, , , ,

Ekspedisi Indonesia Biru, Merekam Berbagai Persoalan Alam dan Anak Negeri

Dandhy Dwi Laksono, bersama Suparta Arz, akrab disapa Ucok memulai Ekspedisi Indonesia Biru pada 1 Januari 2015. Mulai dari Kantor Watchdog, menuju perkampungan adat Baduy di Banten lanjut ke berbagai daerah di penjuru Indonesia. Mereka merekam lewat foto dan video serta menuliskan. Menggunakan sepeda motor bebek, mereka merasakan terik matahari, hujan dan angin untuk mendokumentasikan konsep Indonesia Biru yang dikenalkan Gunter Pauli.

Mereka melihat dan merekam yang terjadi pada masyarakat adat, petani dan nelayan berbagai daerah. Merasakan pekat asap dan melawati banjir. Mereka melihat kebijakan pemerintah tak tepat sasaran dan cenderung diskriminatif. Kerusakan alam, sumber air, dan hutan dampak berkebunan sawit dan tambang menjadi keprihatinan mereka.

Saya berkesempatan mewawancari Dandhy Dwi Laksono guna merangkum cerita mereka dalam ekspedisi selama 365 hari mengeliling Indonesia, di Yogyakarta. Berikut petikan wawancaranya:

Apa yang melandasi anda melakukan Ekpedisi Indonesia Biru? Mengapa dinamakan Indonesia Biru?

Nama Indonesia Biru adopsi dan terinspirasi dari konsep ekonomi biru Gunter Pauli. Setelah lihat dan dengar di Youtube, aku berpikir ini yang dimaksud Gunter Pauli, masyarakat kita punya konsep sama, walaupun tak semua ada di masyarakat adat yang sistem sosial masih terjadi. Konsep ekonomi biru mendasarkan bagaimana ekosistem alam bekerja dilakukan masyarakat adat atau masyarakat Indonesia sebelum mereka berinteraksi dengan modernisme.

Tujuannya, jika punah kita bisa membangkitkan lagi seperti “Mummi” dengan dokumentasi, jika berhasil bertahan, bisa menjadi virus ke komunitas lain yang sudah punah.

Ekspedisi ini, kami buat sederhana. Memakai sepeda motor keliling Indonesia. Pekerjaan utama dokumentasi. Menggunakan motor murah, penetrasi bisa ke pedalaman.

Dandhy Dwi Laksono memakai kaos Jogja Ora Didol sebagai dukungan perjuangan masyarakat menjaga alam, air dan budaya di Jogja. Foto: Tommy Apriando
Dandhy Dwi Laksono memakai kaos Jogja Ora Didol sebagai dukungan perjuangan masyarakat menjaga alam, air dan budaya di Jogja. Foto: Tommy Apriando

Ekspedisi Indonesia Biru, banyak merekam masyarakat adat. Mengapa? Menurut anda, bagaimana kondisi masyarakat adat di negeri ini?

Kami melihat ada pertarungan abadi antara sistem sosial dan sistem kreatif atau nilai yang mereka jalani dengan dinamika baru. Mereka bisa bertahan yang memilih cara ekstrim yakni mengisolasi. Ada juga bertahan mengikuti perkembangan, namun tak larut. Contoh mengisolasi, masyarakat adat Boti, Nusa Tenggara Timur, dan Baduy Dalam, Banten. Yang mengikuti perkembangan ada Ciptagelar dan sebagian masyarakat adat Dayak, yang lain larut.

Adat hanya tinggal simbol, tarian, rumah adat, tenun, dan pakaian adat. Tercerabut. Contoh, di Bali, adat menjadi komodifikasi, bagian atraksi turis, bahkan sekrup kecil industri besar mass tourism. Kebanggaan semu mereka masih punya upacara, rumah ibadah, Pura, pada akhirnya nilai-nilai itu gagal berhadapan ketika bertransformasi dengan mesin gerakan sosial. Ketika mereka berhadapan dengan isu besar reklamasi Teluk Benoa. Pendekatan gerakan sosial ini bisa menumbuhkan kesadaran dan perlawanan. Apa yang terjadi di Bali merupakan gerakan sosial terbesar setelah Perang Puputan. Gerakan ini bertahan lama dan masif. Di Kalimantan, ada sumber daya alam dengan akar eksploitasi ekonomi.

Dalam film dokumenter selama ekspedisi, anda merekam masyarakat adat hidup dengan menjaga alam. Bagaimana anda melihat ini?

