,

Perempuan Dusun Binanga Sangkara Bangkit dari Kemiskinan Berkat Satwa Ini

Dusun Binanga Sangkara, Desa Ampekale, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, dulunya adalah perkampungan nelayan yang identik dengan kemiskinan.

Sebagian besar warganya adalah nelayan yang melaut sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar warganya bahkan buta huruf, tak mengenal baca tulis dan menghitung.

Konon, dulunya perkampungan ini begitu sulit diakses karena kondisi jalan yang rusak. Apalagi letaknya yang jauh di ujung perkampungan Desa Ampekale. Dari jalan poros Maros, dusun ini berjarak sekitar 5 km. Sebagian besar rumah di dusun ini dulunya adalah rumah panggung yang reyot dan kumuh.

Namun kondisi kini sangat jauh berbeda. Ketika Mongabay berkunjung ke dusun ini, Selasa (19/01/2016), sebagian besar jalanan sudah beraspal mulus dan beton. Jalan-jalan kecil menuju pantai, di antara tambak-tambak, juga sudah merupakan jalan beton.

Perekonomian di dusun ini kini berjalan dinamis. Ketika para suami melaut untuk memasang perangkap kepiting yang disebut rakkang di pagi hari dan mengambilnya kembali di sore hari, para istri tidak tinggal diam di rumah. Sepanjang hari mereka sibuk dengan kegiatan produktif, mengupas kepiting.

Perubahan besar yang dialami masyarakat dusun ini tak terlepas dari hadirnya kelompok Ujung Parappa. Sebuah kelompok ekonomi perempuan yang dibentuk sejak 2011 silam sebagai bagian dari program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam.

Habsiah (33), Ketua Kelompok Ujung Parappa, bercerita bahwa ketika pertama kali kelompok ini dibentuk, sebagian besar anggotanya adalah perempuan buta huruf, tak bisa baca tulis dan menghitung. Bahkan untuk membaca jam pun mereka tidak bisa. Hanya Habsiah, yang tak tamat SD, yang bisa sedikit baca tulis.

“Karena sebagian besar buta huruf maka enam bulan pertama program kelompok ini hanyalah belajar mengeja huruf dan angka. Kita juga diajari tanda tangan, karena selama ini tahunya hanya pakai jempol,” katanya sambil tertawa.

Setelah para anggotanya bisa sedikit baca tulis, pelajarannya pun mulai meningkat. Mereka diajari cara pengelolaan keuangan dan produksi beragam produk olahan, mulai dari kacang sembunyi, kue, kerupuk dan abon kepiting.

Usaha kacang sembunyi yang awalnya sukses kemudian dihentikan, karena dinilai tidak berbasis potensi setempat yang merupakan wilayah pesisir.

“Kita ditegur dari Dinas Koperasi katanya jangan usaha kacang sembunyi karena bahan bakunya susah. Lebih baik yang berasal dari potensi yang ada di sini, dan kebetulan memang yang banyak ada di sini adalah kepiting rajungan,” ujarnya.

Aktivitas anggota kelompok wanita nelayan Ujung Parappa, Dusun Binanga Sangkara, Desa Ampekale, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan dalam mengolah kepiting. Setiap hari kelompok ini melakukan pengupasan kepiting 80-100 kg dengan penghasilan rata hingga Rp1 juta per anggota. Foto : Wahyu Chandra
Aktivitas anggota kelompok wanita nelayan Ujung Parappa, Dusun Binanga Sangkara, Desa Ampekale, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan dalam mengolah kepiting. Setiap hari kelompok ini melakukan pengupasan kepiting 80-100 kg dengan penghasilan rata hingga Rp1 juta per anggota. Foto : Wahyu Chandra

Atas saran dan dukungan dari Yayasan Konservasi Laut (YKL) yang merupakan mitra program RCL Oxfam, kelompok ini pun mendapatkan pembeli langsung eksportir di Surabaya.

Adanya pasar daging kepiting ini memberikan harapan bagi para nelayan dan anggota Ujung Parappa, karena harganya yang jauh lebih mahal dibanding dijual di pembeli lokal yang disebut ponggawa. Ponggawa ini sejenis rentenir yang memberikan bantuan modal tapi sekaligus mencekik nelayan.

“Selama ini kita tak pernah tahu harga kepiting yang sebenarnya sehingga ponggawa seenaknya mempermainkan harga. Program Oxfam juga dari awal memang tujuannya ingin melepaskan kami dari para ponggawa ini,” jelas Habsiah.

Penjualan kepiting melalui ponggawa memang harganya sangat rendah. Jauh dari harga dari eksportir yang bisa mencapai Rp 38 ribu per kg.

Menurut Habsiah, keuntungan yang diperoleh dari usaha pengupasan kepiting ini sangat membantu perekonomian para anggotanya yang berjumlah 25 orang. Dari hasil nelayan suami mereka saja maksimal mereka bisa mendapatkan hasil hingga Rp4 juta per bulan, sementara dari istri bisa menghasilkan Rp1 juta per bulan.

