, ,

Mengajak Mencintai Desa (Bagian 1)

“Desa Ku yang kucinta….pujaan hatiku….tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku. Tak mudah kulupakan…tak mudah bercerai…selalu ku rindukan, desaku yang permai…”

Tiga kali lagu “Desaku yang Kucinta” ciptaan L Manik didendangkan dalam kesempatan berbeda di konferensi mini Homecoming for Upcoming, di Dusun Kelingan, Desa Caruban, Kecamatan Kandangan, Temanggung, 8-10 Januari lalu. Lirik sang penyanyi, menggugah ingatan peserta akan desa permai, tempat banyak orang menitipkan rindu.

Acara ini menyambut International Conference on Village Revitalization (ICVR) II di Ato, Jepang, September 2016. Singgih Susilo Kartono, desainer penerima beberapa penghargaan internasional lewat karya radio kayu “Magno” dan penggagas ICVR mengatakan, konferensi ini dua tahun sekali, pertama di Indonesia, berikutnya di luar negeri, tak boleh tempat sama.

Beberapa pembicara hadir seperti Singgih S Kartono, Gede Kresna, Muh Darman, Wilfrid A Wasa, Budi Faisal, Lisa Virgiano, Lavinia Elysia, Dwi Utami, dan Sutji Shinto. Dari Jepang Fumikazu Masuda, dan Asuka. Sekitar 50 orang. Mereka dari organisasi sipil, mahasiswa, peneliti, desainer, dan praktisi lingkungan.

Bahasan antara lain tentang disain berkelanjutan, Spedagi, pertanian organik, pengalaman kembali ke desa, desa bambu, kopi dan kehidupan desa, serta pertanian padi di Kalimantan.

Penyelenggaraan sengaja di desa, jauh dari hiruk pikuk kota. Peserta menginap di homestay yang didesain unik di tengah kebun kopi dan tepi sawah, dengan konsumsi dalam besek terbuat dari bambu pengganti kotak nasi. Meski di desa, mini konferensi praktis lebih sering menggunakan Bahasa Inggris, selain Bahasa Indonesia dan Jepang. Tak ada pemisah antara lokasi acara di rerumpunan bambu dengan rumah-rumah warga. Sesekali petani melintas pulang menyunggi rumput, dan kokok ayam terdengar bersahutan.

Fumikazu Masuda, profesor Tokyo Zokei University, berpendapat meski di desa dan memakai beragam bahasa internasional, forum terbuka justru menjadi kekuatan penentu.

“Konferensi ini mungkin sangat terbatas untuk (warga) lokal Indonesia karena kendala bahasa, tapi ini terbuka. Bisa jadi sedikit mengerti Inggris, lebih banyak mengerti bahasa Jawa. Tidak mengapa. Orang yang mengerti bahasa Inggris bisa menceritakan kepada orang lain,” katanya.

Konferensi dilaksanakan di tengah rerumpunan bambu. Foto: Nusawantoro
Konferensi dilaksanakan di tengah rerumpunan bambu. Foto: Nusawantoro

Penjelasan itu sekaligus menjawab pertanyaan soal bagaimana menyebarkan gagasan bersifat lokal, agar berdampak luas. Fumikazu menawarkan langkah disingkat SLOC (small, local, open, dan connected).

Baginya, kecil justru kekuatan. Dia mencontohkan, minuman terkenal berkarbonasi kebanyakan orang tidak tahu apa kandungan dan diproduksi di mana. Bandingkan dengan sepeda bambu Spedagi ciptaan Singgih, produksi terbatas, memakai perajin lokal, namun jutaan orang tahu proyek ini berkat internet.

“SLOC, ini kata kunci abad 21,” katanya meyakinkan. Fumikazu terlibat dalam International Conference of Design for Sustainability (ICDS) sejak 1993, dengan menggandeng 40 universitas di seluruh dunia. Dia pakar disain industri dan menggagas disain berkelanjutan. Fumikazu banyak meneliti eco-design.

