,

Merekam Krisis Air di Bali Melalui Film. Seperti Apakah?

Nyaris tiap tahun ada kasus rebutan air di Bali. Terakhir ada kelompok petani di Gianyar yang memprotes Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) karena diduga menyerobot jatah air untuk irigasi. Belum lagi macetnya pasokan air bersih ke rumah-rumah pelanggannya.

Sejumlah pegiat film dokumenter mendorong publik merekam fakta krisis air ini dan solusinya dalam sebuah event Denpasar Film Festival (DFF) ke-7  yang mengusung tema “Air dan Kehidupan.” Masyarakat umum diundang mendaftarkan filmnya pada 1 Maret-30 Juni 2016.

Selain itu ada workshop pembuatan film untuk pelajar di Denpasar yang akan dilaksanakan di Danau Buyan dalam bentuk kemah. Pelatihan produksi film dokumenter ini didampingi Tonny Trimarsanto, pembuat film dokumenter yang telah memenangi sedikitnya lima penghargaan internasional.  Dalam DFF tahun ini ada juga pameran esai foto dan kegiatan edukasi lain.

Agung Bawantara, Direktur DFF mengatakan warga didorong mengembangkan sudut pandangnya lewat film dokumenter mengenai krisis air di Bali. “Anak sekolah akan dilatih secara teknis melihat persoalan sekitar mereka terutama masalah air ini,” ujarnya.

Peserta pelatihan adalah para pelajar SMP dan SMA di Kota Denpasar yang dipilih melalui seleksi. Keduanya mendapat jatah masing-masing lima kelompok. Jadi akan ada lima kelompok untuk SMP dan lima kelompok untuk SMA sehingga total peserta hanya 20-30 orang saja.

DFF masih didukung Pemerintah Kota Denpasar lewat Dinas Kebudayaan dalam perhelatannya.  “Pemerintah jadi tahu apa permasalahan air seperti pencemaran sungai, rencana reklamasi yang menyedot air, dan lainnya,” kata Made Sugiana, Kasi Dokumentasi Dinas Kebudayaan Denpasar. Ia mengakui banyak kasus air macet karena PDAM terkendala dalam pasokan air bersih.

Seperti tahun sebelumnya, lomba film dokumenter DFF berhadiah total Rp58 juta. Lomba dibagi menjadi dua kategori: umum dan pelajar. Peserta kedua kategori dapat mengirimkan karya dokumenter dengan tema bebas. Untuk umum durasinya 20–40 menit. Sedangkan untuk pelajar durasinya antara lima hingga sepuluh menit.

Karya yang masuk akan diseleksi oleh panitia melalui dua tahap. Tahap pertama, karya diseleksi oleh dewan kurator yang terdiri dari tiga pekerja film dokumenter. Mereka memilih masing-masing lima karya unggulan di setiap kategori. Selanjutnya, pada tahap kedua, karya-karya yang lolos seleksi dewan kurator tersebut diseleksi kembali oleh dewan juri untuk menentukan lima karya terbaik.

Satu di antara  lima film unggulan kategori umum dinobatkan sebagai Film Terbaik yang berhak menggondol trofi DFF dan uang tunai sebesar Rp20 juta. Empat unggulan yang tersisih tetap mendapat hadiah uang tunai masing-masing sebesar Rp3,5 juta.

Pada kategori pelajar dipilih tiga juara yang secara berturut-turut mendapat hadiah uang tunai sebesar Rp7,5 juta, Rp5juta, dan Rp3,5 juta.

Analisis Krisis Air

Sunarta, dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana menyampaikan hasil risetnya bahwa pada 2013, hanya Kabupaten Bangli yang surplus air. Delapan kabupaten dan kota lainnya sudah krisis air.

Ada juga peneliti dari Inggris, Stroma Cole menyimpulkan krisis air akan terjadi di Bali pada 2020-2025. Sekitar 5-10 tahun lagi jika tak ada aksi nyata dalam upaya penyadaran, konservasi, dan koordinasi kebijakan.