“Suami pergi ke laut tangkap kepiting sementara pengolahan dilakukan istri di kelompok,” tambahnya.

Pendapatan anggota kelompok Ujung Parappa dalam sebulan bervariasi, dari Rp600 ribu hingga Rp1 juta, tergantung keaktifan mereka. Sistem penggajian biasanya dilakukan tiap minggu, yang dibayarkan berdasarkan catatan pekerjaan per hari.

Muliati (50), salah seorang anggota kelompok Ujung Parappa ini, mengakui sangat terbantu dengan usaha yang dikembangkan oleh kelompoknya. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, penghasilan juga digunakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya yang berjumlah empat orang, memperbaiki rumah dan sebagian lagi ditabung.

Muliati sendiri tergolong aktif di kelompok. Jika pagi dan sore hari ia membantu mengupas kepiting, maka di malam hari ia juga sering membantu dalam memproduksi abon dan kerupuk kepiting. “Kadang kita kerja sampai jam 2 malam, seperti semalam,” katanya.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Siah (52). Perempuan separuh baya yang dulunya tak bisa baca tulis ini juga merasakan besarnya manfaat yang dirasakan sejak bergabung dalam kelompok.

“Jika dulu kami hanya duduk di rumah menunggu suami, bergosip dan cari kutu. Kini kami punya penghasilan sendiri. Apalagi di sini semua harus dibeli, mulai dari beras hingga air.”

Selama ini warga dusun Binanga Sangkara memang harus membeli air untuk kebutuhan air sehari-hari, rata-rata Rp20 ribu per hari.

Olahan Kepiting

Untuk memproduksi daging kepiting ini sendiri prosesnya sangat sederhana. Sebelum dikupas kepiting ini harus dimasak dulu, kemudian dibersihkan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses pengupasan.

Dalam proses pemisahan ini tak ada daging yang terbuang percuma, termasuk yang ada di bagian capit kepiting, lalu disatukan berdasarkan jenis dagingnya. Untuk empat kg kepiting utuh biasanya menghasilkan 1 kg daging kepiting.

Dalam sehari, jumlah kepiting yang diolah berkisar antara 80-100 kg, yang berarti menghasilkan daging kepiting 20-25 kg. Daging kepiting ini kemudian dijual dengan harga Rp 120 ribu-Rp 150 ribu per kg. Dulu bahkan harga bisa mencapai Rp240 ribu.

“Waktu masih dijual di Surabaya harga masih lebih mahal, sekarang kami jual di Kawasan Industri Makassar. Harga sekarang malah turun Rp 120 ribu per kg. Mereka tiap hari datang sendiri menjemput barangnya.”

Dari hasil pengupasan kepiting ini,  Muliati, anggota kelompok wanita nelayan Ujung Parappa, Dusun Binanga Sangkara, Desa Ampekale, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan bisa memperoleh penghasilan tambahan. Foto : Wahyu Chandra
Dari hasil pengupasan kepiting ini, Muliati, anggota kelompok wanita nelayan Ujung Parappa, Dusun Binanga Sangkara, Desa Ampekale, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan bisa memperoleh penghasilan tambahan. Foto : Wahyu Chandra

Untuk usaha kerupuk dan abon kepiting sekali produksi mereka bisa menghasilkan 200-300 bungkus kerupuk dan abon kepiting, pembelinya dari toko oleh-oleh di Kota Makassar.

“Dulu kami pernah diliput TV, jadi mereka langsung datang ke sini. Sekarang sudah jadi langganan dana mereka bayar tunai.”

Jaya Tulha, Program Officer RCL Oxfam, mengakui Kelompok Ujung Parappa ini sebagai salah satu dampingan Oxfam yang cukup sukses dan berlanjut sampai sekarang, meski program RCL ini sudah berakhir sejak 2015 lalu.

“Kelompok ini menjadi percontohan kelompok usaha pesisir yang sukses dan sering mendapat kunjungan dari banyak pihak,” katanya.

Tidak hanya pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, keberadaan kelompok ini telah mendorong pemerintah setempat untuk melakukan perbaikan infrastruktur berupa betonisasi jalan sepanjang Desa Ampekale hingga Dusun Binanga Sangkara.

“Setelah kelompok ini dianggap sukses maka memancing banyak pihak untuk berkunjung, baik itu dari daerah lain atau nasional. Makanya kemudian dibuat jalan yang lebih bagus dan permanen sehingga mudah diakses.”

Menurut Jaya, selama ini bantuan yang diberikan kepada kelompok Ujung Parappa sifatnya inkind atau berupa barang. Para nelayan mendapatkan pinjaman berupa rakkang, alat tangkap kepiting yang terbuat dari kawat dan tali. Bantuan lainnya  berupa rumah produksi usaha.

Dukungan juga diberikan oleh Dinas Koperasi Maros berupa bantuan sosial berupa uang tunai sebesar Rp50 juta. Bantuan ini kemudian digunakan untuk pembelian peralatan usaha, termasuk beberapa kompor, panci, wajan, laptop dan printer.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,