Masyarakat adat hidup tak dengan landasan teknis, tetapi alam berpikir yang mereka bangun adalah sistem kepercayaan selalu pada alam. Contoh, Abah Ugi membuat microhidro. Dia tidak memikirkan dulu membuat listrik skala besar, hingga megawatt. Jika memiliki listrik skala besar, toh mereka tak perlu listrik untuk penggilingan padi. Mereka tak mengolah beras jadi tepung hingga perlu pabrik, tak perlu infrastruktur listrik besar. Mereka tak terjebak pendekatan teknis.

Pilihan mereka pada microhidro karena punya air dan hutan terjaga, walaupun bisa meningkatkan taraf hidup dengan listrik, tetapi digunakan bijak dan tak meninggalkan adat. Ketika malam listrik untuk usaha bikin gula semut, siang mesin bubut bisa beroperasi memperbaiki turbin dan lain-lain.

Jadi skala tepat guna. Takaran pas, hingga ambil secukupnya. Konsep ini yang tidak dimiliki pemerintah atau perencana pembangunan muapun akademisi kampus.

Akademisi dan mahasiswa biasa berpikir besar karena kurikulum menciptakan mereka menjadi teknokrat yang melayani modal besar. Insiyur Pertanian, Pertambangan, Teknik Sipil dididik dalam satuan yang akhirnya menjadi subsistem kapitalisme.

Mereka tak dididik dalam satuan unit produksi kecil, terukur, tepat guna dan secukupnya. Hingga mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di pelosok desa, tak efektif.

Bagaimana anda menilai kebijakan pemerintah terhadap masyarakat adat?

Baduy dan Boti, relatif tak punya konflik dengan pembangunan atau kebijakan pemerintah. Bukan karena faktor visi, lebih sepele atau bisa dibilang menghina. Orang Baduy dan Boti, punya raja dan “Puun.” Mereka kerap didatangi pejabat untuk meminta berkah, dukungan politik, pesugihan dan meminta didoakan. Karena mereka punya relasi penting dan vertikal, ini menjadi menarik hingga mereka tidak dianggap musuh. Mereka memiliki enclave kecil, misal, Baduy 5.000 hektar. Itu tak strategis dikuasai, begitu juga Boti. Kecuali ditemukan gunung emas seperti di Freeport, bisa lain lagi ceritanya.

Dua contoh ini tak signifikan, tetapi punya relasi vertikal seperti tadi, yang sebenarnya mengina. Mereka dihargai hanya sebagai dukun, namun tak dianggap pemerintah. Jika tak punya keahlian tradisional dan mistik untuk pejabat, mereka tidak dianggap.

Namun, di masyarakat adat Tobelo Dalam, air jernih diambil PDAM atau air minum kemasan. Di Bali, persoalan reklamasi Teluk Benoa. Di Tengger, berhadapan dengan taman nasional dan banyak lagi.

Kerajaan Boti. Foto: Indonesiabiru.com
Kerajaan Boti. Foto: Indonesiabiru.com

Ekspedisi ini juga merekam kondisi petani dan nelayan. Bisa anda ceritakan?

Kondisi nelayan negeri yang katanya maritim ini makin tergusur. Contoh, nelayan di Sulawesi seperti Manado, Makassar, Palu, sekarang berhadapan dengan reklamasi. Mereka berhadapan dengan konsekuensi dari perkembangan ekonomi. Konflik di Manado, terbuka dengan Daseng 45 dan segala macam. Di Palu, petambak garam dan nelayan. Di Makassar, reklamasi Losari berhadapan dengan nelayan dan warga pesisir.

Nelayan di Lombok Timur, isu energi, yakni ketika subsidi bensin dicabut. Mereka menanggung biaya lebih besar karena lingkungan pesisir makin buruk. Dulu depan rumah bisa memancing ikan, kini memaksa mereka ke tengah.

Di Tidore, ada kampung nelayan Tomalau, terkenal 1970-1980an. Ia memiliki koperasi nelayan sangat maju. Pada 2004, Tomalau, gulung tikar. Ada ratusan kapal dari sekitar 52 juragan tinggal enam orang dengan enam kapal. Mengapa runtuh? Henaikan harga BBM. Pertama kali kenaikan harga BBM hingga 100% era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dari Rp. 2.200 ke Rp.4.500. Juragan kapal gulung tikar.

Kini, masyarakat Tomalau bangkit lagi ketika ada bantuan kapal Inka Mina. Namun, tidak bisa mengembalikan Tomalau seperti kejayaan. Bantuan kapal terbatas.

Problemnya, mereka tetap tak bisa menangkap skala besar karena hanya unit kecil dari rantai yang dikuasai banyak pihak. Mereka tak akan pernah mengambil banyak, karena beragam soal, misal, cold storage. Mereka mempertahankan teknik menangkap ikan pole and line. Itu menjelaskan mengapa ikan di peraian timur lebih berkelanjutan dibandingkan daerah barat, yang memakai trawl dan segala macam.

