Studi: Indonesia Memiliki Skor Rendah dalam Praktek Pengelolaan Kawasan Lindung

Selain Indonesia, sebagian besar kawasan lindung di Tiongkok, India, dan Filipina pun dinilai berskor rendah atau dinilai tidak efektif.

Selama beberapa dekade terakhir, jumlah kawasan lindung di hutan tropis semakin bertambah, baik dalam jumlah dan luasnya. Namun pertanyaannya, bagaimana kontribusi kawasan lindung (di Indonesia dikategorikan sebagai kawasan konservasi) dalam turut mengurangi deforestasi?

Menurut sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di PLoS ONE, kawasan lindung di daerah tropis membantu memperlambat hilangnya tutupan hutan, namun kinerja mereka bervariasi.

Negara-negara seperti Australia, Afrika Selatan, Meksiko, Panama dan Thailand memiliki performa pengelolaan kawasan lindung terbaik, demikian hasil kesimpulan dari penelitian University of Leeds Inggris. Sebaliknya, negara-negara seperti Indonesia, Tiongkok, Honduras, India, Papua Nugini, Venezuela dan Filipina memiliki pengelolaan kawasan lindung yang buruk.

“Sebelumnya ada sejumlah studi untuk melihat efektivitas kawasan lindung,” jelas Benediktus Spracklen, peneliti dari University of Leeds menyebutkan kepada Mongabay.

“Ini adalah studi pertama yang menggunakan data resolusi tinggi untuk melihat hilangnya hutan-hutan di seluruh daerah tropis. Secara khusus kami membandingkan efektivitas kawasan lindung di seluruh benua dan negara-negara yang berbeda.”

Kawasan lindung di hutan tropis, termasuk di Indonesia mencakup taman nasional, cagar alam dan suaka margasatwa yang penting dalam konservasi hutan. Namun, efektivitas mereka sering diperdebatkan.

Untuk mengetahui apakah kawasan lindung berkontribusi dalam memperlambat deforestasi di daerah tropis, Spracklen dan timnya menggunakan data satelit resolusi tinggi. Tim menganalisis sejauh mana hilangnya hutan untuk 3.376 kawasan hutan lindung tropis dan subtropis di 56 negara yang tersebar di empat benua, selama periode 2000 sampai 2012.

Indeks kawasan lindung untuk 56 negara yang distudi. Image from Spracklen et al, 2015.

Tim menemukan bahwa cadangan hutan secara keseluruhan, tropis dan subtropis dengan lereng curam dan ketinggian yang lebih tinggi melindungi hutan yang lebih baik. Hal ini kemungkinan besar karena medan yang sulit dan aksesibilitas hutan yang rendah. Di luar itu, dari 1.804 kawasan lindung yang tidak memiliki keuntungan topografis curam, ternyata masih berkontribusi dalam memperlambat deforestasi, meski dalam tingkat yang lebih rendah.

“Kawasan yang dilindungi banyak berkontribusi dalam hal mengurangi deforestasi, karena memiliki keuntungan yaitu adanya medan yang relatif tidak ramah,” ungkap William Laurance, peneliti ekologi di James Cook University di Australia yang tidak terlibat dalam penelitian ini, saat menjelaskan kepada Mongabay.

Kawasan lindung di hutan tropis, kecuali yang terletak di lereng yang curam, atau medan yang ekstrim, biasanya menghadapi tekanan deforestasi tinggi. Ini mirip yang terjadi di area yang ada di luar kawasan lindung. Tekanan deforestasi dari luar ini ujung-ujungnya dapat mengakibatkan hilangnya hutan di wilayah-wilayah lindung.

Namun, studi ini juga menjumpai bahwa sejumlah hutan yang hilang di luar kawasan, tidak serta merta langsung berpengaruh kepada hilangnya hutan di dalam kawasan. Dalam kenyataannya, dalam banyak kasus untuk kawasan lindung, meski menerima banyak tekanan dari luar, dapat dilihat bahwa kawasan tersebut memiliki performa yang baik, jelas studi ini.

“Ini cukup mengejutkan saya,” lanjut Laurance. “Saya kira itu menunjukkan adanya variasi besar dalam model efektivitas pengelolaan kawasan lindung, ada juga kasus-kasus dimana terdapat efek dalam skala lokal dimana deforestasi terjadi di kawasan lindung. Tampaknya, penulis tidak membahas hal ini secara detail, itu salah satu unsur analisis yang sebenarnya ingin saya lihat secara lebih dekat. ”

Namun, kawasan lindung yang menderita “sangat tinggi” dari tekanan deforestasii, dimana kawasan di luar kawasan lindung telah kehilangan tutupan hutan lebih dari 30 persen dalam 10 tahun terakhir, ternyata tidak efektif, jelas penelitian studi ini.

