,

Kapal Eks Asing Akan Makin Hilang. Bagaimana Caranya?

Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Tim Satgas Anti IUU Fishing masih melakukan analisa dan evaluasi (annev) terhadap keseluruhan kapal penangkap ikan yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia, termasuk kapal eks asing.

Ketua Tim Satgas Anti IUU Fishing, Mas Achmad Santosa mengatakan dari 1.132 kapal eks asing yang terdaftar, saat ini ada sekitar 718 kapal yang tersisa, yang tersebar di 29 pelabuhan.  Dia meyakini kapal-kapal tersebut akan menghilang seiring proses registrasi ulang kapal.

“Ada 1.132 kapal yg terdaftar. Pada prakteknya ada sekitar 5000-an kapal eks asing beredar. Kapal eks asing kini jumlah yang tersisa sekitar 718,  tersebar di 29 pelabuhan. Sedikit demi sedikit akan tereliminasi melalui proses deregistrasi, dengan kategori non blacklisted vessels, untuk kembali ke negara-negara asal kapal, termasuk beneficiary owners juga ada di negara tersebut.  Dan proses hukum antara lain ditenggelamkan,” kata Mas Achmad Santosa yang lebih akrab dipanggil Ota kepada Mongabay melalui percakapan elektronik.

Ota menjelaskan keberadaan kapal eks asing dengan bobot kapal berkisar 200-700 gross tonnage (GT) dalam pengoperasiannya sangat eksploitatif, tidak ramah lingkungan dan menghambat akses nelayan Indonesia.

Dia mengutip data dari Bank Dunia, bahwa Indonesia mengalami kerugian sebesar 20 miliar USD dari IUU Fishing. “Kerugian riilnya sekarang sedang dicoba dihitung,” katanya.

Izin Kapal

Ota menjelaskan keberadaan kapal eks asing di Indonesia karena adanya sebagian besar pengusaha yang meminjamkan izin kepada pemilik kapal yang berada di Thailand, China dan Filipina.

Oleh karena itu, KKP berusaha membangun kedaulatan, keberlanjutan dan kemakmuran dari sektor kelautan dan perikanan, salah satu caranya dengan menghentikan kepemilikan kapal asing penangkap ikan beroperasi di Indonesia.

“Kalau pengolahan ikan dan bangun galangan asing tetap dibuka. Itu akan tercermin dalam DNI (daftar negatif investasi),” lanjutnya.

Kapal berbendera Malaysia, yang baru ditangkap di Perairan Belawan. Foto: Ayat S Karokaro
Kapal berbendera Malaysia, yang baru ditangkap di Perairan Belawan. Foto: Ayat S Karokaro

Ota melanjutkan kerjasama Indonesia dengan negara-negara di Asia seperti China, Thailand, Papua Nugini, Timor Leste, Filipina, Vietnam dan Malaysia serta Panama yang banyak mengobral tanda kebangsaan kapal, sangat membnatu dalam pemberantasan IUU Fishing.

“Contoh yang paling utama adalah tidak mudah menjual tanda kebangsaan kapal, harus ada sanksi internasional yang kuat. Soal flag state responsibility ini sekarang lebih kenceng tuntutan pelaksanaannya dengan kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan internasional International Tribunal on UNCLOS (ITLOS). Dengan ganti rugi berjumlah signifikan bisa diterapkan lewat ITLOS ini sebagai pengejawantahan flag state responsibility. Sudah ada satu kasus yang menunjukkan arah kesana,” jelasnya.

Saat ini, Pemerintah Indonesia yang diprakarsai oleh Menko Maritim dan KKP/Satgas Anti IUU Fishing sedang mempersiapkan gugatan ke ITLOS soal MV Haifa.

“Kerjasama dengan negara-negara tersebut penting, terutama dengan tidak mudah menerbitkan izin-izin tangkap dan angkut ikan terhadap kapal-kapal berbendera asing. Pertukaran data dan informasi pada saat diterbitkan izin menjadi penting. Karena double registered dan double flagging merupakan pintu masuk IUU Fishing,” lanjut Ota.

Meskipun seperti itu, diakui sangat kompleks bekerjasama dengan negara-negara yang pemasukan ekonomi perikanannya berasal dari IUU Fishing. “Oleh sebab itu, Bu Susi mengambil terobosan no kapal eks asing dan no asing tangkap ikan. Jadi konsentrasi kita sekarang membenahi pengusahaan ikan oleh nelayan nasional,” tegasnya.

Hilangnya Kapal Eks Asing

Mengenai menghilangnya  414 kapal eks asing, saat pelaksanaan annev oleh Tim Satgas, Ota mengatakan hal tersebut terjadi karena berbagai sebab, antara lain kapal tersebut dengan sengaja dibawa pemiliknya ke tempat asalnya sebelum moratorium atau diawal pemberlakuan moratorium. Motifnya untuk menghindari moratorium dan annev atau audit kepatuhan oleh Satgas di KKP. Ini dilakukan oleh banyak kapal dari Thailand.

Motif kedua yaitu kapal tangkap atau angkut yang pada saat moratorium diberlalukan sedang berlayar diluar Indonesia dan memutuskan tidak kembali ke Indonesia untuk menghindari moratorium. “Kapal-kapal tersebut, di saat itu, pada umumnya masih mengantongi izin,” katanya.

Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP
Petugas dari KKP memeriksa kapal-kapal Antasena milik PT. PBR di Benjina, Aru, pada Jumat (03/04/2015) yang menemukan ternyata ABK-nya adalah Warga Negara Asing asal dari Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja. Foto : KKP

Ada berbagai cara yang akan dilakukan oleh Tim Satgas untuk menangani kapal yang menghilang tersebut, yaitu melacak keberadaan kapal, yang sebagian ada di Mahachai Thailand.

Satgas juga akan menyerahkan daftar kapal-kapal yang kabur ke data base purple notice Interpol untuk mendapatkan informasi pergerakan kapal tersebut dari negara-negara anggota Interpol.

Satgas juga akan memanfaatkan prinsip  flag state responsibility UNCLOS dengan meminta negara dimana dijadikan tempat mangkal kapal trsebut untuk menyerahkanya ke Indonesia sebagai pemilik tanda kebangsaan, walaupun diduga kuat mereka juga terdaftar sebagai kapal Thailand atau  double flagging.

Satgas juga akan menyelidiki dan mendalami pelanggaran hukum mereka yang lalu dan memprosesnya secara hukum. “Ini sangat  tidak mudah dan makan waktu,” kata Ota.

“Tetapi satu hal yang pasti, kapal-kapal yang raib tersebut akan dihapus tanda kebangsaannya oleh pemerintah, sebagai bentuk pertanggungjawaban Indonesia berdasarkan prinsip flag state responsibility under UNCLOS,” tambah Ota.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,