Sebuah keluarga mencari pasokan air saat air PDAM macet di Jimbaran, Bali. Saat ini pulau Bali menghadapi krisis air karena berbagai faktor. Foto : Luh De Suriyani
Sebuah keluarga mencari pasokan air saat air PDAM macet di Jimbaran, Bali. Saat ini pulau Bali menghadapi krisis air karena berbagai faktor. Foto : Luh De Suriyani

Menurutnya industri pariwisata hanya akan bisa berlangsung di tempat dengan cukup air. Stroma dan Wiwik mewawancarai lebih 100 turis asing pada 2010, ia mendapat jawaban. Sebanyak 90% turis meyakini air masih melimpah di Bali. Lalu sebanyak 50% kaget ketika diberitahu ada ancaman krisis air. Sebanyak 68% akan berusaha hemat air jika diberitahu pihak hotel misalnya, dan 36% bersedia bayar pajak lingkungan.

Keduanya mewawancarai 39 pemangku kepentingan di Bali. Sejumlah faktor pendorong krisis air ini sangat kompleks. Pertama tekanan insustri pariwisata, mayoritas akomodasi seperti hotel dan villa menggunakan air bawah tanah dengan mengebor sangat dalam, di atas 60 meter. Sumur warga dengan kedalaman belasan meter sudah kering.

Selain itu sebagian besar responden yang mayoritas pengusaha kecil dan sedang tak membayar pajak air bawah tanah karena tidak tahu dan beralasan sudah terkompensasi di biaya listrik untuk menarik air.

“Pembangunan juga banyak di jalur hijau,” kata Stroma. Banyak petani memilih menjual lahan hijaunya yang penting dalam peresapan air hujan karena sistem pajak sangat tidak adil. Sementara penghasilan tak cukup terutama karena biaya hama dan biaya pengendaliannya. “Jumlah burung tetap banyak dan makan padi tapi sawah makin sedikit,” contohnya.

Kemudian dari sisi pengelolaan pemerintah, menurutnya unit yang mengurus air terlalu banyak yakni 11 unit. “Apakah semua bisa duduk di satu ruangan dan memecahkan masalahnya. Oh ini bukan urusan kita, itu di sana. Tak ada yang mau tanggung jawab,” Stroma menceritakan pengalamannya selama riset.

Ia juga menekankan kurangnya kesadaran konservasi di warga dan kebijakan. Sebagai negara tropis, menurutnya harus mengolah air hujan yang curahnya sangat tinggi dan juga air limbah. “Di Inggris saya tidak tahu mungkin air di pipa mungkin sudah 7 kali dikencingi,” ia membandingkan upaya reclaim dan reuse air limbah di sana.

Konsekuensi yang akan terjadi saat krisis air misalnya eksploitasi air permukaan seperti sungai, instrusi air laut yang makin parah, penurunan kualitas air, peningkatan biaya air warga sekitar 25% dalam 3 tahun, dan meningkatnya alih fungsi lahan pertanian. Inilah pangkal konflik air itu.

Petani membutuhkan air untuk irigasi sawahnya, ditengah tengah pembangunan villa di Canggu, Kuta, Badung. Bali sedang mengalami krisis air karena berbagai faktor seperti dampak industri pariwisata, alih fungsi lahan, dsb. Foto : Luh De Suriyani
Petani membutuhkan air untuk irigasi sawahnya, ditengah tengah pembangunan villa di Canggu, Kuta, Badung. Bali sedang mengalami krisis air karena berbagai faktor seperti dampak industri pariwisata, alih fungsi lahan, dsb. Foto : Luh De Suriyani

Apakah bisnis pariwisata memang eksploitatif pada air? Kepala Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia daerah Bali Tjokoda Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace tak bisa menyimpulkan tapi membagi data penggunaan air dan listrik akomodasi pariwisata.