“Hal ini menunjukkan bahwa ketika tekanan deforestasi sangat tinggi, kawasan lindung berjuang untuk mempertahankan tutupan hutan,” jelas Spracklen. “Hal baiknya, kasus ini adalah jumlah minoritas, yaitu sekitar 60 dari sekitar 3.400–an kawasan lindung.”

Para peneliti juga menemukan variasi dalam kinerja kawasan lindung antara dan di dalam negara.

Misalnya, di daerah tropis, 41 persen dari bagian 1.804 kawasan lindung, dengan kemiringan yang sama dan elevasi, mengurangi tingkat hilangnya hutan setidak-tidaknya 25 persen. Di Australasia (Australia dan Papua Nugini), sekitar 70 persen dari kawasan lindung berkontribusi mengurangi deforestasi setidaknya 25 persen, sementara kurang dari sepertiga dari kawasan lindung di Asia mengurangi deforestasi sebesar 25 persen.

Secara keseluruhan, studi ini menemukan bahwa kawasan lindung di bagian Asia, Afrika Barat dan Amerika Tengah, memiliki beberapa kawasan lindung yang memiliki performa yang masuk kategori terburuk.

Tidak semua negara di Asia berkinerja buruk. Menurut studi ini, negara-negara seperti Thailand dan Laos memiliki banyak kawasan lindung yang efektif. Di sisi lain, sebagian besar kawasan lindung di Tiongkok, India, Indonesia dan Filipina sebagian besar tidak efektif. Di negara-negara ini, kawasan lindung yang terletak di lereng curam atau ketinggian yang lebih tinggi lebih baik di memperlambat hilangnya hutan.

“Secara umum, negara-negara miskin (dengan PDB per kapita yang rendah) dan orang-orang dengan kepadatan penduduk pedesaan tertinggi memiliki kinerja kawasan lindung yang buruk,” tutur Laurance. “Tampaknya relatif kaya dan kurang padatnya penduduk di suatu negara, maka akan lebih mampu untuk mempertahankan kawasan lindung mereka.”

Ini bisa jadi karena negara-negara kaya memiliki lebih banyak dana yang tersedia untuk pengelolaan kawasan lindung, jelas Spracklen, “Meskipun kami tidak dapat menguji gagasan itu.”

Semakin sejahtera dan berkinerja semakin baik sebuah negara, maka pengelolaan kawasan lindung menjadi semakin efektif karena semakin kurangnya korupsi dan ditaatinya aturan hukum, termasuk semakin dilindunginya suatu kawasan (karena orang dapat dibayar sebagai penjaga penjaga), kemiskinan tidak meluas, kepadatan penduduk rendah terutama di perdesaan. “Semua faktor ini berkontribusi terhadap kinerja kawasan lindung yang tambah baik,” imbuh Laurence.

Namun, tidak semua negara dengan GDP tinggi memiliki kinerja wilayah dilindungi yang lebih baik, contohnya Malaysia. “Malaysia memiliki GDP yang relatif tinggi, tetapi memiliki campuran antara kawasan lindung yang dikelola efektif dan kawasan lindung yang sangat buruk.”

Jadi kawasan lindung bervariasi di seluruh daerah tropis. Walaupun bervariasi, penelitian ini menunjukkan bahwa kawasan lindung dapat berfungsi dengan baik, jelas penelitian ini lagi. Namun, juga terdapat kebutuhan untuk mengetahui dan memahami lebih jauh mengapa ada beberapa kawasan lindung yang tidak bekerja efektif untuk mencegah deforestasi lebih lanjut.

“Penelitian ini menunjukkan ada lingkup besar untuk meningkatkan kinerja kawasan lindung di beberapa negara dan wilayah, kami jumpa menjumpai regio Asia Tenggara, Amerika Tengah, dan Afrika Barat menjadi area yang sangat mengkhawatirkan,” kata Laurance.

“Tapi kita perlu ingat bahwa kawasan lindung adalah landasan dari upaya kita untuk melindungi alam dalam jangka panjang. Kami membutuhkan banyak strategi untuk mempromosikan konservasi alam tapi jelas kita tidak bisa membiarkan kawasan lindung kami gagal. Mereka terlalu penting untuk dipertahankan.”

Rujukan:

Spracklen BD, Kalamandeen M, Galbraith D, Gloor E, Spracklen DV. 2015. A Global Analysis of Deforestation in Moist Tropical Forest Protected Areas. PLoS ONE 10(12): e0143886. doi:10.1371/journal.pone.0143886

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,