Selama Ekspedisi Indonesia Biru, berhadapan dengan asap di Kalimantan dan Sumatera. Apa yang terekam disana?

Saya berkali-kali ke Kalimantan, hanya bertemu tambang batubara. Menyebut Borneo atau Kalimantan itu memang penipuan visual tentang orangutan, burung enggang dan kayu ulin besar ada di kepala. Yang kami lihat sepanjang 1.900 kilometer, antara Samarinda sampai Pontianak menggunakan sepeda motor, hanya siluet hutan Kalimantan. Hanya di perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Itu juga karena posisi di pegunungan, mungkin tak ekonomis buat sawit. Hutan dengan tegakan tinggi dan kabut terjaga karena posisi.

Selebihnya kami melihat perkebunan sawit, batubara, permukiman dan kebun masyarakat. Degradasi lingkungan Kalimantan memprihatinkan.

Kami merekam petani sekitar tambang batubara kesulitan air untuk sawah, mandi dan minum. Belasan anak tewas di lubang tambang yang tak reklamasi.

Belum lagi izin batubara dan sawit. Apakah dihitung ongkos sosial dan kesehatan publik dampak kebakaran hutan? Saya yakin tak ada. Ekonom tak mampu menjangkau itu. Apalagi perencana pembangunan negeri ini. Jadi, kala model bisnis, perencanaan pembangunan, atau segala macam jika kurator hanya bekerja pada digit angka– para kapital yang dilayani, luar radar itu tak diperhitungkan.

Kami melihat masyarakat Dayak sudah lama kalah dengan kapital, namun ada beberapa bertahan. Mereka punya sistem keuangan alternatif, Credit Union (CU) dengan aset triliunan. Kami datang, melihat bagaimana CU menjadi bank baru, mendokumentasikan CU masih bertahan dengan sistem gerakan. Selebihnya, tidak tertarik, apalagi yang sudah punya ATM.

Mega proyek Sangkuriang. Foto: Indonesiabiru.com
Mega proyek Sangkuriang. Foto: Indonesiabiru.com

Bisa anda cerita soal Credit Union yang masih memegang semangat gerakan itu?

Kami melihat mereka menerapkan sistem finansial harus mendukung sistem ekonomi secara fundamental. Kami melihat CU hanya memberikan pinjaman terhadap anggota untuk kegiatan produksi. Pertanyaan sekarang produksi apa? Ternyata punya konsep modal kerja produksi berkelanjutan. Sawit dianggap tak sustain karena monokultur, tidak bisa berdampingan dengan tanaman lain. Tambang tidak diberikan karena merusak. Usaha-usaha yang melanggar hak asasi manusia, dan merusak tatanan sosial, seperti warung miras juga tidak diberikan pinjaman. Tanpa ada embel-embel agama, hal itu juga tidak biayai. Padahal masyarakat Dayak dalam tradisi adat meminum tuak. Lagi-lagi meminu dalam porsi bijak, jika membuka warung terjadi industrialisasi pada tuak. Hingga level itu, orang mengkonsumsi di luar kebutuhan.

Usaha sangat radikal, dalam anggaran dasar dan rumah tangga, mereka punya negative list investasi. Daftar negatif CU malah jadi top priority investasi pemerintah yaitu sawit dan tambang. Negara mengangap ini sebagai penghasil devisa terbesar, bagi mereka semua itu negatif.

Bagaimana anda melihat πerjuangan perempuan di Rembang dan Pati melawan industri?

Saya tidak ingin menafsirkan romantis, gerakan perempuan di depan, dalam kontek konflik sumber daya alam. Perempuan di depan biasa pertimbangan strategis gerakan. Konflik sumber daya alam biasa menghasilkan konflik fisik di lapangan. Dengan perempuan di barisan depan, meraka mengirim pesan damai. Ibu-ibu, tidak mungkin melakukan hal destruktif. Dengan cara itu, harapannya tak ada efek balik berupa kekerasan. Namun, aksi mereka direspon kekerasan juga oleh kepolisian dan pengaman perusahaan.

Setelah melakukan ekspedisi ini, apa kritik dan saran anda untuk pemerintah?

Untuk jangka panjang, sistem pendidikan harus diubah. Revolusi soal alam berfikir. Alam berfikir terpapar pada kebudayaan. Kebudayaan hari ini dibentuk dari sistem pendidikan sekolah dan tontonan/bacaan.Sistem pendidikan harus perhatikan, muatan lokal.

Jangka pendek, segera menjadikan semua tatanan adat menjadi hukum positif, yang berlaku lokal. Tak boleh berpikir, hukum berbagai daerah harus sama dengan landasan slogan NKRi harga mati. Hukum aturan kehutanan bisa berbeda-beda.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,