Data Bali Hotel Association (BHA) dan Howarth HTL memperlihatkan makin mahal atau makin banyak bintangnya, penggunaan listrik dan air makin tinggi. Hotel dengan tarif di atas USD 440 mengonsumsi air lebih dari 4 meter kubik atau 4000 liter per orang. Jauh dari asumsi kebutuhan air penduduk 183 liter per hari di Bali. Konsumsi turis paling sedikit di hotel dengan harga di bawah USD 59, yakni hampir 1000 liter per orang.

Penduduk Bali berdasarkan angka sensus 2010 sejumlah 3.890.757 orang, dan  berdasarkan angka proyeksi BPS 2014 berjumlah 4,1 juta. Dengan rata-rata kebutuhan air setiap orang sebesar 183 liter/hari (konsumsi, mandi, dsb), menjadikan kebutuhan air penduduk lebih 750 juta liter per hari. Belum lagi untuk kebutuhan turis. Jumlah kamar saat ini sebanyak 77.496 kamar (kompilasi data PHRI Bali 2014).

Jika rata-rata per kamar perlu 2000 liter saja, maka jika kamar itu terisi 50% saja diperlukan sedikitnya 160 juta liter per hari. Namun ada ratusan villa yang tak teregistasi, kondotel, dan lainnya. Biasanya jauh lebih banyak konsumsi air karena menyediakan kolam renang per unitnya. Dari hitungan di atas, perkiraan kebutuhan air sekitar 1 milyar liter per hari.

Defisit bahan baku air

 Lalu apakah Bali bisa memenuhi kebutuhan air untuk warga dan turisnya? Jumlah penduduk yang baru bisa dilayani PDAM hanya 78 ribu unit dari 800 ribu orang penduduknya. Jika dibanding dengan unit rumah tangga maka cakupannya sekitar 45%.

Total produksinya 1200an liter per detik, sementara kebutuhan 1400an liter per detik. Defisit hampir 200 liter per detik. Ini menjawab kenapa air PDAM sering ngadat, karena defisit bahan baku.  Dari proyeksi kebutuhan air sampai 2020 di Denpasar, grafiknya memperlihatkan tiap tahun persediaan akan terus tak bisa memenuhi permintaan.

Termasuk jika proyek besar pemipaan beberapa tahun mendatang sudah berjalan. Pada 2019, perkiraan cakupannya baru 55% dari kebutuhan. Sementara sesuai UU, targetnya 100%. Pelanggan PDAM nyaris semuanya rumah tangga. Sementara industri pariwisata dan lainnya yang perlu banyak air memilih ngebor tanah. Tak terhindarkan eksplotasi air ini ketika pembangunan pariwisata terus meningkat tanpa kendali.

“Jauh lebih murah retribusi air bawah tanah dibanding PDAM yang sekitar Rp 4000 per meter kubik,” katanya. Bahkan tarif berlaku progresif, akan terus lebih mahal jika lebih banyak mengonsumsi.

Tawaran solusi

Ubud, kampung turis yang lebih hijau dibanding kawasan lain di Bali ternyata mengonsumsi paling banyak air di antara akomodasi lain di Bali. Menurut data BHA dan Howart itu, selama 4 tahun terakhir konsumsi air per tamu di hotel-hotel sekitar 3000-5000 liter per orang. Jauh dari kawasan lain seperti Nusa Dua, Kuta, dan Seminyak yang rata-rata kurang dari 1000-2000 liter.

“Belum tentu quality tourism itu lebih hemat air,” kata Sunarta, dosen yang meneliti air ini. Ia menyebut penjajah Belanda yang menetapkan Singaraja sebagai ibukota Bali di masa lalu karena ingin berinovasi dalam pemenuhan air di daerah yang kering. Sementara saat ini kota Denpasar ada di Selatan yang menjadi hilir distribusi air namun makin seret. Ia mengatakan banyak konsultan ke hotel-hotel mulai menawarkan teknologi pengolahan air laut yang belum ada yang mengaplikasikan.

