulasi tegas mencegah penggunaan aparat negara untuk kepentingan korporasi.”

Mongabay, sudah mencoba menghubungi Kepala Dinas Pertambangan NTT, namun tak mendapat tanggapan. Begitu juga konfirmasi kepada SMR, sampai berita ini turun belum juga ada tanggapan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,