Singgih berpendapat, gerakan ini memang keluar dari pusat. Membangun kampung halaman, katanya, adalah membangun kehidupan sendiri. Pencarian panjang bentuk kehidupan nyaman, bertumbuk bahwa desa bisa memberi segalanya. Desa, katanya, sanggup menawarkan kehidupan lebih baik bagi manusia dan alam dibanding kota.

“Saya menemukan ketika membuat aktivitas di desa, saya merasa berguna untuk orang lain. Itu kesenangan luar biasa,” katanya.

Singgih merasa menjadi orang beruntung. Dia merasa berkewajiban membagikan keberuntungan itu kepada orang lain. Caranya, mengajak membangun kembali kehidupan desa.

Gerakan memindahkan aktivitas dari pusat ke daerah menjadi semangat ICVR. Diskusi tentang revitalisasi desa tak selalu harus di Jakarta, hotel berbintang, dengan menu makanan mewah. Cukup di tempat terbuka, suasana desa, dan memakai konsumsi berbahan lokal.

“Saya bermimpi suatu saat ICVR ketiga tidak di Jawa. Bisa di Sulawesi, atau Flores,” katanya.

Pembuatan radio kayu Magno karya Singgih Susilo Kartono. Foto: Nuswantoro
Pembuatan radio kayu Magno karya Singgih Susilo Kartono. Foto: Nuswantoro

Tantangan

Singgih mengatakan, mengajak warga desa menyadari kekuatan lokal dan segenap potensi terkadang tak mudah. Misal, soal penggunaan jalan trasah (jalan dengan pengerasan batu kali), kata Singgih, lebih pas dibangun di desa. Kini, jalan trasah sulit ditemui di desa. Jalan banyak dilapisi aspal. “Memang nyaman mengendarai sepeda motor atau mobil di jalan mulus. Kenyataan ini membawa konsekuensi lain. Lalu lalang sepeda motor dan mobil makin banyak membawa polusi udara dan suara. Tak terhitung kecelakaan lalu lintas.”

Keunggulan jalan trasah, katanya, memanfaatkan bahan lokal, kuat, dan mampu menyerap air. Jalan trasah memaksa kendaraan bermesin melambatkan laju dan mempertebal kohesivitas warga. “Pengerjaan gotong royong, dan memperkuat bangunan sosial warga. Jalan trasah itu indah,” kata Singgih. Dia bersama Tri Wahyuni, istrinya, dan para relawan banyak mengerjakan kegiatan bertema lingkungan.

Tantangan lain, katanya, seringkali warga tak bisa menangkap substansi gagasan. Jadi, perlu pendekatan khusus dan kesabaran membawa mereka nyaman dengan suasana baru, kemudian menjelaskan gagasan.

“Kita tidak bisa berkomunikasi langsung dengan masyarakat. Kita harus melingkar, membawa rasa dulu ke mereka.”

Seringkali warga desa dijangkiti sikap pragmatis, konsumtif, dan materialistis. “Mau serba cepat, mudah, dan memberi keuntungan ekonomi. Akibatnya gagasan bagus belum tentu terwujud gampang,” katanya.

Singgih menunjuk papringan atau lahan yang ditumbuhi pepohonan bambu (pring dalam bahasa Jawa). Sebelumnya, papringan hanyalah kebun bambu tak terawat, gelap, dan dijauhi anak-anak. Kini, papringan jadi public space unik milik warga desa.

Oleh Singgih lokasi itu ditata sedemikian rupa hingga menjadi indah. Tanah diperkeras dengan trasah dan semen. Anak-anak kecil kini bisa bermain sepeda. Warga juga bisa mengadakan rembug desa, latihan menari, pentas musik, atau rebana. “Soal tempat, sebenarnya saya pingin mereka dengan senang hati meminjamkan karena saya berusaha membuat lebih baik. Ternyata harus menyewa.” Bersambung

Homestay Omah Kelingan, yang berada di tengah-tengah kebun kopi. Ia menjadi tempat menginap para peserta konferensi. Foto: Nuswantoro
Homestay Omah Kelingan, yang berada di tengah-tengah kebun kopi. Ia menjadi tempat menginap para peserta konferensi. Foto: Nuswantoro
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,