Seorang nelayan sedang beraktivitas di Danau Tamblingan, Buleleng, Bali.  Danau Tamblingan merupakan salah satu  sumber air di Bali yang saat ini sedang mengalami krisis air karena berbagai faktor. Foto : Luh De Suriyani
Seorang nelayan sedang beraktivitas di Danau Tamblingan, Buleleng, Bali. Danau Tamblingan merupakan salah satu sumber air di Bali yang saat ini sedang mengalami krisis air karena berbagai faktor. Foto : Luh De Suriyani

Sementara pilihan pemerintah masih memanfaatkan air permukaan seperti sungai. Ada proyek pemasangan jaringan pipa puluhan ribu meter di kota Denpasar sampai 2017 dengan nama program Sarbagita. Lintas kabupaten karena akan mengambil bahan baku air di sejumlah sungai luar Denpasar seperti Tukad Petanu dan Unda.

Bagus Sudibya, tokoh pariwisata dan Bali Tourism Board mengusulkan kewajiban konservasi bagi pengusaha akomodasi yang ingin membangun. Misal jika tiap turis perlu 2000 liter per hari per kamar, maka perlu dikompensasi berapa pohon yang harus ditanam untuk menangkap air sejumlah itu. “Ini harus masuk di kalkulasi investasi bisnis dan syarat mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB),” katanya.

Sementara Cok Ace minta pemerintah benar-benar menghentikan izin pembangunan akomodasi baru untuk menata. Sebelumnya sudah ada Surat Edaran Gubernur pada 2011 tentang moratorium pembangunan akomodasi tapi hanya untuk Denpasar, Badung, dan Gianyar. Namun beberapa tahun ini pembangunan malah masif.

Menurut data Badan Lingkungan Hidup Bali, sumber air minum dominan adalah air kemasan, lalu air ledeng atau PDAM, mata air, air sumur, air sungai, terakhir air hujan. Sumber air minum bagi rumah tangga terdiri dari air kemasan 33%,  air ledeng 22%, mata air 23%, air sumur 15%, air sungai 1,7%, dan air hujan 3,6%.

Sejumlah peneliti dalam dan luar negeri juga bergabung dalam sebuah proyek solusi krisis air Bali yang mulai nyata di depan mata. Mereka akan mengisi ulang air tanah dengan tahap awal membuat 136 sumur air hujan di 13 lokasi.

Cara ini diyakini memberi hasil yang cepat mengembalikan level air hingga 90% dalam 5 tahun di area yang mengalami krisis air bersih dan terancam intrusi air laut. Inisiatif ini sudah disiapkan 2012 usai hasil penelitian yang menyatakan lebih dari 60% cadangan air Bali telah dinyatakan kering. Permukaan air telah turun drastis sebanyak 50 meter kurang dari 10 tahun.

Dengan biaya kurang dari 1 juta US Dollar, program Penyelamatan Air Bali (Bali Water Project / BWP) yang dirintis Politeknik Negeri Bali (PNB) dan Yayasan IDEP ini secara teknis akan dimulai 2016. Keduanya mengajak pemerintah provinsi Bali dan masyarakat luas bekerja sama dan turus berkontribusi dalam penggalangan dana.

Ida Bagus Putu Bintana dari PNB dan IDEP Foundation dan special project advisor Florence Cattin memaparkan keyakinanannya pada proyek ini. Diawali dengan pembuatan 7 Sumur Imbuhan di kota Denpasar yakni Desa Penatih dan  Desa Peguyangan.

Kemudian pembuatan prosedur standar (SOP) pembuatan sumur imbuhan untuk kalangan industri/perhotelan di Denpasar dan Badung untuk mereplikasi membuat sumur sendiri. Kemudian diikuti program kampanye hemat air dalam berbagai bentuk.

Desainnya adalah sumur imbuhan dangkal. Fungsinya memanen air hujan. Pepohonan terutama di perkotaan tak lagi bisa menyerap air hujan dengan cepat. Karena jumlahnya makin sedikit akibat alih fungsi lahan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,